2. Lamaran

1194 Kata
“Ngapain masih berdiri di sana. Ayo buruan, Bara!” teriak Nenek Mayang ketika melihat sang cucu yang masih terbengong di depan pintu rumah. Sejujurnya pria itu masih dilema antara melanjutkan rencana lamaran atau tidak. Karena malam ini kakek neneknya sepakat mendatangi rumah ibunya Alina untuk melamar sang gadis secara resmi. “Iya … iya, Nek.” Dengan terpaksa Yudha melangkahkan kaki menghampiri kakek neneknya yang sudah lebih dulu keluar menuju pagar rumah. Kakek Guna menarik lengan sang cucu. “Kamu masih ragu dengan lamaran malam ini?” tanya beliau langsung, ketika melihat gelagat tidak enak dari sang cucu yang sering dipanggilnya dengan sebutan Bara. “Kek, apa iya aku harus melamar Alina sekarang? Auw!” Yudha meringis kesakitan karena cubitan Nenek Mayang. “Jadi lelaki jangan plin plan. Kamu sudah setuju jika malam ini kita akan datang ke rumah Alina untuk meminta gadis itu secara baik-baik pada ibunya. Kenapa sekarang malah ragu, hah?” Yudha mengusap tengkuknya. “Aku … gugup, Nek.” Nenek Mayang mencebikkan bibirnya. “Percaya sama Nenek. Pilihan kami tidak akan salah, Bara. Alina gadis yang baik dan cocok untuk jadi istri kamu. Jangan takut jika Alina sama dengan mantanmu yang matre itu. Alina tidak demikian bahkan dia tidak masalah dengan pekerjaan kamu yang hanya buruh pabrik. Apa itu kurang meyakinkan kamu jika Alina adalah gadis yang baik?” Yudha tak pungkiri jika hal itu benar adanya. “Baiklah, Nek. Tapi kakek dan nenek tidak lupa kan dengan syarat yang aku ajukan waktu itu?" “Iya, kami ingat.” “Aku hanya tidak ingin Alina dan ibunya tahu tentang status keluarga kita yang sebenarnya. Biarkan Alina tahunya kita hanya orang biasa. Aku seorang buruh pabrik, sementara Kakek dan Nenek adalah pensiunan. Itu saja.” Kakek Guna dan Nenek Mayang saling pandang sebelum pada akhirnya Kakek berucap, “Baiklah jika itu yang kamu mau. Mungkin kamu ingin menguji apakah Alina benar tulus sama kamu atau tidak. Begitu, kan?” “Iya. Aku sudah trauma dengan apa yang pernah Clarisa buat ke aku dulu.” “Kita akan tetap bersikap selayaknya orang biasa yang tidak punya harta kekayaan berlebih.” Nenek mendesah kecewa. “Padahal Nenek ingin memberikan yang terbaik untuk Alina. Tapii jika kamu maunya seperti itu … ya, sudahlah. Yang penting kamu mau menikah.” Dan mereka bertiga pada akhirnya menuju rumah keluarga Alina. *** “Jadi benarkah satu bulan dari sekarang tanggal pernikahan mereka?” tanya Bu Lili yang tak lain adalah ibunda Alina. “Iya, Li. Apa kamu keberatan jika pernikahan mereka dipercepat saja?” ucap Nenek Mayang mencoba meyakinkan. Bu Lili saling pandang dengan putrinya. “Jika saya terserah Alina saja, Nek. Karena yang akan menjalalni nanti kan Alina. Lin, kamu gimana? Apakah setuju jika menikahnya bulan depan?” Alina tak langsung menjawab. Wanita itu justru melirik pada Yudha yang seolah bersikap biasa saja seperti tidak tertarik dengan rencana ini. Lalu pandangan mata Alina tertuju pada Kakek Guna yang berbinar wajahnya dan Nenek Mayang yang terlihat cemas menanti jawaban darinya. Alina berpikir sesaat untuk meyakinkan bahwa keputusannya tidak lah salah. Dengan sekali tarikan napas wanita muda itu pun menjawab. “Baiklah, saya setuju.” “Alhamdulilah.” Nenek Mayang dan Kakek Guna saling menggenggam tangan dengan raut wajah lega. Lain dengan Yudha yang justru kebingungan karena dia pikir Alina akan menolak karena merasa pernikahan itu terlalu cepat. Tapi siapa sangka jika gadis itu malah mengiyakan. Yudha tidak hilang akal untuk kembali menguji Alina. “Karena waktunya sangat mepet dan hanya ada satu bulan, saya minta maaf jika tidak bisa memberikan apa-apa untuk pernikahan nanti.” Deg. Nenek Mayang terkejut mendengar penuturan cucunya. Pun halnya dengan Kakek Guna yang saling pandang dengan Nenek Mayang. “Apa maksud kamu, Bara?” “Satu bulan itu waktunya cepat sekali, Nek … Kek. Jadi sepertinya saya juga tidak sanggup memberikan pernikahan yang mewah. Mungkin hanya pesta sederhana saja. Bagaimana?” Bu Lili tersenyum. “Tidak apa, Nak Yudha. Lagipula yang penting kan akad nikahnya. Ibu juga tidak ingin mengadakan acara besar-besaran. Malah merepotkan nanti. Yang penting kita syukuran kecil-kecilan saja mengundang tetangga dekat rumah.” Yudha melongo karena apa yang dia minta seolah tidak menjadi masalah bagi keluarga Alina. Jika wanita lain pasti akan menikah dan menginginkan pesta hajatan besar-besaran. Tapi keluarga Alina berbeda dan Yudha tak lagi ada alasan menolak rencana pernikahan yang telah ditetapkan satu bulan dari sekarang. “Terima kasih karena Ibu sudah mengerti saya. Untuk Mas kawinnya nanti mungkin juga saya hanya bisa memberikan seratus ribu rupiah saja.” Kakek Guna yang terkejut langsung menyela. “Bar! Apa-apaan kamu?” Yudha hanya nyengir, sementara Alina menjawab. “Tidak apa-apa, Kek. Sebaik-baiknya perempuan adalah yang paling mudah dan ringan maharnya. Saya tidak keberatan meski mahar yang Mas Yudha berikan hanya seratus ribu saja. Itu sudah cukup bagi saya karena saya juga tahu jika gaji Mas Yudha sebagai buruh pabrik hanya sebatas UMK. Selain mahar, Mas Yudha pasti membutuhkan biaya yang lainnya.” Kakek Guna dan Nenek Mayang sampai tak mampu berkata-kata. “Tapi, Lin, masak hanya seratus ribu saja? Nenek yakin sebenarnya Yudha mampu memberikan lebih dari itu.” “Tidak apa-apa, Nek. Saya ikhlas, kok. Nenek jangan khawatir.” “Bu Lili … Alina maafkan kami ya. Sudah malam ini hanya kami berdua saja yang mendampingi Yudha. Eh, malah Yudha juga tidak sanggup memberikan pesta mewah dan mahar hanya seratus ribu saja. Saya janji saat pernikahan nanti akan menanggung semua dan akan kami berikan yang terbaik urntuk Alina. Nanti saat hari pernikahan mereka, Ayah dan ibunya Yudha juga pasti akan datang.” “Iya, Nek, tenang saja. Nenek tidak perlu memikirkan tentang hal itu.” “Alina, terima kasih banyak karena kamu telah bersedia menikah dengan cucu nenek.” “Sama-sama, Nek. *** Sampai di rumah, Nenek Mayang menjewer telinga cucunya. “Aduh sakit, Nek. Kenapa aku dijewer begini.” “Biar tau rasa kamu. Siapa suruh kamu mau kasih mahar hanya seratus ribu. Memalukan saja kamu ini, Bara!” “Ampun, Nek. Apanya yang salah dengan mahar segitu. Kita kan lagi menyamar, Nek. Justru kalau kita kasih mahar yang besar, mereka akan curiga jika sebenarnya kita bukan orang miskin seperti yang mereka kira.” “Lagian kamu ini ada-ada saja. Kenapa malah berpura-pura miskin segala.” “Ya kan memang ini semua idenya papa yang meminta aku jadi buruh pabrik. Kenapa sekarang malah aku yang disalahkan.” “Tapi kan kita tidak pelu berbohong pada Alina dan ibunya ,Bara!” “Aduh, Nek. Sudah terlanjur juga kita berbohong. Nenek tenang saja. Semua akan baik-baik saja.” Nenek Mayang geleng-gelengkan kepalanya. “Embuh wes karepmu, Bar!” Kakek pun tidak lagi mau bekomentar apa-apa karena beliau sendiri juga geram dengan cucunya tapi mungkin ada benarnya juga dengan apa yang Yudha lakukan. Di sini tidak ada yang tahu jika sebenarnya mereka adalah orang kaya pemilik pabrik tekstil yang berdiri di kampung ini sejak beberapa tahun yang lalu. Bahkan keberadaan Kakek Guna juga sekaligus mengawasi bagaimana warga sekitar dalam menyikapi keberadaan pabrik yang sebenarnya banyak membantu warga dalam menaikkan taraf perekonomian. Karena merasa nyaman tinggal di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota, Kakek Guna dan Nenek Mayang malah kebablasan tinggal menetap di desa dan menjadi tetangga Alina.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN