13 - Kan Memang,Begitu.

2109 Kata
Indah namun menenangkan. Tenang namun memberikan bekas. Kerang yang menjauh melebur menjadi puing. Itulah takdir sang ombak. tidak ada yang suka menari Bersama burung yang tertembak,terjun. Menyentuh bibir pantai dengan sisa nyawanya. Terenggut dengan tragis. Itulah hukum alam,suka bercanda. Tanganku berhenti mengetik saat decitan kursi terdengar,menganggu konsentrasiku. Memandang Alga yang baru saja datang membawa dua minuman dingin yang baru disimpannya di hadapanku,tepat di samping laptopku. “Mengetik tentang Aydira lagi?” kepalaku menggeleng,”Lalu?” Kuputar laptopku menghadapnya,membiarkan Alga membacanya sembari aku menyeruput minuman dingin yang baru saja ia bawa. Tenggorakan dan pikiranku langsung terasa segar kembali. “Kenapa Kerang yang menjauh melebur menjadi puing?” tanyanya. Memang,sesekali. Alga akan menanyakan bagian-bagian yang tidak ia pahami artinya. Katanya aku terlalu banyak menggunakan perumpaan yang membuatnya bingung dengan semuanya. “Memangnya saat Kerang kian mnegecil dia akan berserakan di lautan? Dia akan menjauh sedemikian rupa dan tidak akan pernah kembali lagi ke tempat semula. Hati manusia yang nuraninya semakin kecil akan memadam dan akhirnya sulit untuk menemukannya. Dia buta membedakan antara kebaikan,ketulusan dan pengkhianatan.” Jelasku Panjang lebar, “Aku tidak tau postinganmu kali ini ada hubungannya dengan hati manusia. Lalu burung yang tertembak? Ada hubungannya dengan hati juga?” aku mengangguk mengiyakan. “Tentang Harapannya yang menembaknya? Akhirnya menjatuhkan dirinya sendiri? Dan akkhirnya hatinya semakin padam. Yang sebelumnya masih bisa diselamatkan malah makin jatuh terperosok dan mati rasa? Begitu? Lagi-lagi kamu menyangkut pautkan postinganmu dengan mati rasa? Sampai kapan,Nin?” aku tersenyum tipis. “Anindira,kamu tidak Lelah dengan kata itu?” “Untuk apa Lelah? Aku hanya berusaha menyampaikan peringatan pada pembacaku bahwasanya mati rasa bukanlah momentum paling terbaik. Selagi hati mereka masih bisa diselamatkan maka selamatkan,jangan tunggu hatimu mati rasa. Sisempel itu membahagiakan diri sendiri,” kuambil kembali laptopku,mengeditnya di aplikasi lalu mempostingnya. Dunia memang begini,untuk menyelamatkan hati dari yang Namanya darurat maka kamu harus pintar mengumpulkan dan memilah kata mana yang sesuai dengan perasaanmu saat itu juga. Banyak hal yang perlu kamu lakukan demi kenyamananmu juga keselamatan nuranimu. “Anindira,” Kutatap Alga. “Kamu mau makan apa? Aku pesankan.” Kukira dia akan membahas tentang hal tadi tetapi sudah berpindah. “Apa aja,kamu kan hapal banget dengan makananku,Alga.” Balasku tanpa menatapnya sama sekali,mataku focus ke laptop. “Aku pesankan dulu,” tak kujawab,hanya kudengarkan langkah kakinya yang semakin menjauh pertanda Alga sudah meninggalkanku sendirian dimeja ini. Sudah berapa jam aku disini? Sudah jam berapa sekarang? Pukul 13:12 menit,sudah masuk waktu siang. Mataku mengerjap beberapa kali melihat pesan yang masuk melalui media sosialku,tanpa membacanya kuputuskan menghapusnya. Ada beberapa hal yang perlu kamu delete dengan cepat demi ketenanganmu,jangan ragu dan lakukan apa yang logikamu mau. “Mba Anindira yang sejak tadi duduk bak patung,Mas Alganya lagi shalat jadi aku yang bawain makanannya.” Ku lirik makanan yang Alga pesankan,ikan bakar? Apa Alga gila? “Katanya selama ini Mba selalu focus makanan simple jadi sudah saatnya Mba Anindira yang paling cantic ini memakan makanan sulit,” Lia terkikik sendiri di tempatnya,mungkin merasa lucu dengan ekspresi wajahku saat ini. “Selamat makan Mba Anin,aku akan kembali bekerja. Kalau engga mau ribet minta aja Mas Alga untuk memilah tulangnya jadinya Mba tinggal makan deh. Keknya sebentar lagi dia kesini.” Ide yang cukup bagus,kunaikkan jempolku dan Lia menjauh dengan tawanya yang menggelegar membuat beberapa pengunjung menatap mejaku,kepo. Beberapa nontifikasi komentar masuk pertanda para penyuka kata-kataku mulai berdatangan,aku membacanya sembari menyeruput minumanku yang sebentar lagi habis. Sesekali aku akan tersenyum,bingung atau takjub dengan respon mereka yang beragam. Komentar hanyalah pemanis yang mereka berikan,menjadi penyemangat yang selalu memotivasiku untuk terus menulis dari waktu ke waktu. Mataku menoleh ke samping saat mendengar perbincangan. Alga dengan seorang perempuan. “Saya tidak menyangka bisa bertemu dengan Pak Alga disini,kebetulan banget ya?” walaupun Alga hanya terlihat dari samping tapi aku bisa melihat wajah datarnya dan hanya membalas ucapan perempuan itu dengan anggukan. “Kemarin Pak Alga pulangnya buru-buru banget setelah pemotretanku padahal saya masih ingin membahas jadwal selanjutnya. Pak Alga kayaknya sibuk banget ya?” mataku mengerjap,entah kenapa aku merasa kasihan dengan perempuan itu? “Ada urusan mendadak,untuk jadwal selanjutnya bahas saja dengan staff yang bersangkutan. Kalau begitu permisi,” dasar Alga,didepanku dia sangatlah hangat tetapi sekalinya di depan perempuan lain malah berubah jadi dingin,sangat dingin. Dalam sepersekian detik,saat mata kami bertemu wajah datarnya langsung berubah menjadi hangat dan dihiasi dengan senyuman. Mataku tak sengaja bertemu dengan perempuan berpenampilan cukup menarik itu,dia memandangku tak suka. Sejak kapan Anindira peduli dengan pandangan orang-orang padanya? Sangat membuang waktu. “Kenapa belum makan?” aku memandangnya lekat,memperhatikan bagaimana detail wajah Alga. “Anindira,kenapa belum makan?” ulangnya tetapi masih tidak kupedulikan,mataku masih menatapnya. “Coba senyum,” perintahku yang lamgsung dia turuti,dan aku tidak merasakan debaran apapun didalam sana. Jantungku tetap biasa saja, “Pak Alga,saya ingin membahas hal penting dengan anda,” wajah Alga langsung berubah. Aku mendongak menatap perempuan yang ternyata belum menyerah mendapatkan perhatian Alga,aku segera mengkode Alga untuk membawanya pergi. Dia dengan cepat meminta perempuan itu mengikutinya dan membiarkanku sendirian dimeja ini,sudah kesekian kalinya. “Hayoo,itu tadi siapa?” Aku menatap Lia jengah,dia membawa sepiring nasi yang seharusnya sejak tadi berada di meja,pantas saja aku merasa heran dan merasa ada yang kurang dengan menunya, “Hihihi,aku lupa membawa nasinya saking terbiasanya dengan Mba Anin yang makan nasi goreng. Tapi kali ini berbeda banget,selamat makan Mba Anin.” Dia mengedipkan matanya sekali lalu meninggalkanku sendirian disini,sendirian lagi. @knjdd Kak Ombak,ini apa? Apa iniiiiiii? @ghaas ya,terkadang manusia memang begini,suka bercanda dengan pikiran dan hatinya sendiri. “Anin,makan!” eh Alga yang muka dua sudah kembali,apa aku harus memanggilnya Alga muka dua karena wajahnya yang sering berubah-ubah? Apa nama baru itu harus aku sematkan dengan sangat cepat dan tepat? Sangat aneh. “Lia menyarankanku untuk memintamu memilah tulang ikannya,bagaimana? Kamu akan melakukannya bukan? Aku memang menyerahkan menu makananku padamu tapi apa harus ikan? Kamu ikutan gila seperti perempuan tadi?” Alga tertawa,dia menarik sepiring ikan besar dan mulai melakukan apa yang tadi aku katakan. Aku segera menutup laptopku,memasukkannya kedalam tasnya lalu menyimpannya di kursi sampingku. “Makan ikan sehat,Nin. Kamu jangan focus makan yang lainnya,sesekali harus memakan ikan agar otakmu seimbang. Ap;a tidak bosan memakan nasi goreng setiap kali kesini? Lia saja bosan dengan menu yang kamu minta itu.” Aku menarik piring berisi nasi,dan Alga mulai menyimpan daging ikannya di piringku,tanpa tulang tentunya. Setelah Alga melakukan tugasnya serta makananku yang sudah habis,Lia datang membawa piring kosongnya. Aku kembali membuka laptopku dan Alga berdiri agak mendekat ke pantai memotret pemandangan pantai. “Anin!” aku menoleh menatapnya, Cekrek. Dan aku mendengus kesal,dia memotretku tanpa izin lagi. Kumpulan komentar yang masuk,mengingat apa yang aku perdebatkan dengan Mba Jena tadi. Aku segera mengetik balasan pada komentar yang paling atas,mengetik apapun yang ada di kepalaku. @sWmnn begitulah yang Namanya kehidupan,terkadang suka mempermainkan seseorang dengan sedemikian hebatnya. Balasan - @Omb_ak tidak ada yang suka permainan,tetapi mereka membiarkan orang lain melaukannya bukan? “Anin!” aku tidak akan menoleh padanya sama sekali,palingan dia memanggilku karena ingin memotretku tanpa seizin-ku sama sekali. Dapat kurasakan Alga berdiri disampingku,tepat dibelakangku. “Kamu membalas komentar mereka? Wow? Ada apa dengan Anindira hari ini? Kurasa dia ingin merasakan dunia yang makin ramai? Butuh masukan?” aku menoleh kebelakang,keningku berkerut tak suka melihat rambutnya berterbangan terkena angina pantai. @hjiaa Kak Ombak jangan bikin aku makin gelap dong,iyakan kak? Pengen di notif. “Bilang aja,gelap bukan perkara gampang untuk disimpulkan. Tergantung kamu mau menyalan pelita atau tetap membiarkan keadaanmu menggelap. Gimana? Kamu mau mengetiknya? Kasihan sih,hanya dengan jarimu dia akan sangat senang mendapatkan apa yang dia mau,Nin.” Mataku mengerjap,tapi tetap mengetik apa yang tadi Alga sarankan. Balasan - @Omb_ak gelap atau tidaknya kamu bukan tergantung apa yang ada,tetapi tergantung apakah kamu mau melakukannya atau tidak. Dapat kudengar tawa Alga dengan sangat jelas,pertanda dia masih berdiri di belakangku. Dengan malas aku berbalik menatapnya,dan dia menunggu apa yang ingin aku katakan. “Rambutnya,Alga.” Tawanya malah makin menjadi-jadi mendengar apa yang aku katakana,menyimpan kameranya di meja lalu melakukan apa yang tadi aku katakan. Aku kembali membaca komentar yang ada di layer laptop. Tangan Alga kembali terulur mengambil kameranya dan kembali menjuah dariku. Dia kembali memotret pemandangan di depan sana tak lagi disisiku. Tapi aku bisa mendengar dengan jelas bagaimana dia mengambil gembarku disana. Aku menoleh padanya,dia sedang mengarahkan kameranya kearahku. “Alga! Berhenti!” tegurku kesal. Cekrek. Entah bagaimana hasil fotoku disana dan aku tidak mau membayangkannya sama sekali. Alga memang sudah sangat gila sejak lama,dan semakin hari makin gila dengan kelakuannya yang semakin aneh. “Anindira!” lamunanku buyar dan sekali lagi dia menekan tombol kameranya. Apakah kamera yang dibawanya memang di peruntukkan untukku saja? bukan pemandangan didepan sana? “Berhenti,Alga.” Dia mendekat,”Hahahah,kamu akan selalu membuatku jatuh cinta setiap detiknya,Nin.” Dan aku sama sekali tidak peduli dengan apa yang dia katakan. Ku close laman media sosialku,membuka laman baru dan mengetik sesuatu yang tiba-tiba muncul di kepalaku. Sekilas aku menatap Alga yang berdiri tak jauh dariku,sedang memeriksa kameranya,melihat hasil jepretannya. Dia adalah sesuatu yang takdir datangkan sayangnya belum aku terima dengan nada yang indah,masih mematung tanpa sambutan. Senyuman dua sisi yang kadang membutakan seseorang namun belum berlaku untukku,aku belum menerimanya sebagaimana seseorang itu menyambutnya. Dia selalu ada di duniaku,sayangnya masih ku anggap sebuah hiasan bukan manusia. Saat sekilas kulihat Alga mendekat,segera kututup laptopku membuatnya memandangku dengan pandangan curiga,seolah dia sedang menaruh curiga padaku. Setelahnya dia tertawa dan mengedipkan matanya padaku. “Aku sangat penasaran dengan apa yang kamu ketik,tapi kurasa itu ada hubungannya denganku.” Tebakanmu memang benar,Alga, sayangnya aku tidak mau menampakkan apa yang aku ketik padanya. Dia akan merasa agak kepedean karena aku mengetik sesuatu yang berhubungan dengannya,aku hanya memandangnya dan dia malah menampakkan hasil fotoku di sana wajahku sangat tidak enak di pandang. “Lucu bukan? Aku tidak menyangka Anindira bisa semenggemaskan ini juga,” aku mendorong kameranya menjauh dan dia tertawa,duduk tepat di sampingku. “Bagaimana kalau aku meminta Lia untuk memotret kita?” aku memiringkan badanku menatapnya, “Alga,” panggilku pelan,dia membalasnya dengan alis yang dinaikkan. “Perempuan tadi… Model yang membuatmu kesal kemarin kan?” dan Alga mengangguk dengan cepat,dia berdiri memanggil Lia. “Dia harusnya memakai pakaian yang diberikan staff tapi malah menggunakan pakaian lain. Staff marah dan mengatainya kurang bekerjasama, ya gitulah.” Alga tidak pernah menyembunyikan apapun dariku,dia selalu membahasnya dengan detail. “Tadi dia meminta maaf secara langsung,selama ini dia selalu melakukan apa yang dia mau. Sedang di tempatku,Staff semuanya bekerja total. Dia ingin sesuai konsep kontrak dan jarang sekali memanjakan model. Dia memang besar kepala,tapi sudah selesai kok. Nah Lia sudah datang,” aku memandang Lia yang menerima kamera. “Potret yang bagus,Lia. Aku akan memberimu banyak tips kalau kamu melakukannya dengan baik. Kapan lagi bisa membujuk Anindira untuk foto?” didepan sana Lia tertawa,segera mengarahkan kameranya pada kami. Bukan pertama kalinya aku foto Bersama dengan Alga,sudah terbiasa malahan. Hanya saja Alga selalu ingin foto Bersama tiap kali bertemu tetapi akunya yang tidak mau. Tidak suka dengan pemikirannya yang itu. “Terimkasih Lia,aku akan memberimu hadiah nanti,” “Terimkasih kembali Mas Alga,kalian cocok banget.” Dia menaikkan kedua jempolnya lalu kembali bekerja dengan yang lainnya. Aku memandang Alga dan dia ternyata hanya mengikat sebagian rambutnya sedang sebagian tetap dibiarkan terurai, dengan kesal aku berdiri di belakangnya membuka ikat rambutnya. Dia sempat tersentak tetapi setelahnya tersenyum. “Kamu tidak suka dengan gaya itu? Hahah,sudah hampir lima tahun aku kenal denganmu tapi kamu tetap sulit ditebak,Anindira. Bagaimana jika aku memotong rambutku? Kamu suka?” aku tidak menjawab,focus mengikat rambutnya agar enak di pandang. “Anindira,kamu mau mendengar detakan jantungku yang menggila karena perbuatan tak terdugamu ini? Kalau aku tidak salah ingat kamu melakukan ini 3 setengah tahun yang lalu. Perbedaanmu sangat banyak hari ini,apa sekarang Anindira menjadi perempuan seperti pada umumnya?” selesai,aku tersenyum. Kupandang Alga dari arah depan tanpa berpindah tempat sama sekali,aku masih berdiri di belakangnya. Kedua tanganku masing-masing bertumpu di bahunya. Dia sudah rapi,dan Alga terlihat kaget dengan apa aku lakukan. Aku tertawa dengan pelan,kembali duduk ditempatku. Dapat kurasakan Alga masih memandangku dengan wajah cengonya. “Apa? Apa jantungmu makin menggila?” tanyaku dan dia tak membalasnya. Matanya masih menatapku dengan tatapan kagetnya,aku menepuk dahinya dengan keras. Bukannya mengaduh kesakitan dia malah tertawa dengan keras membuat semua orang kini menatap kami. “Berhenti tertawa,” untungnya dia dengan sigap melakukan apa yang aku mau. Dia menarik tanganku menggenggamnya singkat lalu melepaskannya kembali. Dia tak mengatakan apapun,memejamkan matanya. Semuanya tak lepas dari pandanganku sama sekali. “I love you more,Anindira. Mau sepuluh tahun sekalipun,aku akan selalu menunggumu datang padaku. Mau berapa banyak orang mengatakan berhenti maka aku akan tetap menunggumu. Kamu adalah Anindira-ku,Anin-ku dan hanya milikku.” Aku mendengus kesal mendengar apa yang dia katakan. “Alga gila.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN