“Menurutmu mana yang lebih bagus untuk kukenakan?” tanya Giselle sembari mengusap ujung dagunya. Di depannya, terpajang lima atau enam dress dengan model yang berbeda. Ia kebingungan sampai tak tahu harus melakukan apa.
Melihat banyak hal yang dulunya tak bisa Giselle miliki, membuat ia teringat kenangan lama. Bukan. Tapi kisah lama yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
“Kau ingin menemui tamu VIP menggunakan pakaian yang sudah bercampur alkohol tadi?” tanya Mami Jilly sembari memekik tak percaya.
Tiga puluh menit sudah waktu yang ia berikan pada Giselle untuk mempersiapkan diri. Saat wanita cantik berbalut dress merah itu kembali, ia geram. Giselle tak melakukan apa pun untuk dirinya—setidaknya mengganti pakaian yang sudah ia persiapkan. Dress rumbai yang tadi Giselle kenakan memang seksi, tapi ketahuilah, semua pergerakan Giselle bukan hal yang mudah.
Pasti sudah tercampur keringat serta alkohol yang tak sengaja terpercik dari para tamu yang mengerumuninya tadi.
“Kenapa memangnya?” tanya Giselle pelan. Ia pun bangkit dari duduknya setelah memastikan topeng yang ia kenakan terpasang sempurna.
“Dia tamu VIP, Nami!” kata Jilly penuh penekanan. “Jangan membuatku malu!”
Giselle hanya melirik sekilas lantas tersenyum tipis sekali. “Aku yakin, pakaian ini sudah lebih dari cukup untuk melayani dirinya malam ini, kan? Kenapa harus diganti? Akan lebih mudah dan cepat untukku menyelesaikan bagian di sini.”
Ia pun melangkah ke Jilly yang masih berdiri di ambang pintu. “Ayo ... tunjukkan ruangannya.”
Tak ada yang bisa Jilly lakukan selain mengarahkan di ruang mana tamu tersebut menunggu Giselle. Andai saja bukan penawaran mahal yang disebut saat bertemu tadi, bisa ia pastikan Giselle akan menerima murkanya. Sayang, Giselle termasuk gadis favorit di klub ini.
Giselle hanya mengikuti langkahnya saja. tak ada rasa yang mendera selain kehampaan. Ingat bingar yang memekak tak juga membuat ia merasa jika tubuhnya memang ada di klub yang cukup luas ini. bahkan sesekali sapaan yang datang untuknya, hanya ia tanggapi senyum tipis. Seolah dirinya hanya robot yang mengikuti perintah tuannya.
Apa yang bisa ia lakukan jika seluruh hidupnya telah dipasang banderol harga? Berikut bunga dan segala macam tuntutan lainnya? Ia hanya bisa berharap meski tipis sekali; ibunya sembuh. Itu saja.
“Jadi ... kau yang bernama Nami? Gadis tercantik di klub ini?”
Ruangan tempat di mana tamunya menunggu, sudah ditutup oleh Jilly. Giselle masih setia berdiri di dekat pintu. Menarik napas panjang dan ia embuskan dengan perlahan, agar dirinya jauh lebih tenang menghadapi kenyataan hina di depan matanya. Senyumnya mulai terulas, meski cahaya di ruangan ini temaram, tapi bisa Giselle lihat jika pria yang duduk di tengah sofa, bersandar nyaman di sana.
Menikmati rokok serta wine termahal yang bisa klub ini sediakan. Sorot matanya tajam mengarah pada Giselle seolah tak ingin dibantah satu kata pun yang keluar dari sana. Belum lagi gestur tubuhnya berkata; jangan sampai menimbulkan gangguan dan dirinya tak terpuaskan.
Malam ini ... akan menjadi malam yang panjang penuh derita untuk batin Giselle.
“Benar, Tuan.” Giselle tersenyum semanis madu meski hatinya tak ingin melakukan ini semua.
“Sebelum kau mendekat,” sang pria menahan langkah Giselle yang tertuju padanya. Sejak gadis ini memasuki ruangan, ia sudah memindai dengan saksama. Tubuhnya benar-benar persis seperti apa yang ia inginkan. Kepalanya segera menyusun gambaran bagaimana jika gaun yang baru saja ia selesaikan, dikenakan oleh gadis yang berjalan ke arahnya ini.
Tidak.
Langkahnya sudah terhenti. Di balik topeng hitam yang dikenakannya, sang pria tahu, gadis itu menatap dirinya penuh tanda tanya.
“Ada yang salah, Tuan?” tanyanya pelan.
“Tidak ada,” sahut sang pria segera. “Tapi aku ingin kau nyalakan lampu yang terang. Aku benci temaram.” Sang pria menggoyang pelan gelasnya. Tapi matanya tak pernah lepas menatap sang gadis yang mematuhi permintaannya. Segera saja, gadis itu benar-benar terlihat jelas di depannya.
Mengenakan gaun sebatas paha dengan aksen rumbai menggoda, potongan dadaanya rendah sekali memperlihatkan keindahan salah satu bagian tubuh yang dimiliki, dan yang paling tak disangka gadis itu memiliki kulit seputih pualam. Seolah kulit itu diberikan perawatan khusus secara terus menerus.
“Ada lagi yang harus saya lakukan?” tanya Giselle yang kembali mendekat.
“Buka gaunmu.”
Giselle memejam kuat, tangannya terkepal tanpa sadar. Tapi ini bagian dari kehidupannya yang kelam. Ia tak bisa menghindar atau masalah yang jauh lebih besar akan menghadang. Yang bisa ia lakukan hanyalah ... menarik ritsleting yang terkait di belakang punggungnya perlahan. Meski masih mengenakan bra serta celana yang sangat pendek untuk mengimbangi gerakannya di Pole Dance, ia tetap belum terbiasa.
Begitu pakaian Giselle tanggal, sang pria hanya menatap dengan wajah datar. Kembali mengusap ujung dagunya seolah tengah berpikir. Tapi apa? Agak lama Giselle dibiarkan seperti ini. tubuhnya agak menggigil lantaran pendingin di ruangan ini dinyalakan dengan suhu minimal. Ia hanya mengenakan bra dan celana super pendek, jelas jika kulit tubuhnya tak bisa terlalu lama menahan hawa dingin yang menerpa.
Jikalau di waktu-waktu lain, tubuh Giselle meski tanpa apa pun tapi mereka melakukan kegiatan panas. Sekarang? Tuhan! cobaan macam apa yang ia hadapi?
“Aku ingin kau melakukan sesuatu,” kata sang pria memecah sunyi di antara mereka.
Agak lega karena sang tamu akhirnya bicara. “Apa yang Tuan inginkan?” kendati begitu, ada gelisah yang hadir di benak Giselle. Ia sering mendengar tamu di klub ini terkadang meminta hal di luar batas normal. Tapi karena desakan uang serta tekanan yang diberikan Jilly pada mereka semua, tak ada yang bisa lepas dari keinginan aneh yang dimiliki sang tamu.
Apalagi sampai harus melayani tamu VIP. Bisa-bisa Jilly benar-benar murka dan mempersulit hidup Giselle. Apalagi bisa dibilang, aliran napas yang mengaliri tubuh sang ibu, berasal dari Jilly. Giselle belum memiliki kemampuan untuk mengenyahkan pengaruh Jilly dalam hidupnya. Satu sisi ia merasa tertolong, sisi lainnya ia merasa terjebak seumur hidup.
Andai ada seseorang yang membantunya terlepas dari Jilly, akan ia serahkan seluruh hidupnya pada orang tersebut. Siapa pun.
“Pakai ini.” Sang pria meletakkan sebuah paper bag tanpa nama di meja yang terdapat botol wine serta asbak. Pun puntung rokok yang masih tersisa di sana.
Giselle mengerjap ketakutan tapi tak bisa ia hindarkan, kan? Ia pun memberanikan diri untuk semakin mendekat dan betapa terkejutnya ia saat mengeluarkan isi paper bag. Ia sampai tak bisa berkata-kata dengan apa yang kini bersentuhan dengan tangannya.
“Indah sekali,” pujinya tanpa sadar. Matannya meneliti dengan buas, tiap detail yang ada di gaun panjang berwarna pastel. Bordiran burung bangau di bagian lengan serta pada punggungnya terdapat bunga bermekaran benar-benar membuat ia takjub.
“Kau bisa memakainya sendiri?”
Mata Giselle bertabrakan dengan sang pria. Senyum pria itu tercipta tipis sekali kala tak ada satu pun dari mereka ingin mengalah sekadar mengalihkan sejenak, adu pandang yang tercipta ini.
“Bahkan dari balik topengmu saja, aku bisa pastikan, kau sempurna sekali mengenakan design terbaruku ini.”
“Aku ... aku tak mengerti apa yang Tuan maksud.” Giselle meletakkan kembali gaun indah tadi ke tempatnya. “Apa setelah mengenakannya ... Anda akan merusak di atas tubuh saya?”
Pria itu, Justin Stockholm terbahak untuk pertama kalinya. Sampai ia merasa perutnya kaku, sudut matanya basah karena kuatnya ia tertawa, serta merasa konyol lantaran ucapan itu benar-benar dikeluarkan oleh gadis yang menjadi incarannya.
“Kau tahu,” Justin berdeham sekilas demi mengentaskan tawa yang masih ia ciptakan ini. “Gaun ini adalah maha karyaku. Tak mungkin aku merusaknya dalam waktu dekat.” Ia pun kembali mendekat pada gadis yang kini duduk di depannya. “Pakailah. Dan jika feelingku benar, kau yang kucari.”
Giselle mengerjap tak percaya.
“Bawakan White Bird untukku, maka akan kubawa kau ke puncak tertinggi.”
“Aku ... aku tak mengerti apa maksud, Tuan?”
Justin tersenyum lebar. “Aku Justin Stockholm, pemilik rumah mode dan agensi terkenal, SEO fashion.”
Giselle tahu nama SEO sebesar apa di negara ini. Dan karena itu juga, ia sangat terkejut. Benar-benar terkejut.
“Kutunggu kau kenakan gaun ini, Giselle.”
Demi nama yang diberikan sang ibu untuknya, yang tak pernah ada satu pun memanggil nama depannya, tapi pria di depannya ini, memanggil dengan nada yang membuat ia memiliki secercah harapan.
“Kalau ...” Giselle menelan ludah gugup. Kesempatan tak akan pernah datang untuk kedua kalinya, kan? “Kalau menurutmu saya cocok mengenakan gaun ini, Anda benar-benar mewujudkan ucapan Anda tadi?”
“Naik bersamaku sampai ke puncak tertinggi?” tanya Justin memastikan.
“Iya.”
“Tentu saja. sebutkan harga yang kau inginkan untuk keluar dari sini. aku pastikan, apa yang tadi terucap segera terwujud. Bukankah jika kita sudah menetapkan tujuan, jangan pernah meragukan tekad yang membara di hati?”
Air mata Giselle jatuh begitu saja. tak peduli jika yang ia kenakan hanya bra serta celana pendek, ia pun mendekat. Bersimpuh dengan tangis yang memilukan. “Bebaskan aku dari tempat ini, Tuan. Aku tak tahu berapa harganya tapi kumohon ... akan kulakukan apa pun untuk mendukungmu.”