[14]

1220 Kata
“Aku tak menyangka jika pemilik SEO bisa segarang itu bertindak,” kata Andrew membuka obrolan yang sejak tadi hanya ditemani hening. Bukan tanpa sebab ia terdiam sejak masuk ke dalam ruang kerja milik Justin, tapi ada intimidasi yang sangat besar yang ia rasa. Kendati begitu, Andrew berusaha santai. Matanya mengedar sekadar untuk mengalihkan dari rasa tertekan berada di ruangan ini; mengagumi penataan ruang yang Justin miliki. Termasuk dibuat terkesima dengan design yang tertata apik di salah satu lemari kaca. Inginnya memuji tapi Andrew diingatkan pada tindakan Justin yang menurutnya benar-benar kelewatan. “Aku sudah memberi Jilly peringatan, tapi sayangnya ...” Justin meraih cangkir kopi yang tadi disajikan oleh salah satu staf SEO. Menikmati perlahan rasa pahit khas kopi yang menurutnya tak pas. Ia sampai mengernyit tak suka lantas meletakkan kembali cangkir tadi. Ia pun diingatkan mengenai ucapan yang belum usai dilontar dari mulutnya. “Wanita itu tak menggubris sama sekali. Seolah aku tak bisa melakukan tindakan apa pun,” katanya penuh dengan penekanan. “Kau tak ingin menikmati kopinya?” “Bukan begitu,” Andrew agak tergelagap. Ia pun mengangkat cangkir kopi bagiannya dan mulai menikmati. Menurutnya cukup bisa dinikmati oleh indra pengecapnya. “Apa yang wanita itu lakukan tak ada hubungannya denganku.” “Secara bisnis, kuakui memang tidak,” tukas Justin segera. “Tapi media tahu kalian dekat lantaran sering pergi bersama.” Ia pun menyeringai tipis pertanda apa yang akan mereka bicarakan bukan lagi sekadar basa basi belaka. “Kau mengancamku?” tanya Andrew dengan sorot tenang. meski ia akui, menahan berita mengenai klub Jilly yang bermasalah agak sukar lantara menyeret namanya. Siapa yang tak ingin mendapatkan berita besar seperti ini? Sejak berita penggerebekan yang polisi lakukan, sudah banyak sekali telepon masuk di kantornya hanya untuk menanyakan hubungan mereka. ditepis bagaimana pun, mereka memiliki bukti kuat jika Jilly dan dirinya sering bersama. Ah sial padahal kebersamaan itu ada karena Andrew menginginkan cerita lebih serta apa yang dilakukan Giselle setelah dirinya lama tak berkunjung. Serta tengah memikirkan cara agar Andrew bisa bertemu Giselle dengan bebasnya. Inginnya sedikit membuat Giselle ketakutan dengan informasi yang ia dapat dari Jilly. Siapa yang ingin nama baiknya mendadak jatuh karena masa lalu yang kelam? Dan Andrew ingin memanfaatkan hal itu. sayangnya, Andrew tak menyangka jika peran di balik layar yang melindungi Giselle terlalu besar untuk diruntuhkan. “Gunanya memberimu ancaman untukku apa?” Justin terkekeh. “Tak ada.” Andrew mengepalkan tangan. “Aku hanya sekali memberimu peringatan dan kau sudah serasa terbakar.” Lagi-lagi Justin berkata dengan puasnya. “Kau tahu,” pria itu pun mencondongkan diri pada sang lawan tanpa mengalihkan mata ke mana pun. memberi satu kesan jika Justin tak pernah main-main dengan ucapannya ini. termasuk sudah ia beri pertunjukan demikian bagus agar orang-orang yang berusaha menjatuhkan Justin, terutama Giselle, tak semudah membalik telapak tangan. “Kau baru pemula di bidang yang sudah kugeluti hampir lima tahun lamanya. Aku menapaki jalan dengan banyak lampu sorot jauh lebih berpengalaman darimu, Tuan Kingston. Andai bukan karena pengaruh nama belakangmu, kurasa kau tak bisa secepat apa yang kini kau dapat.” Andrew menggeram tertahan tapi tak bisa mengatakan apa pun karena ucapan Justin ini, benar-benar telak mengenainya. “Apa perlu kau dengar informasi seperti apa yang kudapat mengenai dirimu, Andrew Kingston?” Pengendalian diri Andrew mulai terganggu. Biasanya, di tengah banyak tekanan serta sorot merendahkan juga meremehkan, Andrew masih bisa terus bicara dengan tenang. juga mematahkan banyak anggapan mengenai dirinya terutama di saat rapat pemegang saham tertinggi di kantornya. Karena itu juga, ia terbiasa jika lawan bicaranya memiliki pengaruh besar yang bisa membuat ia bungkam serta patuh. Tapi kali ini, Justin benar-benar terlihat mengerikan. Sorot mata pria itu terlihat menantang dan tak kenal takut. “Masa lalumu juga tak kalah kelam dari Nami. Kalian berdua sama-sama bertindak untuk menopang hidup orang yang disayangi. Sangat amat disayangi tapi berbeda jalur. Kau penuhi apa pun keinginan orang yang membuat kalian tersiksa. Tak peduli langkahnya seperti apa sampai aku ada di titik ini. tapi sayangnya, orang yang kau sa—“ “CUKUP!” tukas Andrew dengan napas tersengal. Matanya menyorot hal yang begitu membara pada Justin. “Jangan kau teruskan!” Senyum Justin penuh kemenangan. “Aku tak ingin tahun-tahun jelang nama SEO dan model yang kuajak naik setinggi mungkin mendapatkan gangguan konyol seperti yang kalian rencanakan.” “Aku tak merencanakan apa pun,” sela Andrew dengan cepatnya. Ia masih harus menormalkan dirinya yang mendadak terpancing emosi. Dari mana Justin bisa tahu mengenai masa lalunya? Hal-hal yang tak ingin didengar apalagi sampai orang lain tahu? Ia memejam kuat berusaha agar tak terlihat lemah di depan lawan. Justin benar-benar tak bisa dianggap sepele. “Aku menyimpan semua informasi dari Jilly hanya untukku pribadi.” Andrew menghela pelan setelah berhasil membuat dirinya mulai menemukan ketenangan. “Untuk?” Justin kembali bersandar pada punggung sofa. Sembari mengangkat kakinya tanda ia sudah mulai rileks diajak bicara. Kendati begitu, sang lawan yang sama sekali belum tahu gestur Justin masih terus bersikap waspada. Ada banyak pertimbangan yang harus Andrew pikirkan sebelum melangkah untuk menanggapi pemberitaan di luar sana. Jangan sampai dirinya salah melangkah dan membuat posisinya di The Collage terancam. Bukan hanya dirinya yang dibantai oleh pemilik sesungguhnya dari The College—Henry Kingston, sang ayah. bisa-bisa dirinya didepak beserta orang yang sangat ia cintai itu. Tapi ... bagaimana pria di depannya ini tahu? Mungkinkah Justin mencari banyak informasi mengenai dirinya? padahal sudah rapat sekali ia tutupi, tak mungkin mudah bocor. Apalagi berkenaan dengan keluarga Kingston. “Kau tak perlu tahu.” Andrew mengangkat cangkirnya kembali. Menikmati kopi sepertinya bisa semakin membuat ia tenang. “Apa yang kau ketahui mengenai Nami, ah ... Giselle di masa lalu, membuat dirinya ketakutan.” Andrew meletakkan perlahan cangkir barusan. matanya sedikit terangkat karena ia merasa, ada yang mengawasi dengan sangat tajam. Dan benar saja, saat mata mereka bertemu, sorot mata Justin terlihat mengerikan. Ia sampai menelan ludah gugup serta melengos dengan segera. “Aku tak terbiasa memanggil Giselle dengan nama Nami. Aku yakin, dirinya juga tak suka jika ada yang memanggilnya dengan sebutan dari masa lalu yang ingin ia lepas dari hidupnya. Tapi apa mungkin? Kurasa tidak. masa lalu seperti bekas luka yang terus menempel ke mana pun tubuh aslinya bergerak. Mungkin memudar, tapi hilang tak mungkin karena memang masa lalu berkaitan dengan masa depan.” Andrew memilih membungkam suaranya. “Sama sepertimu yang terganggu saat aku tahu masa lalumu bagaimana. Iya, kan?” Tangan Andrew kembali terkepal. “Jadi ... katakan apa tujuanmu menyimpan kepingan masa lalu Giselle? Lantas mendekatinya dengan cara memberi ketakutan? Begitu?” “Tidak,” sahut Andrew dengan segera. “Aku memiliki tujuan tersendiri tapi tak akan kugunakan apa yang kutahu ini untuk menjatuhkannya.” Seringai Justin tercipta sudah. “Kau yakin?” Tanpa ragu, Andrew mengangguk. “Kau memiliki kartu yang jauh lebih mengerikan dibanding apa yang kupunya. Niatku memang bukan seperti itu, ditambah apa yang kau punya sekarang. semakin membuatku yakin, aku tak bisa menggunakan ancaman mengenai masa lalu Giselle padanya.” Justin terkekeh. “Kau pandai membaca situasi.” “Tapi ada satu hal yang memang kuinginkan sejak lama. Anggap saja, inilah tujuanku yang sesungguhnya.” Justin menatap lekat pria yang kini menegakkan punggungnya. “Aku ingin mendekat pada Giselle secara personal.” Tangan Justin terlipat dengan kening penuh kerutan. “Aku mengatakan hal ini sangat serius, Justin. Bisakah ... kau membiarkannya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN