[9]

1559 Kata
“Brina bilang, ada seseorang yang menemuimu?” tanya Justin setelah Jaguar yang ia kendarai, keluar dari lobby utama gedung perjamuan. Seperti biasanya, tak ada yang spesial. Hanya dihadiri kaum-kaum elite yang membalut percakapan mereka dengan bisnis. Juga banyak kerja sama yang menguntungkan pihak mereka atau pun beberapa orang saja. “Ya.” Giselle menghela pelan. Matanya tertuju pada jalan yang sudah tak terlalu banyak kendaraan berlalu lalang. Tak bisa ia enyahkan pemikiran serta sosok Andrew yang menghampirinya tadi. “Apa yang ia katakan?” Justin berusaha setenang mungkin. Sejak Giselle meminta izin untuk menepi sejenak, Justin sama sekali tak menurunkan sikap waspadanya. Meskipun Justin banyak berdiskusi dengan koleganya terkait bisnis yang ia geluti; termasuk properti yang bisa dijadikan tempat untuk membuka cabang baru butiknya. Ekor mata Justin tak pernah melepas Giselle begitu saja. Apalagi saat Giselle tengah menikmati wine yang diambil dari salah satu pramusaji, sang model memilih mengasingkan diri yang menandakan tak ingin adanya gangguan. Lantas pria itu datang menghampiri. Membuat Justin rasanya ingin mendekat dan memastikan Giselle nyaman bicara. Karena kabar yang ia dapatkan dari informan kepercayaannya, bukan isapan jempol belaka. Andrew Kingston datang bersama Jilly Adams. Selain Andrew memiliki peran cukup penting dalam hal menaikkan sebuah nama, juga di tangannya bisa menjadi pisau paling tajam serta jurang tertinggi untuk menjatuhkan Giselle. Meski Justin bisa membungkamnya, tapi bukan hal yang mudah mengingat nama Kingston yang disandang pria itu. Yang paling berbahaya adalah Jilly Adams. Tak Justin sangka jika wanita cantik itu sering sekali melanggar apa yang sudah ia jadikan ketentuan. Termasuk menemui Giselle tanpa sepengetahuannya pun memaksakan kehendak atas beberapa permintaan yang menurutnya bisa dikatakan sebagai pemerasan. “Dia tahu siapa aku sebelumnya.” Giselle berdecih pelan. Ia menarik napas panjang, mengisi tiap rongga dadanya dengan pasok oksigen. Agar ia tenang berpikir walau rasanya tak semudah itu mewujudkan. Tangannya mulai meremas ujung dress yang ia kenakan. Matanya terpejam yang kian lama kian tunduk. Lantas tanpa ia sadari, bahunya bergetar pelan. Terisak. Yang semakin didengar, semakin pilu menyapa telinga terutama bagi Justin. “Hei, kenapa harus menangis?” tanya Justin sembari membelai lembut rambut Giselle yang tergerai. Sesekali mengusap bagian belakang bahu sekadar untuk memberi ketenangan pada sang gadis. Agak lama Justin biarkan Giselle mengeluarkan emosinya. Biasanya Giselle selalu bicara, baik itu tengah dilanda jengkel, kesal, marah, sedih, atau pun gembira. Malah jika Justin boleh mengatakan kejujuran, Giselle bukan orang yang bisa menyembunyikan sesuatu di balik senyumnya. Mungkin sekarang Giselle sudah terbiasa dengan penguasaan ekspresi. Tapi di mata Justin, pria itu tahu kapan Giselle berubah suasana hatinya. Dan sekarang, yang dipilih Giselle adalah terdiam sembari menitikkan air mata. Artinya selain kekhawatirannya besar, ketakutan juga mulai menjalari dirinya. hal itu saja sudah membuat Justin tak suka. “Apa kau takut?” Justin bertanya penuh hati-hati. Pelan, Giselle mengangguk. “Tak usah kau khawatirkan hal-hal yang tak perlu. Aku yakin, masih bisa mengendalikannya, Giselle. Fokus saja pada pekerjaanmu yang bertumpuk. Semakin sibuk kau buat dirimu, serta banyak kegiatan yang bisa kau lakukan, hal-hal sesepele ancaman murahan seperti itu tak akan lama ada di otakmu.” Giselle terdiam. “Meski Andrew tak menggunakan digdaya keluarganya untuk membangun The Collage, tapi Kingston tetaplah Kingston. Tak bisa kumungkiri jika pengaruhnya cukup besar.” Gadis itu menoleh dan menatap Justin lama. Ia semakin dilanda beban yang berat lantaran Justin bisa bicara seperti itu dengan entengnya. Sementara ia? “Aku belum lupa saat Jilly berkata dengan senyum liciknya saat aku berpamitan untuk terakhir kali di klub,” kata Giselle penuh lirih. Matanya terasa panas siap menumpahkan air mata tapi berusaha ia tahan sekuat mungkin. Ia menghela panjang setelah dirasa bisa mengendalikan dirinya. “Dia bilang, saat aku ada di titik tertinggi aku bisa terjungkal tanpa bisa bangun karena masa laluku yang kelam. Jadi aku dilarang untuk bermimpi terlalu tinggi.” Ucapan itu jelas ditertawakan oleh Justin. Seolah wanita yang mengatakan pada Giselle, ada di depannya. Lengkap dengan gayanya bicara—tangan bersedekap, rokok di sela jemari, dan sorot mata merendahkan juga sinis. Tapi hanya berlaku saat menatap Giselle. Lainnya? Biasa saja. “Dan kau takut apa yang dia ucapkan terjadi?” Giselle menggigit bibir bawahnya. Perasaannya berkecamuk hebat. Ia semakin kuat meremas ujung dressnya. Bahkan sampai terasa basah pada telapak tangannya. “Jangan lemah hanya karena gerimis mulai menghajarmu, Giselle. Kau pernah melalui badai yang lebih dari ini, kan? Jika terbiasa menghadapi badai, gerimis tak akan mampu merobohkan dirimu.” Gadis itu menoleh pada pria yang duduk tenang di sampingnya. Tangannya yang bebas mengendalikan setir, diletakkan di bibir jendela. Dibiarkan angin malam masuk begitu saja ke dalam kabin dan parahnya, sepertinya Justin sengaja membuka kap atas mobil mewahnya ini. Angin yang masuk cukup besar. Membuat Giselle terpejam segera demi menyesuaikan dengan embusan yang segera menerpanya. “Aku juga memiliki kekhawatiran tersendiri dengan kedekatan mereka. aku bisa melakukan apa pun untuk melindungi orang-orang di bawah pengaruhku. Tapi di saat lengah? Mereka bisa memanfaatkannya dengan sangat baik dan kau ... sangat rentan dilemahkan.” Giselle yang masih menatap Justin, hanya bisa mengerutkan kening. “Kau meragukan keteguhanku?” “Ya,” sahut Justin singkat. “Kau keterlaluan.” Ia pun bersedekap sembari mengerucutkan bibir. “Bisakah jangan terlalu jujur?” Setidaknya, malam ini senyum Giselle kembali. Setidaknya juga, apa yang Justin lihat ini senyum dan tawa tanpa topeng. Paling tidak, Justin bisa istirahat dengan tenang malam ini. Bisa ia pikirkan cara agar tak ada yang mengusik Giselle beserta kehidupan lampaunya. Untuk saat ini Giselle aset penting untuk SEO. Tidak. dia salah satu pendiri yang sukses mengantarkan apa yang Justin inginkan ke muka umum. Cita-citanya, akan ada empat orang yang menjadi pilar utama agar SEO terus bergerak maju. Menjadi trensetter di negara ini. makin tersohor dari tahun ke tahun serta dipercaya oleh beberapa rumah produksi untuk bekerja sama. Tanpa mereka sadari, mobil yang Justin kendarai sudah tiba di basemen apartemen di mana Giselle tinggal. Sebelum gadis itu benar-benar meninggalkannya sendiri di mobil, Justin berkata. “Tidur yang nyenyak, harimu esok akan panjang, kan? Aku diberitahu Irena jadwal terbarumu. Meski tak jauh dari pusat kota, tapi tetap saja kau butuh persiapan.” Tak ada yang lebih menyenangkan untuk Giselle kecuali saat di mana Justin seperti seseorang yang sangat penting untuk hidupnya. Jangan salahkan Giselle jika ia mulai nyaman dan terbiasa dengan sikap Justin padanya. Terlalu manis dan sayang jika dilewatkan. Tuhan, boleh tidak jika aku jatuh cinta padanya? *** “Pagi, Giselle,” sapa Brina dengan ramahnya. Kelewat ramah malah. Giselle yang baru saja membuka pintu kamar, masih mengenakan piyama tidur sebatas lutut, hanya mengerutkan kening. Mengucek pelan matannya yang masih terasa lengket. Serta tubuhnya yang masih terasa kaku untuk digerakkan. Seharusnya ia masih bergelung di bawah selimut, kan? Jam berapa memangnya sekarang? bukankah dirinya ada ... Penerbangan pagi!!! “Kau tak membangunkanku?!” pekik Giselle dengan paniknya. Ia pun buru-buru masuk kembali ke dalam kamar. Mempersiapkan diri tanpa peduli jika Brina menatapnya penuh heran. Pun satu buket bunga mawar merah yang ada di tangan asistennya itu. “Giselle!” panggil Brina begitu menyadari, jika gadis bodoh itu lupa jika penerbangannya dilakukan sore hari. Dia datang di pagi ini untuk menemani Giselle— memaksa tentu saja—agar ia mau berolah raga. Setidaknya mengelilingi taman di apartemen ini sebanyak dua puluh kali. Brina pun bergegas menghampiri gadis yang tampak bersungut-sungut karena kebodohannya yang bangun kesiangan. Di ambang pintu, yang bisa Brina lakukan hanyalah menggeleng heran. “Kau benar-benar pelupa atau ceroboh, ya?” Gerak Giselle mengambil salah satu kemeja yang akan dikenakan untuk pergi ke jadwal berikutnya, terhenti. Matanya mengerjap heran tapi kemudian, kembali bersungut-sungut. “Jika tak ingin membantuku, aku bisa sendiri mempersiapkan diri. koperku sudah siap!” “Penerbanganmu dijadwalkan sore ini.” Giselle terhenyak, lantas seperti terkena sengatan listrik beberapa volt, ia pun tersadar. “Astaga!” ia pun menepuk dahinya dengan agak kasar. “kau ini!” Giselle langsung mengubah haluannya. Menyerang Brina tentu saja! Yang mana membuat Brina melotot tak percaya. “Jangan lakukan itu padaku, Giselle!” Tapi Giselle tak akan mau berhenti. Ia pun mengejar Brina yang berlari menjauh. Teriakannya segera memenuhi ruang apartemennya yang luas. Pun Giselle yang ikut tertawa sembari terus meraih Brina agar ada dalam jangkauannya. Sampai sang asisten tersudut—duduk di sofa dengan melindungi dirinya agar tak kena serangan gelitik dari Giselle. Giselle tetaplah Giselle yang memiliki sifat usil. “GISELLE!!!” teriak Brina dengan tawa lepas. “Kau harus ku hukum! Kau keterlaluan!” Giselle terbahak tapi terus menyerang Brina dengan tangannya yang dituju pada titik-titik yang membuat Brina memekik kegelian. Dirasa puas, dengan napas tersengal, serta kening yang berpeluh, Giselle pun melepaskan hukumannya. Sang korban; Brina, melotot garang ke arahnya tapi disertai senyuman lebar. Merasa bersyukur, Giselle bisa kembali ceria. “Aku ambil minum dulu,” kata Giselle sembari bangun dari duduknya. Ia merasa butuh minum untuk menghilangkan dahaga setelah puas mengerjai Brina. Saat langkahnya menuju dapur, buket bunga yang diletakkan di meja menarik perhatiannya. “Perhatian sekali kau bawakan aku bunga, Brina,” kata Giselle sembari terkekeh. “Enak saja.” Brina berdecak sebal. “Aku pun bertanya-tanya padamu, siapa pria tak punya pekerjaan yang mengirimkanmu bunga sepagi ini.” Kening Giselle berkerut dalam. Jika bukan Brina yang memberikan untuknya, lantas siapa? “Ada kartu yang terselip di sana. Aku belum sempat membacanya.” Brina pun bangun dari duduknya. Berjalan mendekat pada Giselle yang tampak terpaku setelah melihat kartu yang dikatakan dirinya tadi. ‘Morning, Nami. Merah itu indah, kan?’ Your fans; AK_
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN