Giselle menyantap sup yang kebanyakan berisi seafood ini dengan sorot waspada. Meski ia akui, pemilihan restoran kali ini cukup privasi. Tak ada yang mengganggunya dengan tatapan penasaran dan memuja seperti saat ia makan di tempat umum. Dan karena itu juga, Giselle memilih restoran yang memiliki tempat agak private. Bukan sombong karena namanya semakin terkenal di seantero negara ini. oh ... sama sekali tidak.
Giselle tak pernah terpikirkan untuk menyombongkan apa yang ia miliki sekarang. masih jauh dari kata puncak karier seorang model ternama. Ia baru menjajal dunia yang sangat baru dan kebetulan, tangan Justin yang sangat dingin mengantarkannya pada kesuksesan.
Ia hanya menginginkan di waktu sempit kala menikmati makanan, tak ada yang mengganggu. Karena setelah ia makan, ada jadwal lain yang menunggu. Terkadang lebih sering Giselle makan di lokasi pemotretan untuk menghemat waktu. Atau malah, di mobil sembari mendengarkan Brina menyampaikan hasil briefing sebelum pemotretan berlangsung.
“Kau harus mencoba cumi bakar di restoran ini,” kata Andrew sembari tersenyum penuh arti.
“Tak perlu.” Giselle memilih untuk menampilkan senyum terbaiknya saja. “Aku sudah ke—“
“Sayangnya sudah kupesan.” Andrew terkekeh. “Lagi pula, pekerjaan seorang model itu butuh banyak tenaga, kan? Kenapa mereka harus mengurangi porsi makan?”
Tangan Giselle terkepal kuat jadinya. Matanya semakin menatap sang lawan bicara dengan lekat. Suapan terakhirnya pada sup berkuah agak merah, dengan cita rasa sedikit pedas juga masam tapi membuat Giselle ketagihan, adalah penutup dari makan siangnya. Ia tak berbohong jika perutnya sudah penuh. Semenjak pola makannya diatur Brina, entah kenapa apa yang Giselle makan membuatnya memiliki tenaga lebih. Mungkin Brina sudah menghitung segalanya jadi tak ada energi yang terbuang sia-sia alias jadi tumpukan lemak. Entahlah, Giselle hanya menuruti apa yang Brina katakan. Karena jika tidak? wanita yang memiliki kelembutan serta kesabaran menghadapi Giselle, bisa berubah menjadi beruang paling menakutkan dalam hidupnya.
Tidak. Giselle tak mau mengambil risiko itu.
“Kami bukan mengurangi porsi, tapi menghitung kalori yang masuk.” Giselle bersuara pada akhirnya, lantaran sang lawan bicara justru menopang wajahnya dengan tangan. Menatapnya jauh lebih lekat dibanding sebelumnya. Dan Giselle merasa risih.
“Selain ajakan makan bersama, adakah tujuan lain Tuan?” tanya Giselle sembari meraih gelas minumnya. Meski keinginan untuk menenggak habis itu ada, tapi ketahuilah, sorot matanya ia pergunakan untuk membuat penilaian serta meningkatkan kewaspadaan pada Andrew.
“Tak ada.” Andrew tertawa. “Kau sudah menerima buket bungaku, kan?”
“Anda seperti stalker,” ungkap Giselle secara terang-terangan.
Ucapan barusan ditanggapi tawa lebar dari Andrew. “Kau tahu kekuatan memiliki pengaruh? Mengetahui tempat tinggalmu adalah hal yang sangat mudah.”
“Tapi saya keberatan ada kiriman seperti itu, Tuan.” Giselle berkata sembari mengukir senyuman selebar mungkin. “Anda begitu bersusah payah padahal aku tak menyukai bunga. Apalagi mawar.”
“Benarkah?” Andrew cukup terkejut dengan pengakuan Giselle barusan. Manik mata gadis itu sekelam malam. Tajam serta memiliki kemagisan tersendiri yang membuat ia tersihir. Sejak pertama kali bertemu, rasanya memang Andrew tak bisa teralih ke mana pun selain pada Giselle. Memastikan tiap pertunjukkannya ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri.
Terkadang menginginkan Giselle menemaninya sepanjang malam tapi sayang, selain kehidupannya yang tak bisa bebas ia lakoni, Giselle juga tak mudah untuk menerima sembarang tamu. Ada beberapa batasan yang membuat Andrew tak bisa seenaknya bertingkah. Atau keluarga besarnya menyeret ia pulang dan diharuskan menjalani kehidupan yang tak ia sukai.
Pepatah lama mengatakan, menikmatimu dari kejauhan sudah lebih dari cukup asal kau selalu tersenyum bahagia.
Cih! Terkesan romantis, kan? Tapi itulah yang Andrew rasa untuk Giselle.
Makanya sekarang, ia sangat gembira bisa bertemu lagi dengan gadis yang dipuja setengah mati. Rasa-rasanya juga, ia ingin membuat Giselle tak lagi menjauh darinya. apalagi kondisi sekarang memungkinkan untuk Andrew melakukannya. Jilly banyak berkisah mengenai Giselle sesaat sebelum meninggalkan klub tersebut.
“Aku pikir seorang gadis menyukai mawar merah.” Andrew membenahi duduknya. “Aku tak banyak tahu mengenaimu rupanya. Kalau begitu,” ia pun sedikit mencondongkan diri pada Giselle yang tampak tenang. kendati begitu, manik mata Giselle tampak membola.
Artinya ... apa yang ia lakukan cukup mengejutkan bagi sang model. Andrew tak dapat menahan tawanya tapi sungguh, melihat wajah Giselle dari jarak sedekat ini tak pernah ia sangka bisa dilakukan.
“Jika aku tahu apa pun yang kau suka, jangan pernah menolaknya.” Andrew pun kembali duduk santai. Membiarkan Giselle mengatur napasnya yang tampak menderu jengkel. Pun sorot mata kelam itu juga menatapnya dengan tatapan menghunus. Siap untuk berperang. Astaga, menggemaskan sekali Giselle seperti ini di depannya.
Biasanya, sepanjang Andrew mengenal siapa Giselle di atas panggung, ah ... bukan Giselle. Tapi Nami. Benar. Nami yang ia kenal, tatapannya begitu menggoda. Meruntuhkan akal dan iman yang dimiliki banyak lelaki di sekitarnya. Belum lagi caranya meliukkan tiap anggota tubuh. Benar-benar membuat siapa pun yang melihat, terbakar hasrat sampai tak bisa mengendalikan lagi.
“Apa tujuan Anda sebenarnya?” tanya Giselle pelan. Tapi ketahuilah, suara itu mengusik sang pria.
Mereka beradu pandang tanpa ingin kalah satu sama lain. Sang gadis menanti jawaban, sementara sang pria memilih kata apa yang sesuai. Jika ia katakan keinginan terdalamnya; membawa Giselle ke ranjang pribadi sang pria, bisa dipastikan penolakan besar-besaran.
Giselle bukanlah Nami yang pernah dikenal. Tapi tetap saja, Nami adalah Giselle. Masa lalu itu tak bisa mudah dilepaskan dari kulit si pemilik tubuh. Melekat kuat, kadang menjadi penyemangat kadang lagi menjadi racun yang siap membuat tubuh pemiliknya rusak parah.
“Sejak awal, aku penggemarmu, Nami. Ah ... tidak. Baik Nami atau Giselle, sama saja bagiku.” Andrew mengangkat gelasnya. Menggoyang pelan dan kembali menatap Giselle penuh lekat. “Kau idolaku, Giselle Namiozuka. Salah jika aku memiliki perasaan seperti itu?”
***
Justin mengusap ujung dagunya. Matanya tampak memindai penuh detail pada tiap bagian tubuh Giselle yang kini mengenakan gaun hitam sebatas paha. Tatanan rambutnya masih diperbaiki oleh Brina sesuai dengan perintah yang diberikan Justin.
“Apa yang kurang?” bisiknya penuh tanya.
“Ayolah, Justin,” rengek Giselle sembari mengerucutkan bibir. Ia sudah tak tahan harus mondar mandir di depan sang bos. Entah sudah berapa gaun hitam yang dikenakan tapi belum juga ada yang sesuai dengan penglihatan Justin.
“Sebentar lagi, Giselle. Kau cocok dengan gaun itu tapi aku merasa ada yang kurang tapi apa?”
Giselle berdecak. “Aku tahu harus apa.” Ia pun bergegas meninggalkan Justin juga Brina yang tampak terperangah dengan tingkahnya. Agak lama Giselle berada di dalam kamar. Memperbaiki pulasan make up yang menurutnya sudah menonjol tapi kurang sesuai dengan gaun yang ia kenakan ini.
Jika hanya menampilkan sisi menggoda yang ia punya, Giselle masih mampu mewujudkannya. Giselle yang dikenal masyarakat umum adalah Dewi Kecantikan yang lemah lembut, penuh kasih, serta memiliki senyum yang membuat orang di sekitarnya bahagia. Bukan Giselle yang seksi serta menggoda seperti sekarang.
“Nah, bagaimana?” tannya Giselle sembari berkacak pinggang. Topengnya sudah ia kenakan—mengingatkannya pada kenangan lama tapi mau dibilang apa? Ia tak bisa menolak permintaan Justin untuk menemaninya. Ada satu klien yang ingin mereka temui. Terkait dengan kontrak kerja sama baru menggunakan Giselle sebagai model utama.
Justin menyeringai tipis. “Kau memang ahlinya.” Ia pun mengulurkan tangan. Disambut dengan seringai tipis dari bibir yang berpemulas merah marron. Membingkai bibir Giselle sedikit lebih penuh dari biasanya. Pun make up pada mata sang model dibuat lebih tegas karena hanya ditampilkan menggunakan topeng.
Rambut yang tadi ditata, hanya dijepit pada bagian tengah oleh Giselle. Ditahan menggunakan sirkam dengan manik mutiara hitam seperti gaun yang ia kenakan. Cardigan berbahan sifon tipis lembut jauh sempurna di bahu Giselle, menutupi sekitar bahu yang terbuka.
“Astaga!” Brina menatap kagum pada Giselle yang kini sudah bersama Justin. “Kau mulai memelajari cara yang tepat untuk tampil di muka umum.”
Giselle hanya tertawa mendengar ucapan itu. kembali ia tinggalkan Brina di apartemennya. Berjalan berdampingan dengan Justin selayaknya kekasih yang dimabuk asmara. Andai itu kenyataan yang ada di hidup Giselle, mungkin ia merasa sebagai gadis yang paling beruntung.
Justin adalah pria yang baik dan tahu cara memperlakukan seorang wanita. Beruntung sekali gadis yang berhasil mendapatkan hatinya. Atau ... mulai kini Giselle berusaha untuk merebut perhatiannya? Toh sepanjang ia mengenal Justin, belum pernah ada yang mendekati sang pria secara personal, kan?
“Aku dengar kau menerima tamu saat pemotretan tadi?” tanya Justin sembari mengernyit heran karena tingkah Giselle malam ini. selain menggamit tangannya—itu sudah biasa Giselle lakukan—gadis itu kini bersandar nyaman di lengannya.
Benar-benar pasangan yang serasi, kan?
“Ehm, ya. Hanya menemaninya makan siang,” sahut Giselle berusaha tenang. “Aku tak tahu dari mana pengetahuan Andrew berasal. Ia tahu unitku dengan tepat serta jam di mana aku break setelah pemotretan.”
“Terdengar mengerikan.” Justin pada akhirnya hanya bisa pasrah. Lagian, ia tak memiliki perasaan apa pun pada Giselle. Gadis itu ada di bawah perlindungannya. Maka kewajibannya melindungi Giselle dan membuat gadis itu nyaman. Itu saja.
Tak ada yang membuatnya merasa harus memiliki hubungan spesial selayaknya pasangan di antara mereka.
“Aku tak tahu apa tujuannya. Aku berusaha mencari tahu dengan hati-hati. Dia mengenalku dengan sangat baik. bahkan tak segan membuatku tak nyaman ada di dekatnya.” Giselle memejam sejenak, berusaha untuk menormalkan gejolak yang ada di hatinya.
“Jangan pernah terima lagi keberadaannya jika kau tak nyaman, Giselle. Kita tak pernah tahu apa keinginannya tapi jika bersinggungan dengan masa lalumu, ia harus menghadapiku dulu.”
Senyum Giselle tercipta tipis sekali. Hal ini juga semakin membuat gadis itu nyaman bersandar pada Justin. Kendati begitu, masih tersimpan kecemasan tersendiri di hatinya. “bagaimana denganmu nantinya?”
“Aku?” tanya Justin seraya menoleh pada gadis yang bergelayut manja padanya. “Kenapa denganku?”
“Maksudku, SEO,” ralat Giselle segera.
“SEO tak akan terkena dampak. Aku masih bisa menahan jika Andrew melakukan hal konyol. Jika sudah keterlaluan, aku yang akan menemuinya nanti.”
“Apa dia akan datang?” Giselle mengangkat sedikit wajahnya. Membuat mereka saling menatap lekat.
“Pasti. Acara utama pesta ini adalah pengumuman pernikahan putri Duta Besar. Berita seperti itu tak akan dilewatkan Andrew dan timnya.”
Giselle tanpa sadar menggigit bibir bawahnya.
“Jika boleh aku jujur mengenai penampilanmu malam ini, kau benar-benar Aphrodite yang menggoda.”
Senyum Giselle tak bisa ditutupi sama sekali. “Apa kau suka?”
“Tergantung persepsi pertanyaan yang kau ajukan, Giselle. Sebagai seorang pria normal, aku pasti katakan aku sangat menyukai penampilanmu malam ini. bahkan kalau perlu, kita tak usah menghadiri pesta. Banyak alasan yang bisa kuberi pada Duta Besar.”
Giselle tampak tersipu, tersenyum malu, serta tertunduk tanpa ia sadari.
“Tapi sebagai seorang kakak; adiknya ini benar-benar membuat jantung bekerja ekstra. Butuh pengawasan lebih agak kau selalu aman berkeliaran di tengah pejantan yang mencari ratu yang tepat untuk menemani malam mereka.”
Senyum itu lenyap begitu saja.
“Ayo, mobilnya sudah siap. Kau tak masalah sementara menggunakan topeng, kan?” tanya Justin sembari melepaskan kaitan tangan Giselle di lengannya. “Kali ini, biar aku yang bicara dengan Andrew. Jangan sampai kau berjauhan denganku di sana. Paham, Giselle?”