CD 4

2375 Kata
Dengan tangan melipat di d**a, Debbina berjalan santai di perusahaan milik Axel. Baldwin Entertainment. Perusahaan yang bergerak di bidang industri hiburan tanah air yang namanya sudah tidak diragukan lagi. Banyak sekali aktris dan aktor dibawah naungan Baldwin Entertainment ini. Termasuk salah satu aktris yang sedang naik daun namanya. Saat berjalan raut wajah Debbina terkesan datar, atau lebih tepatnya cuek. Banyak orang yang berbisik-bisik selama dia berjalan. Mungkin penasaran karena ada orang baru yang datang ke tempat mereka bekerja. Atau mungkin heran karena hanya dia yang memakai jeans dan kemeja kebanggaannya. Padahal yang lain, terutama cewek-cewek memakai rok span dan penampilan rapi dengan rambut disanggul jadi satu. Belum lagi riasan mereka jangan ditanya. Sementara dirinya ... rambut sebahu miliknya hanya dikuncir kuda. Dalam hati Debbina bertanya-tanya, mereka mau kerja apa mau manggung. Padahal matanya masih sedikit ngantuk karena semalam begadang menonton drama Thailand terbaru. Tentu saja dia tidak boleh melewatkan. Tidurnya harus terganggu karena Axel pagi-pagi buta sudah menerornya. Entah dulu sebelum Debbina pria blasteran itu mengganggu seperti dirinya apa tidak. Tapi yang pasti kalau sampai seperti. Axel Xavier Baldwin, memang tidak punya kerjaan. Axel menyuruh Debbina berangkat pagi-pagi karena ada pekerjaan di kantor sebelum mereka pergi keluar untuk bertemu klien. "Bii ... gue nggak tahu ini keputusan yang tepat apa nggak. Yang jelas, lo harus siap menerima apapun itu. Terutama berhadapan dengan si Engsel setan itu," gumam Debbina, dengan raut wajah pasrah. Beberapa kali Debbina menyapa staf yang ada di situ. Meskipun sama seperti di lantai bawah, banyak orang yang penasaran dengannya. Debbina sampai di depan ruangan Axel. Kemudian mendudukkan diri di kursi yang ada di situ. Dia kan belum tahu di tempatkan di mana, ruangan mana dan lantai berapa. Jadi dia duduk saja di situ sembari menunggu Axel datang. Sudah beberapa menit Debbina menunggu, belum ada tanda-tanda Axel datang. Dia menatap ke satu arah, tapi tetap saja. Axel belum menampakkan dirinya. Debbina mendengus sebal. Menyuruh dirinya datang cepat tapi dia sendiri malah belum datang. Eh, Axel tidak salah sih ... dia kan bosnya. Tidak lama kemudian, ada seorang anak kecil berusia lima tahunan dengan rambut kuncir dua berlarian ke area situ. Debbina terpesona dengan kecantikan gadis cilik itu. Rambut pirang dengan mata biru. Sekali orang lihat saja sudah tahu, kalau gadis cilik itu adalah blasteran. Ya ampun ... impian Debbina adalah mempunyai anak blasteran dengan rambut pirang dengan mata berbeda dengannya. "Nona Alenza, tolong jangan berlarian." Edward mencoba menyusul gadis cilik ponakan sang atasan yang hari ini ingin datang ke sini. Kening Debbina mengernyit. Ada hubungan apa antara gadis cilik itu dan sang atasan. Kenapa si pengacara seperti menjaga hati-hati dia. Apa dia adalah anak Axel? Eh, apa Axel sudah menikah? Kalau pun sudah menikah, kok anaknya sudah besar ya? Sementara Aiza saja baru menikah. Apa Axel melangkahi Aiza, menikah duluan karena Accident? Misalnya loh, ya. Soalnya ada sedikit kemiripan antara Axel dan gadis cantik itu. "Aduh!" Debbina sedikit terkejut karena gadis itu jatuh tidak jauh darinya. Debbina langsung bangun dan membantu gadis yang dia ketahui bernama Alenza itu. "Ya ampun, Nona Alenza!" pekik Edward, seraya sedikit berlari. Jelas Edward takut kalau dimarahi daddy-nya Alenza. Belum lagi sang atasan. Kalau Axel tahu keponakan kesayangannya jatuh, bisa tujuh hari tujuh malam dia mengomel tanpa henti. Apalagi Alenza adalah penguasa tertinggi di keluarga Baldwin, karena dia cucu pertama di keluarga besar itu. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Debbina sembari membantu Alenza, membersihkan lutut kaki yang kotor. Alenza menatap mata Debbina. Mereka berdua saling bertatapan sebentar. Sementara Debbina tersenyum. Dalam hati dia mengagumi kecantikan gadis cilik itu. Masih kecil saja sudah secantik ini. Bayangkan kalau sudah besar. Pasti akan menjadi primadona suatu saat nanti. "Nona Alenza, tidak apa-apa?" Edward datang langsung memeriksa tubuh cucu kesayangan keluarga Baldwin itu. Alenza beralih menatap ke Edward, "Ale tidak apa-apa, Uncle Edward." "Ale-Ale." Semua menoleh ke arah Axel yang sedang bersandar ke pintu ruangannya dengan tangan melipat di d**a. Axel memang sudah sampai di kantor pagi-pagi sekali. Bahkan sebelum para pegawainya datang, dia sudah datang duluan. Dia ingin memastikan kalau Debbina datang apa tidak ke kantor. Ini keluar dari ruangan karena di luar seperti ada sesuatu. Dugaannya benar, ternyata dia hari ini kedatangan tamu spesial. Alenza, anak tunggal sang kakak. Debbina juga ikut menoleh ke Axel, kemudian dia melongo. Sejak kapan bosnya itu sampai di kantor? Kok, tahu-tahu sudah ada di sana. "Papi," panggil Alenza ceria, lalu berlari ke Axel. Alenza memang memanggil Axel 'Papi' dan ke Aiza 'mama', sementara ke sang ayah, memanggilnya 'daddy'. Axel berjongkok menyamakan tinggi Alenza, "Hai, baby girl ... tadi kenapa? Jatuh ya? Kan Papi sudah bilang, jangan berlarian," ucap Axel lembut, sembari mengusap rambut pirang milik ponakannya. Debbina semakin melongo melihat interaksi Axel dan Alenza. Berarti benar, kalau gadis cilik itu anak Axel? Wah, dia tidak menyangka. Tapi kenapa Axel memanggilnya Ale-Ale? Astaga ... sama anak sendiri juga seperti itu. "Papi, Ale capek," rajuk Alenza dengan kaki sedikit dihentakan. "Ya udah sana masuk, ok? Papi ada urusan sebentar." Alenza mengangguk, lalu gadis berkuncir dua itu masuk ke ruangan Axel. Alenza memang sangat dekat dengan Axel. Hampir setiap hari dia akan datang ke tempat sang paman. Dan saat pulang terkadang dijemput oleh sang nenek atau ayahnya. Kemudian Axel menatap Debbina yang masih berdiri dengan mulut ternganga. "Ngapain kamu disitu? Masuk!" perintah Axel sedikit ketus. Debbina tersentak kaget, lalu mendengus kecil. Kayanya Axel memang mempunyai kepribadian ganda, makanya tadi bisa berbicara halus, dan sekarang kembali dalam mode menyebalkan. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak." Edward sedikit memunggukkan badan ke Axel. Hari ini dia ada jadwal pertemuan dengan seorang ibu-ibu nyentrik yang ingin bercerai dengan suaminya. Edward harus bisa memenangkan sidang itu, atau rambutnya akan menjadi korban pelampiasan kemarahan wanita dengan rambut pink itu. Axel mengangguk, lalu kembali menatap gadis cantik dengan penampilan unik itu. "Ayo cepat masuk. Saya tidak mempunyai waktu banyak." Axel masuk ke dalam, meninggalkan Debbina yang mengepalkan tangannya karena menahan kesal. Debbina masuk ke dalam ruangan Axel. Setelah menutup pintu, dia memindai ruangan Axel yang sangat luas. Banyak pot dengan tumbuhan hijau yang ada di ruangan Axel, menambah kesan segar dan elegan. Debbina tidak melihat Alenza. Jadi dimana gadis cantik itu. Entahlah ... dia jadi ingin bermain dengan Alenza, padahal mereka tidak saling mengenal. Memang sejauh ini, Debbina sangat menyukai anak kecil terutama cewek. Makanya tidak heran, Debbina meminta Linzi menikah biar dia punya ponakan. Dasar Debbina! "Mau sampai kapan kamu berdiri di situ kaya patung hidup?" sinis Axel. Debbina mendengus sebal, lalu mendesah panjang. Sabar Debbina ... sabar! Ini masih pagi jangan menguras tenagamu berdebat dengan pria sombong itu. "Pak, lama-lama saya ogah loh, bekerja di tempat Anda," gerutu Debbina berjalan menghampiri Axel. Menggeret kursi di depan Axel, lalu mendudukkan diri di sana. "Enak aja kalau ngomong! Kita kan sudah membahas perjanjian kita kemarin. Jadi jangan harap bisa lepas begitu saja," ucap Axel menyerahkan map biru berisi kertas-kertas ke Debbina. Axel sengaja memakai itu, agar tidak berceceran isinya dan lebih rapi juga. Debbina melirik kesal Axel, "Anda yang memaksa saya, bye the way. Kalau bukan karena paksaan Anda, saya pun ogah berada di sini," jawab Debbina, mengambil map yang dikasih Axel. Axel terkekeh pelan, "Tapi nyatanya, kamu datang ke sini lagi kan? Berarti kamu juga butuh pekerjaan ini." "Terpaksa, Pak, terpaksa," elak Debbina, menekankan ucapannya. Lagi-lagi Axel terkekeh. Bekerja dengan Debbina, pasti akan membuat umurnya lebih panjang, karena kebanyakan tertawa. Axel memperhatikan Debbina yang sedang membaca kertas-kertas yang dipegangnya. Meskipun wajah Debbina tidak terpoles makeup, tapi tidak menutupi kecantikan gadis itu. Padahal Debbina tidak memakai maskara, tapi bulu matanya panjang dan lentik. Dan sekarang lagi bergerak-gerak lucu, membuatnya gemas. Eh, tunggu dulu. Gemas? Tidak, tidak, tidak. Axel menggelengkan kepalanya. "Dimana saya tandatangan?" tanya Debbina setelah membaca kertas perjanjian yang dibuat Axel. Axel mengerjapkan matanya beberapa kali, "Itu kamu sudah baca semuanya?" "Hem." "Tidak ada yang ingin kamu tanyakan ke saya isi perjanjian itu?" tanya Axel dengan kening berkerut. Tumben. Padahal dia sudah membayangkan Debbina akan protes isinya. Berdebat kaya biasa, seperti sebelumnya. "Tidak. Kalau pun saya ingin. Semuanya saya tidak mau. Ini, ini dan ini. Tapi ada daya, sekarang saya sudah menjadi babu Anda. Mana mungkin seorang babu, boleh komplain ke atasannya," jawab Debbina, sedikit sinis ke Axel. Axel terkekeh. Bertemu dengan Debbina membuatnya sedikit terhibur. Padahal Debbina tidak sedang melawak. Raut wajahnya bahkan tidak ada lucu-lucunya sama sekali. "Ok, karena kamu sudah setuju. Silahkan tanda tangan di sini." Axel menunjuk dimana harus ditandatangani Debbina. Kemudian menyerahkan bolpoin ke Debbina. Debbina melirik sinis Axel sebelum menandatangani kontrak itu. Axel mengambil map yang sudah ditandatangani Debbina, dan menyimpan di laci. Nanti saja baru dia simpan di tempat khusus, dimana tidak ada orang yang tahu. "Meja kamu ada di depan sana." Axel menunjuk tempat di depan ruangannya. Tempat Debbina kelihatan dari dalam ruangan Axel, karena pembatasnya terbuat dari kaca, bukan tembok. Sengaja dibuat seperti itu, agar Axel bisa sesekali mengecek sekretarisnya. Debbina menoleh ke belakang. Kemudian dia mendesah panjang. Padahal dia ingin mempunyai ruangan tertutup. Tapi ternyata ruangannya tepat di hadapan ruangan sang atasan. Mana kelihatan dari dalam lagi. "Silahkan kamu keluar dari ruangan saya." Debbina menoleh ke Axel, "Pak, bukannya kita akan pergi ke luar?" "Tidak, saya tidak ada jadwal ke luar. Itu alibinya saya saja supaya kamu cepat datang ke kantor. Lagipula ada Alenza di sini. Tidak mungkin saya tinggal dia," jawab Axel santai, tidak peduli mulut Debbina yang sedikit terbuka karena tidak percaya. "Jadi Bapak itu mau ngerjain saya?" "Enggak juga. Tapi kalau kamu mau anggap seperti itu ya udah, silahkan." Debbina mengeram kecil. Kemudian dia beranjak dari duduk sebelum bertambah jengkel ke Axel, "Kalau begitu, saya permisi dulu, Bapak Axel Yang Terhormat," pamit Debbina dengan nada sinis. Lagi-lagi Axel dibuat santai dengan kekesalan Debbina. Dalam batinnya, itu belum seberapa. Hihihii Debbina keluar dengan bibir mulai misuh-misuh tidak jelas. Kuatkan hati Debbina. Beberapa kali bertemu dengan Axel Xavier Baldwin, membuatnya sedikit tahu kalau sang atasan tipe orang yang pendendam. Debbina duduk di tempatnya, dan menatap meja yang ada di depannya. "Tenang, Bii, tenang ... ambil sisi positifnya dan buang sisi negatifnya. Setiap kali lo kesal dengan si Engsel setan, ingat! Lo sekarang butuh duit buat menunjang hidup lo. Kedua, setidaknya lo juga bisa melihat artis atau aktor di sini secara langsung, tidak hanya lewat layar kaca saja," gumam Debbina, menatap Axel yang sedang tertawa di dalam sana bersama Alenza. "Ya ampun, Nak, apa kamu tidak tahu sifat lain dari papamu seperti apa." Debbina menatap Alenza prihatin. Merasa prihatin karena mempunyai papa seperti Axel. Kalau bukan karena kerjaan, Debbina tidak mau masuk lagi ke ruangan Axel. Dia ingin mencatat atau bertanya apa saja tentang pekerjaannya. Bersyukur Axel tidak membuatnya jengkel karena setiap kali ditanya langsung dijawab tanpa ada cibiran atau kata-kata bossy-nya. Iya lah, Alenza sedang bermain di sekitar Axel. Jadi mungkin saja Axel menjaga image di depan anaknya. "Papi," panggil Alenza. "Iya, baby girl...." Axel berdiri dari duduknya, "Sebentar ya, Debbina." Debbina hanya mengangguk, dan mengikuti kemana Axel melangkah. Axel duduk karpet bulu tempat main Alenza. Sebelum Alenza sering datang ke sini, ruangannya tidak besar. Tapi semenjak sang ponakan datang, Axel sengaja memperluas ruangannya supaya Alenza bisa leluasa bermain di situ. "Kenapa?" tanya Axel lembut, sembari mengelus rambut sang ponakan. "Ale lapar Papi, pengen es krim," pinta Alenza, memeluk lengan Axel manja. "Kalau lapar itu makan, Ale, bukan minta es krim," ucap Axel, kemudian geleng-geleng kepala. "Tapi Ale pengen es krim!" Bibir Alenza cemberut, lalu tangan mungilnya dilipat di d**a. Axel terkekeh kecil. Alenza kalau sudah seperti itu, tandanya tidak mau apapun selain apa yang dia pinta. Atau ponakan kesayangannya tidak mau datang ke kantor lagi. "Ok, kalau Ale mau es krim. Tapi setelah makan es krim, Ale tidur ya? Nanti Papi dimarahi nonna (nenek) loh ... ok?" Alenza terkikik geli. Sang paman memang takut pada sang nenek kalau sampai membuat dirinya menangis atau kenapa-napa. Sementara Debbina menahan tawanya. Ternyata sang atasan tipe suami takut istri juga. Jelas berpikir seperti itu, karena dia tidak tahu siapa 'nonna' yang dimaksud Axel. Di pikirannya, 'nonna' adalah istri sang atasan. Dan Alenza anak mereka. Begitulah... "Ok?" "Ok, Papi," jawab Alenza ceria. Ekor mata Axel melirik ke samping. Dia sampai lupa kalau masih ada Debbina di situ. Kemudian dia kembali menatap Debbina. Axel berdehem sekali, "Bisakah kamu ajak Ale pergi beli es krim di depan kantor sana? Kebetulan stok es krim Ale sudah habis di kulkas." Debbina mengerjapkan kedua mata, "Saya, Pak?" tanyanya sembari menunjuk diri sendiri. Axel berdecak kecil, "Iya, kamu! Saya tidak bisa mengantar Ale, karena banyak sekali berkas yang harus saya tandatangani." Axel menunjuk berkas-berkas yang ada di mejanya. Bibir Debbina maju beberapa senti, "Baik, Pak, akan saya laksanakan." Axel beralih menatap Alenza yang sedang melihat mereka dengan tatapan polos. "Ale, pergi beli es krimnya sama Aunty Debbina saja ya?" Alenza menatap Debbina, sementara yang ditatap langsung tersenyum. Sekesal-kesalnya dia kepada Axel, Debbina menyukai Alenza. "Ok, Papi." Axel menghembuskan napas lega. Dia pikir Alenza tidak mau pergi dengan Debbina. Tapi syukurlah... Axel dan Alenza berdiri. Sambil bergandengan tangan mereka menghampiri Debbina. Axel merogoh dompet di saku belakang celana, kemudian mengeluarkan kartu debit berwarna hitam, lalu ditaruh di meja dan menyodorkannya pada Debbina. "Pakai itu buat jajan Alenza." Debbina diam saja. Hanya menatap kartu debit tanpa limit itu. "Ambil itu, Debbina!" Debbina tersentak, lalu dengan ragu-ragu mengambil kartu debit milik Axel. "Saya titip Alenza jangan sampai dia kenapa-napa." Dalam hati Debbina menggerutu. Kalau tidak percaya ngapain menyuruh Alenza pergi bersamanya. Dia juga tahu diri kali, kalau sampai membuat Alenza kenapa-napa, entah apa akibatnya. Ini saja karena dia tidak sengaja mengumpat waktu kemarin dipaksa kerja dengannya. Apalagi kalau Alenza kenapa-napa. Pasti tidak bisa tidur nyenyak lagi hidupnya. "Baik, Pak, saya mengerti. Kalau begitu kami pergi dulu. Ayo, Nona Alenza." Debbina mengulurkan tangannya ke arah Alenza. "Ale pergi sama Aunty Debbina sana. Kalau ada apa-apa segera hubungi Papi." Alenza mengangguk lalu berjalan mendekati Debbina. Dan menerima uluran tangan Debbina. "Hati-hati," ucap Axel setelah kedua wanita berbeda usia itu mulai keluar dari ruangannya. "Dasar menyebalkan," gumam Debbina. Alenza mendongak, "Kenapa, Aunty?" Debbina memaksakan tersenyum, "Ah, tidak apa-apa, Sayang." Alenza mengangguk. Lalu mereka kembali berjalan. Debbina sangat berhati-hati menyebrang jalan karena membawa seseorang yang sangat berharga bagi sang atasan. Setelah membeli es krim yang Alenza minta. Mereka kembali ke kantor Axel. Kening Debbina mengernyit setelah melihat seorang wanita berkerudung tersenyum lebar ke arah mereka. Mungkin ke Alenza. Sebab pandangan wanita itu tertuju ke gadis cantik yang sedang bersamanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN