Ini hanya soal waktu, menunggu masanya penderitaan itu berakhir.
Pagi ini, Ama melangkah ke dapur dengan ceria. Ia langsung membantu Bi Darti untuk masak.
"Aduh Non, gak usah biar Bibi aja," tolak Bi Darti tidak enak.
"Jangan gitulah Bi, masa Bibi tega bikin aku diem aja macem patung. Aku mau ikut masak yah, gak papa kok kalo cuma motong-motong bawang sama cabe. Ya, boleh ya ya ..." mohon Ama dengan memasang wajah imut.
Bi Darti terlihat pasrah dan menyetujui, "Ya udah deh boleh ..." ujarnya.
"Makasih Bibi, baik deh," puji Ama.
Bi Darti hanya terkekeh melihat tingkah Ama yang baru terlihat hari ini. Tidak seperti kemarin, wajah Ama terlihat murung dan mendung tanpa matahari.
"Bibi udah lama kerja sama keluarganya Xin?" tanya Ama sambil mengupas bawang merah.
"Udah Non, Bibi dulu tuh Baby Sitternya Aden," jawab Bi Darti ramah.
"Wah, dari bayi gitu, Bi?" tanya Ama lagi.
"Iya, dulu saya mulai kerja di keluarga Xin dari usia Aden itu delapan bulan. Bibi juga gak nyangka sekarang Bibi masih awet aja malah sampai kerja sama istrinya," ujarnya terkekeh.
Ama ikut tertawa kecil, "Kalo aku di posisinya Bi Darti pasti perasaanku bakal gitu juga," ujarnya.
"Bibi berharap Aden bisa cinta sama Non Amanda suatu hari," ujar Bi Darti membayangkan.
"Kenapa Bibi bilang begitu, padahal aku juga gak ngarep karena Xin udah sama Mba Fabi," ujar Ama tersenyum tabah.
"Karena Bibi gak liat kebahagiaan yang sebenernya dari Xin saat bersama Non Fabi, gak tau kenapa meski katanya Aden cinta mati sama Non Fabi, Bibi gak sreg aja. Mungkin cuma perasaan Bibi aja, tapi ada rasa takut kalau suatu hari Aden dikhianati."
Bi Darti agak sedih, Ama melihat sorot mata keibuan dari matanya. Bi Darti meski bukan ibu kandung Xin, ia adalah ibu kedua bagi Xin. Dia yang menemani Xin dari bayi, sampai sedewasa itu. Pantas bila dirinya khawatir atas kebahagiaan Xin, khawatir atas perasaan Xin.
"Bibi tuh gak punya anak Non, dulu Bibi nikah muda di usia tujuh belas tahun, tetapi Bibi gak punya anak. Di tahun ketiga pernikahan kami, suami Bibi meninggal. Sejak saat itu Bibi merantau dan dipekerjakan oleh keluarga Xin. Sebenernya beberapa ada yang ngelamar Bibi, orang tua Bibi juga jodohin Bibi sama beberapa pria baik. Tapi Bibi udah terlanjur nyaman dan bahagia dengan pekerjaan Bibi, ngurus Aden yang lucu dan baik. Sampai saat ini, Bibi gak nyesel dengan pilihan Bibi," kisah Bi Darti tersenyum lembut.
Ama juga tersenyum mendengar ceritanya, tetapi detik berikutnya wajahnya menjadi lesu.
"Ama juga ditinggal Ibu dua belas tahun yang lalu. Bapak menikah lagi dan aku jadi pembantu di rumah sendiri. Ibu sama saudara tiriku suka nyuruh-nyuruh, gak pernah mau ngurus rumah. Makanya aku langsung setuju untuk menikah dengan Xin, karena aku pingin cepet-cepet ninggalin rumah. Tapi Ama gak berfikir panjang, tempat ini gak lebih baik dari rumah Ama. Apa menurut Bibi, tindakan Ama salah?" tanya Ama.
Bini tersenyum tulus, "Alasan Non Ama gak salah, keputusan Non Ama juga baik untuk diri Non Ama. Menurut Bibi tempat ini gak seburuk yang Non Ama bayangin, memang berat ada di posisi Non Ama sebagai istri kontrak. Tapi, kalau Non Ama mau, Bibi bisa kok jadi Ibu sekaligus teman buat Non Ama cerita. Bibi juga seneng kalau Non Ama mau cerita sama Bibi," ujarnya memberi kekuatan.
"Beneran Bi?" tanya Ama semangat.
"Iya," jawab Bi Darti meyakinkan.
"Oke deh, sekarang aku panggil Bibi, Ibu aja yah ...jadi Ibu panggil Ama jangan pakai Non, Ama aja," ujar Ama tersenyum lebar.
"Iya, Ama aja ..." ledek Bi Darti.
"Ih, Ama ...jangan ada 'aja'nya," rengek Ama.
"Iya, iya Ama," ujar Bi Darti tersenyum tulus.
"Ehem!"
Ama dan Bi Darti langsung menoleh ke asal suara, itu Xin siapa lagi. Namun, tak lama seorang menyusul dari dalam. Itu Fabi, ia dengan manja langsung bergelayut dpada Xin yang menuju meja makan untuk meminum air.
"Sayang, nanti jadi kan nginep di apartemen aku?" tanya Fabi keras, sehingga Ama dan Bi Darti mendengarnya.
"Iya," jawab Xin cuek.
Bi Darti mengelus bahu Ama untuk tidak memperhatikan kedua sejoli itu bermesraan. Fabi terlihat mengenakan pakaian seksi, daster tipis tanpa lengan dengan belahan depan yang rendah. Di sekitar lehernya juga terdapat bercak merah.
Ama tersenyum setelah melirik itu. Ia tak tau yang sebenarnya, yang ia kira adalah itu bekas kerokan. Ia berfikir kalau skill kerokan Xin itu sangat buruk, harusnya kan berbentuk panjang-panjang. Eh itu malah lonjong atau bulat kecil-kecil. Tak tahan ia malah terkekeh pelan, ia paling tidak bisa menahan tawa.
Bi Darti, Xin dan Fabi yang awalnya sibuk dengan kegiatan masing-masing terheran melihat Fabi yang seperti itu.
"Kenapa, Non?" tanya Bi Darti heran.
"Hehe, enggak papa, Bu. Tadi saya chattingan sama temen saya yang lucu banget," ujar Ama tidak ingin bicara jujur di depan Xin dan Fabi.
Tak lama telpon Ama berdering dan itu Mus, ia segera pamit pada Bi Darti sampai menyalaminya dan pergi tanpa salim pada Xin seperti biasa.
"Aku berangkat dulu yah Bu, assalamu'allaikum."
"Wa'allaikumsalam," jawab Bi Darti tersenyum.
Xin melihat kepergian Ama dengan tatapan curiga. Sementara Fabi juga melihatnya heran, ia agak kesal karena Ama tidak terpengaruh dengan provokasinya. Ia sengaja keluar denga pakaian seperti itu agar Ama melihat bekas percintaannya dengan Xin tadi malam. Tetapi Ama malah terkekeh seolah tidak ada yang terjadi.
Bahkan dengan beraninya, dia tak mengnggap keduanya ada. 'Sialan!' umpatnya dalam hati.
"Sayang, tuh cewek kampungan, waras gak sih?" tanyanya pada Xin.
Xin hanya mengedeikkan bahu, kemudian menerima uluran nasi goreng dari tangan Bi Darti.
Fabi agak kesal dengan sikap Xin, tetapi Xin buru-buru menyuapinya agar Fabi tidak berfikir macam-macam.
Di luar, Mus tengah mengagumi rumah yang ditempati Ama ketika Ama datang.
"Wuih, tajir juga sodara elu ..." ujar Mus.
Ama tertawa kecil, "Haha iya sih gue juga mikir gitu, udah yok berangkat sekarang!" ajaknya kemudian.
"Yoklah, nih helmnya."
Ama menerima helm itu dan segera memasangnya.
•••
Mata kuliah kedua adalah kalkulus yang diampu oleh Xin. Namun, hal yang buruk dari Ama adalah, ketika ia melihat orang yang melakukan hal lucu membuatnya tak bisa menahan tawa. Ia terus tersenyum melihat Xin yang sedang mengajar, sampai ia harus menutupi mulutnya menggunakan buku.
Mus sebenarnya penasaran dan ingin bertanya, tetapi ia tak berani mengingat betapa killernya Xin.
Sementara Xin sendiri, tau kalau dari tadi Ama menahan tawa, tapi ia tak mood untuk bertanya. Rasanya kesal dan ingin lekas menyelesaikan jam mengajarnya.
Setelah kuliah usai, seperti biasa Mus minta ditemani makan siang karena Mus juga tak memiliki teman lain seperti Ama. Saat Mus sedang memesan makanan, Xin mengirimnya pesan WA.
Xin || Tadi berangkat bareng siapa?
Xin || Kenapa senyum-senyum terus dari pagi?
Xin || Kamu menertawakan saya?
Ama mengeryit heran, tumben Xin tidak marah. Biasanya kan dia langsung berapi ketika sudah tau diejek.
Ama segera membalas pesan itu sambil senyum-senyum sendiri.
Aku berangkat sama Mus. Aku gak ngetawain kamu, cuma inget hal yang lucu. Maaf... || Ama
Xin || Oh
Ama terkekeh lagi, ia bingung dengan sifat Xin. Sebenarnya dia itu dingin atau bagaimana, sikapnya berubah-ubah. Kadang dingin, perduli, pengatur, egois, kadang juga baik.
Tiba-tiba, Mus datang membawa senampan makanan dan dua gelas es jeruk.
"Ngapain lo senyum-senyum? Cie chattingan sama pacar yah ..." goda Mus setelah meletakkan makanannya.
Ama menggeleng sambil tertawa kecil, "Bukan, gue gak pacaran. Gue tuh lagi inget terus hal lucu tau, sampe dari tadi di kelas gue gak bisa nahan," ujarnya.
"Oh pantesan dari tadi lo senyum-senyum gak jelas, gue mau tanya takut kena marah Dosen Killer," ujar Mus.
"Hehe ..." Ama hanya bisa nyengir kuda.
"Apa sih yang buat lo gak bisa nahan senyum sampe segitunya?" tanya Mus.
"Haha, itu ...tadi pagi gue liat ..." Ama berfikir sejenak untuk menyamarkan Xin dan Fabi. "Em, Paman sama Bibi gue keluar dari kamar, terus yah Bibi gue pakai baju seksi, tapi leher dan bagian atas dadanya itu ada merah-merah kayak bekas kerokan."
Mus masih mencerna cerita Ama, ia seperti menemukan kejanggalan.
"Tapi bentuknya bukan kayak kerokan, tapi bulet-bulet dan lonjong-lonjong, kecil pokoknya. Ih lucu banget aku liatnya," jelas Ama sambil tertawa.
"Tapi, Ma ..." Mus ingin megonfirmasi dengan benar.
Ia kemudian mencari di internet contoh bekas kerokan yang dimaksud oleh Ama. Kemudian ia menunjukkannya pada Ama setelah menemukannya.
"Maksud lo bekas kerokan kayak gini?" tanya Mus.
Ama mengangguk masih dengan sisa-sisa senyumnya.
"Lo bener-bener ngira kalau ini bekas, kerokan?" tanya Mus shock sendiri.
"Iya," jawab Ama polos.
"Hahahaha!" tawa Mus meledek, membuat Ama dan seisi kantin terkejut.
"Heh, lu ngapain ketawa sih?" tanya Ama bingung.
"Ini bukan kerokan, Ma. Ini cupang," ujar Mus di tengah tawanya.
"Cupang, ikan cupang maksud lo?" tanya Ama bingung.
"Astaghfirulloh gue gak bisa berhenti ketawa, bukan ikan, ini cupang kalo abis melakukan hubungan suami istri," ujar Mus membuat Ama semakin bingung.
"Oh, kirain kerokan. Gue kan gak tau, lagian kenapa juga hubungan suami istri ada merah-merahnya gitu," ujar Ama polos.
"Ya ampun, lo bener-bener polos kebangetan. Ya karena digigit-gigit gitu," ujar Mus sambil tertawa.
Ama hanya meringis, "Kasian banget Bibi gue digigit-gigit, ih. Jahat banget Paman gue," ujarnya prihatin.
Sementara itu di ruangannya, telinga Xin tiba-tiba berdengung.
"Wah siapa nih yang gibahin gue?" gumamnya menggosok telinganya.
•••
Malam ini Xin baru pulang, setelah kemarin malam menginap di apartemen Fabi. Pulang-pulang ia langsung masuk ke kamar dan membersihkan diri.
Entah kenapa hatinya merasa ada yang salah dan membuatnya gelisah. Tak lama, Ama mengetuk pintunya dengan tergesa-gesa, terdengar juga suara panggilan telpon yang belum diangkat.
"Xin, Xin cepet buka!" panggil Ama kencang.
"Apaan sih?" tanya Xin sambil membuka pintu.
Ternyata Ama membawa hal yang sangat urgen.