Bab 8 Menemukan Maria

1516 Kata
Di depan klub, aku menghentikan sebuah taksi kemudian memberikan alamat yang diberikan Indra kepada si sopir. Sepanjang perjalanan, aku terus menerus bertanya kepadanya untuk memastikan dia mengantarkanku ke alamat yang benar. Setelah tiba di lokasi yang tertulis di alamat tadi, aku melihat sekeliling. Rupanya, tempat itu adalah kawasan perumahan biasa dengan bangunan rumah susun yang penampilannya seperti gedung asrama bobrok. Di setiap balkonnya tergantung pakaian atau sprei yang sedang dijemur. Dengan cepat aku berhasil menemukan rumahnya dan aku pun bergegas menaiki tangga ke lantai lima. Sesampainya di depan pintu rumahnya, aku mengetuk pintu dan menunggu dengan cemas. Tidak lama kemudian, terdengar suara yang sangat kukenal. “Siapa?” Mendengar itu, jantungku langsung berdegup dengan kencang. Aku pun menjawab, “Ini aku, Ray.” Tidak terdengar suara apa pun dari dalam. Beberapa menit kemudian, pintu berderit terbuka. Mataku langsung melihat sosok Maria yang begitu kukenal dan juga asing di saat yang sama. Dia menatapku dengan tatapan menyelidik, tampaknya dia berusaha menebak maksud kedatanganku. “Ada masalah apa, ya?” Dia sama sekali tidak terlihat terkejut dan bertanya kepadaku dengan nada datar. Harapanku yang tadinya sempat melambung tinggi segera kandas ketika melihat ekspresi Maria yang acuh tak acuh. Dengan suara serak aku berkata, “Ini aku, Ray. Aku benar-benar yakin kalau kamu adalah Maria. Ayo, ikutlah denganku! Ceritakan apa yang terjadi padamu selama ini.” Sambil berkata demikian, aku meraih tangan Maria. Maria menepis tanganku dan berkata dengan ekspresi judes, “Tuan, jika Anda mau melakukan itu, Anda harus membayar 1 juta rupiah untuk sekali main dan 1,5 juta rupiah untuk dua kali main. Saya ini jualan, jadi saya tidak berminat untuk bicara panjang lebar dengan Anda.” Kata-kata Maria yang pedas langsung menghujam hatiku. Perasaan takut kehilangan yang kuat membuat mataku memerah. Kemudian, aku yang telah dikuasai emosi mencengkeram kedua bahunya. “Maria! Kamu pasti adalah Maria! Ceritakanlah padaku, apa yang terjadi padamu? Mengapa kamu berubah menjadi seperti ini!” Mungkin karena aku terlalu emosional, cengkeramanku tanpa sengaja telah menyakitinya. Aku melihatnya mengernyitkan wajah karena merasa tidak nyaman dan berusaha mendorongku untuk melepaskannya. Ekspresi wajahnya terlihat sangat kesal. Aku malah semakin mempererat cengkeramanku dan berseru padanya dengan lebih keras, “Katakan! Apa yang sebenarnya telah terjadi padamu!” “Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!” teriaknya sambil terus berusaha mendorongku. Aku masih bersikeras. Kali ini, aku menekan tubuhnya ke dinding. Aku ingin dia memberitahuku alasan kenapa dia memperlakukanku seperti ini. Namun, saat aku melakukannya, seorang pria tiba-tiba berlari keluar dari dalam rumahnya dengan membawa tongkat baseball dan menatapku dengan galak. Sambil mengacungkan tongkat baseball-nya tinggi-tinggi, pria itu berteriak, “Heh, berengsek! Lepaskan dia!” Aku tercengang. Saat itu, tanganku yang masih mencengkeram Maria. Sambil memaki dengan kata-kata kasar, dia langsung mengayunkan tongkat baseball-nya ke kakiku. Aku pun terpaksa melepaskan Maria. Di saat yang sama, pria itu sekali lagi memukul kakiku. “Apa yang kau lakukan?” tanyaku sambil meringis kesakitan. Namun, dia malah memukulku dengan agresif. Menghadapi pukulannya yang membabi-buta, aku hanya bisa mundur. Meski demikian, dia tidak bersedia melepaskanku. Dia terus mengejarku dan berhasil memukulku lagi beberapa kali. “Kau siapa? Mengapa kau memukulku?” tanyaku sambil berusaha menghindari pukulannya. Sambil memukulku beberapa kali lagi, dia berkata dengan nada yang kasar, “Aku adalah pacarnya. Kalau kau tidak berniat untuk bertransaksi dengannya, cepatlah pergi! Di sini bukan taman bermain, dasar bodoh!” Dia menatapku seolah aku adalah orang yang i***t. Aku tidak percaya ketika mendengar fakta ini dan membatin, ‘Pria ini adalah pacarnya Maria!’ Ketika aku melirik Maria, wanita itu malah memalingkan mukanya. Tampak jelas kalau dia sama sekali tidak berniat untuk memberikan penjelasan apa pun kepadaku. Rasa sakit yang kurasakan di hatiku rasanya jauh lebih sakit daripada pukulan di kakiku. Melihat sikap Maria, aku pun tahu kalau apa yang dikatakan oleh pria ini adalah benar. Rasa kecewa dan sakit memenuhi hatiku. Aku benar-benar berada dalam posisi yang sulit. Aku berdiri sambil tertegun karena tidak tahu harus berbuat apa. “Masih belum pergi juga, rupanya! Apakah kau masih mau kupukul? Dasar i***t!” Pria itu masih memelototiku dengan galak. Saat itu, sekali lagi aku melihat ke arah Maria. Dalam hatiku aku masih berharap kalau wanita itu masih peduli terhadapku. Bahkan, asalkan dia menatapku sekilas saja, itu sudah cukup bagiku. Namun, wanita itu tetap bergeming dengan wajah tanpa ekspresi. Seolah ini semua tidak ada hubungan dengannya. Pria itu sekali lagi mengacungkan tongkat di tangannya untuk mengusirku. Aku pun terpaksa meninggalkan rumah Maria. Dengan langkah terpincang-pincang, aku menuruni tangga. Selama di perjalanan pulang, benakku dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Tadi, ketika aku tiba di tempat ini, hatiku sangat optimis dan penuh dengan harapan karena akan bertemu kembali dengan Maria. Belum lagi, aku juga merasa yakin kalau dia akan bersedia mengobrol denganku. Namun, kenyataan telah menghempaskan semua asaku. Wanita itu sekali lagi mengatakan kalau dia tidak mengenaliku dan malah menyuruh pacarnya untuk memukul dan mengusirku. Aku masuk ke dalam klub dengan perasaan putus asa. Kondisi kakiku yang cedera menyebabkan aku harus berjalan masuk dengan langkah pincang. Dikarenakan harga diriku yang tinggi dan ketakutan akan dilihat Indra dalam kondisi yang memalukan seperti ini, aku cepat-cepat menaiki tangga. Aku tidak menghiraukan tatapan heran resepsionis dan terus melangkah sambil berpegangan pada pegangan tangga. Sesampainya di lantai dua, aku kembali mendengar suara teriakan Lasmi dari dalam kamarnya yang diiringi dengan suara erangan rendah seorang pria yang tengah melampiaskan nafsunya. Sambil tetap berpegangan pada pegangan tangga, aku terus melangkah hingga ke lantai tiga dan segera masuk ke dalam kamarku karena tidak ingin dilihat oleh siapa pun. Pukulan yang kuterima dari Maria membuatku merasa sangat malu. Aku yang tidak tahu harus berbuat apa hanya bisa mengurung diri di dalam kamarku dan menyalakan rokok. Benakku terus memikirkan alasan mengapa sikapnya berubah menjadi begitu dingin terhadapku. Tampaknya apa yang dikatakan Indra benar. Jangan sekali-sekali bermain perasaan dengan p*****r! Namun, tidak lama kemudian, aku mendengar suara gedoran keras di pintu kamarku. “Ray, keluarlah! Apa yang terjadi?” Terdengar suara Indra memanggilku. Dari nada bicaranya, jelas sekali kalau dia sedang panik dan cemas. Sebelum aku sempat menjawabnya, pintu kamarku sudah terbuka. Indra menatapku dengan cemas. Aku merasakan sorot matanya tengah memindaiku dari ujung kepala hingga kaki. Pada akhirnya, tatapan matanya tertumbuk pada kakiku. Aku hendak menyembunyikan kakiku karena tidak ingin dia melihatnya. Namun, ekspresi Indra langsung berubah ketika melihat tindakanku. “Jika resepsionis tidak memperhatikan gaya jalanmu yang aneh dan tidak menelepon untuk memberitahuku, apakah kamu benar-benar akan menyembunyikan semua ini dariku?” tanyanya sebelum melanjutkan, “Katakan, mengapa kamu bisa sampai seperti ini?” Indra menutup pintu kamarku. Tanpa menyalakan rokoknya, dia langsung menginterogasiku. Akhirnya, aku tidak punya pilihan lain selain menceritakan semua yang terjadi padaku hari ini. Ketika mendengar ceritaku, urat-urat di wajahnya bermunculan dan tangannya terkepal. Ekspresinya geram. “Berengsek! Memangnya siapa yang main-main dengan mereka? Dia telah merundung sahabatku dan hari ini aku akan menghukum pasangan laknat itu!” Setelah berkata demikian, Indra mengeluarkan ponselnya dan menelepon beberapa orang. Hanya saja, karena aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Maria, aku langsung mengingatkan sahabatku itu untuk tidak bertindak impulsif. Aku hanya ingin membereskan masalah antara aku dan Maria. Awalnya kupikir Indra akan memarahiku karena meskipun telah dirundung, aku tetap menunjukkan belas kasihan. Namun ternyata Indra sama sekali tidak memarahiku. Dia hanya terdiam sejenak sebelum berkata, “Tampaknya, masalah ini tidak sesederhana itu.” “Memangnya ada apa?” tanyaku. Dia menyalakan rokoknya dan menjawabku sambil mengerutkan keningnya, “Sudah kukatakan padamu untuk tidak bertindak gegabah. Tampaknya, wanita bernama Maria ini memang dipaksa untuk menjual dirinya.” Aku yang sedang emosional langsung mencengkeram kerah Indra. Hatiku merasa kecewa sekaligus berharap. “Katakan, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang memaksanya?” Indra mengibaskan tanganku untuk melepaskannya. Dia sudah sering melihat hal-hal seperti ini. Seorang b******n yang membutuhkan uang memang bisa menjual pacarnya. Mungkin, dulu Maria mengira kalau dia bertemu dengan seorang pria yang baik, sayangnya pria itu malah menjerumuskannya. Setelah mendengar perkataan Indra, sekujur tubuhku gemetar karena marah. Aku berkata sambil menggertakkan gigi, “Akan kubunuh b******n itu! Berani-beraninya dia mencelakakan Maria! Aku akan membunuhnya! Paling-paling aku hanya perlu dipenjara lagi beberapa tahun.” Indra buru-buru menarikku dan mengatakan bahwa dia telah mengatur semuanya. Pria itu pasti akan mendapatkan ganjarannya. Aku pun mengikuti Indra ke lantai bawah. Semua orang yang dipanggilnya telah datang. Tidak lama kemudian, klub tersebut dipenuhi oleh belasan orang yang berwajah bengis. Tampaknya mereka semua adalah preman. Indra juga memanggil dua buah mobil van untuk kami naiki. Di perjalanan ke tempat itu, dia memberitahuku untuk tidak bertindak gegabah. Semuanya bisa diatur olehnya selama mereka tidak membunuh orang. Kami dan sekelompok orang itu segera turun begitu sampai di lokasi. Para pejalan kaki di jalan tampak panik saat melihat kami berjalan menuju gedung tempat tinggal Maria dan buru-buru menghindar. Hanya saja, aku sama sekali tidak menghiraukan mereka dan mengikuti Indra menaiki tangga. Ketika sampai di depan pintu rumahnya, samar-samar aku bisa mendengar suara seorang wanita sedang menangis dan seorang pria yang tengah memaki-makinya. Wanita yang sedang menangis itu jelas-jelas adalah Maria. Aku melirik pintu kayu tersebut. Ketika aku hendak mendobraknya, Indra malah mencegahku. Dia menyerahkan tongkat yang ada di tangannya kepadaku, kemudian mundur beberapa langkah dan merangsek maju sambil menendang pintu tersebut dengan sekuat tenaga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN