“Tunggu bentar!” teriak Rose panic. Namun pria itu malah mendorong bahunya hingga Rose terjatuh ke atas ranjang dengan terlentang. “Aaaaa!” perempuan itu menjerit dan hendak kabur. Namun kakinya ditahan oleh Arsen hingga membuat Rose semakin berteriak. “Aaaaa! Jangannn, Om!”
“Om, Om, saya suami kamu ya,” ucap Arsen hendak menindih tubuh Rose.
Perempuan itu tetap panic, dia mencoba untuk berontak dan saat mendapatkan kesempatan, Rose menendang milik Arsen hingga pria itu terdiam sejenak. “Ughhh….”
Kemudian Rose bangkit dari tempat tidur dan menatap Arsen yang kesakitan sambil memegangi kejantanannya.
“Eh, Arsen? Aku gak sengaja,” ucapnya panic. Dia mendekati Arsen yang semakin merasa kesakitan. “Arsen?”
“Saya Cuma bercandain kamu,” ucapnya dengan suara yang tercekat. “Bantu saya ke kamar mandi,” ucap Arsen yang membuat Rose segera melakukannya. Dia mengantarkan Arsen ke kamar mandi di dalam kamar.
Kemudian Rose menunggu dengan wajah yang panic, khawatir kalau Arsen kenapa napa. Apalagi Rose merasa kalau tendangan lututnya pada kejantanan Arsen cukup keras.
Dia menunggu sambil duduk di sofa dengan semua keresahan di hatinya. Sampai akhirnya Arsen keluar dengan tubuh yang sudah tegak, dia berdehem dan menatap Rose tidak percaya. Sepertinya Arsen mandi, dia terlihat lebih segar dan sudah berganti pakaian di sana.
“Maaf, udah mendingan?” Tanya Rose.
“Masih sakit, mau kamu elus?”
“Heh!” rose menatap tidak percaya. “Gak nyangka ya kamu m***m gini, kirain pendiem gitu.”
“m***m sama istri sendiri emang kenapa?” Tanya Arsen sambil terkekeh, dia duduk di samping Rose kemudian tiba tiba mengecup pipi perempuan itu. “Kenapa? Salah saya lakuin itu? iya? Kenapa? Mau nuntut padahal itu hak saya?”
Rose terdiam, dia tau kalau dirinya tidak akan pernah bisa berdebat dengan seorang Presiden Mahasiswa.
“Ya gak salah sama sekali.”
“Terus? Kalau saya minta jatah buat tidur bareng?”
Rose kembali menggeleng. “Tapi aku masih belum siap buat itu.”
“Tujuan kita nikah apa?” Tanya Arsen. Kemudian dia jawab sendiri dengan kalimat, “Bunda mau punya cucu, dan kamu pasti nyanggupin itu kan? Lalu tunggu apa lagi?”
“Tungu dulu, aku belum siap buat itu. aku emang nyanggupin, tapi aku berharap kamu mau memaklumi. Aku emang suka, kagum sama kamu. Tapi aku belum bener bener cinta sama kamu. Seenggaknya kasih aku waktu.”
“Dua bulan.”
“Hah?”
“Dua bulan saya kasih kamu waktu buat menyesuaikan diri, buat jatuh cinta sama saya,” ucap pria yang kini sedang memainkan jemari tangan Rose. “Gimana?”
“Oke.” Rose mengangguk.
“Dan dalam dua bulan itu, jangan larang saya lakuin hal hal kayak gini,” ucap Arsen kini mengecup tangan Rose dan membuat perempuan itu kaget lagi.
“Kenapa?” Tanya Rose penasaran. “Maksudnya… sebelumnya kamu dingin, gak mau disentuh karena alergi.”
“Karena dulu kamu bukan siapa siapa saya, pacar juga bukan kenapa harus bersikap manis? Kalau sekarang statusnya udah jelas, kamu istri saya dan saya berhak melakukan ini, membahagiakan kamu seperti janji saya pada orangtua kamu.”
Rose menelan salivanya kasar. “Emang kamu suka sama aku?”
“Suka atau enggak kamu istri saya, dan ini yang akan selalu saya lakukan pada istri saya,” ucapnya menatap manik Rose dengan dalam.
“Oke, aku gak akan larang kamu lakukan hal hal kayak tadi, kecuali tidur bareng. Tapi ada satu lagi yang aku minta sama kamu.”
“Apa?”
“Jangan pake kata saya, coba aku kamu biar kita lebih deket.”
“Oke, ada lagi?”
Rose mengangguk. “Ya, aku gak mau pernikahan ini dianggap perjodohan, meski kenyataannya emang gitu. Jadi jangan cuekin aku, jangan bersikap dingin sama aku di kampus.”
Arsen kembali terkekeh. “Oke, kenapa harus cuek sama dingin sedangkan sekarang kamu itu istri aku?”
Baru juga menikah, baru juga membuat kesepakatan, Rose sudah dibuat berdebar saja. wajah tampan Arsen memang membuatnya begitu pusing.
“Dan aku gak mau ada rahasia diantara kita,” ucap Rose.
“Oke, deal.”
“Deal.” Rose membalas genggaman tangan Arsen. Mereka membuat kesepakatan malam itu dan diakhiri oleh Arsen yang menarik Rose ke dalam pelukannya dan membawanya ke kamar mandi. “Tunggu… bentar… ini gak tidur bareng kan? Maksudnya malam pertama? Kita baru aja bikin kesepakatan.”
“Enggak,” ucapnya menurunkan di depan pintu kamar mandi. “Kamu belum mandi, sana mandi dulu sebelum tidur.”
Rose mengerucutkan bibirnya, dia masuk ke kamar mandi dan membasuh tubuhnya. Untungnya walk in closet berada di kamar mandi sehingga bisa berpakaian di sana.
Saat keluar, dia mendapati Arsen yang masih terjaga. Pria itu sedang membaca.
“Kita tidur bareng?” Tanya Rose.
“Ya iya, jangan minta pisah kamar atau hal hal aneh lainnya. Satu kamar ini adalah salah satu cara buat kita lebih deket. Sini.” Arsen menarik Rose ke dalam pelukannya dan menyelimuti mereka. “Biar kamu cepet jatuh cinta.”
Rose terkekeh, dia sudah sangat mengantuk. Mendapat pelukan dari pria tampan membuatnya senang. Tapi ada lagi yang membuatnya lebih senang, yaitu Arsen yang memperlakukannya dengan baik, membuatnya lebih semangat untuk membuat Derry menyesal karena telah meninggalkannya.
***
Rose terbangun dari tidurnya dan mendapati kalau dirinya ada di dalam pelukan sang suami. Terdiam, Arsen sangatlah tampan, jujur saja Rose tertarik dengannya. Tapi untuk cinta, dia belum bisa memikirkannya. Karena yang dia inginkan saat ini adalah memanfaatkan pamor Ares sebagai seorang Presiden mahasiswa. Rose secara tidak langsung menjadi Ratu di Universitas Kalingga.
“Hmmphhh…” Duutt….
Rose langsung membulatkan matanya. Karismanya langsung hilang seketika. Pria itu baru saja kentut kemudian membalikan tubuhnya dan kembali terlelap dengan nyamannya. Rose menatap jam di nakas, ternyata ini masih pukul empat. Kenapa dia bangun di jam segini? Oh iya, dia baru ingat ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil.
Dinginnya udara membuat Rose kembali masuk ke dalam selimut, tapi dia tidak kunjung terlelap walaupun mengantuk. Dingin sekali, matanya menatap Arsen. Tubuhnya tidak main main guys, seksi dan manly sekali. Mana Arsen hanya memakai kaos hitam pendek saja hingga ototnya tercetak jelas.
“Laki gue, punya gue,” ucapnya mendekat kemudian memeluk Arsen dari belakang. Bodo amat, yang penting Rose merasa hangat dan nyaman.
Sampai akhirnya matahari terbit dengan sinar yang masuk melalui celah gorden. Rose terbangun dan sudah tidak mendapati sang suami yang ada di sekitarnya. Namun Rose mencium aroma masakan yang enak. “Eumm, suami idaman banget,” ucapnya langsung melompat ke dapur dan benar saja mendapati Arsen yang sedang memasak. “Wah, kamu bisa masak ya?”
Arsen menoleh, kemudian menggeleng. “Lagi angetin makanan yang dari Bunda.”
Senyuman Rose langsung luntur seketika. “Gak bisa masak sama sekali?”
“Punya uang buat apa? Bisa beli kan.”
Rose mengerucutkan bibirnya, dia duduk menghadap meja peninsula sambil menatap Arsen yang menghangatkan makanan tersebut. “Tapikan lebih sehat bikin makanan sendiri.”
“Iya nanti belajar,” ucapnya memindahkan makanan dalam Teflon ke dalam piring, kemudian menatanya di meja.
Rose yang sudah lapar itu langsung duduk dan menusuk salah satu sosis. Hingga tangannya terhentikan oleh Arsen. “Kenapa? Ini buat dimakan kan?”
“Gak mau sikat gigi dulu?”
Rose terdiam. “Emang kamu tau aku belum gosok gigi?”
Arsen langsung menunjuk pipinya sendiri. Membuat Rose melangkah masuk ke kamar dan bercermin. “Anjir,” ucapnya saat melihat ada bekas saluran air liyr di pipinya. “Kok gue ileran sih? Huhuhu, malu banget!”
Langsung berlari ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Ingin menangis rasanya, image nya jadi hancur gara gara air liur ini. Dua hal yang membuat Rose mengeluarkan air liur saat sedang tidur, yaitu saat sariawan, dan saat tidurnya nyenyak.
“Semalem tidur nyenyak?” Tanya Arsen begitu Rose keluar dari kamar.
Mendekat dan kembali duduk di tempat sebelumnya untuk sarapan. “Iya, nyenyak kok.”
“Nanti siang orangtua kita mau ke sini, mereka mau negosiasi sama kita,” ucap Arsen. Untung sosok itu mengalihkan pembicaraan, jadi Rose tidak terlalu malu karenanya.
“Negoisasi apaan?”
“Mereka minta kita buat bulan madu, tapi kalau kita bulan madu sekarang, waktunya bakalan terbuang sia sia. Pertama, karena kamu gak mau aku sentuh, jadi kita tujuan kita gak akan tercapai. Yang kedua, aku punya beberapa urusan di kampus yang belum di selesaikan.”
“Jadi?”
“Minta sama orangtua kita buat menunda bulan madu. Dua bulan lagi, baru kita berangkat. Itu kesepakatan kita bukan? Dalam dua bulan lagi, kamu harus siap menjadi istri yang sesungguhnya, jadi bulan madu kita gak sia sia.”
Rose menelan salivanya kasar. “Aku gak tau kamu cerewed kayak gini, biasaya ngomong seperlunya.”
“Ya kan ini emang perlu. Gimana? Paham kan?”
Rose menganggukan kepalanya. “Iya nanti bilang ke mereka. tapi masalah kesepakatan kita? Mereka gak perlu tau kan?”
“Gak perlu, itu masalah internal yang Cuma kita berdua aja yang tau. Eksistensi mereka di sini hanya sebagai support system untuk kita.”
Bicara dengan seorang presiden mahasiswa memang kadang tidak dimengerti oleh Rose, jadi dia mengangguk saja dan menghabiskan makanannya. Sampai selesai dengan sarapan, Rose mengambil alih untuk mencuci piring. “Jadi hari ini kita gak ke kampus kan?”
“Enggak, kita mulai ngampus lusa. Di apartemen dulu istirahat.”
Kemudian Rose dikagetkan dengan Arsen yang ikut mencuci tangannya. Dan posisi pria itu seperti sedang memeluknya dari belakang. “Kan bisa nunggu aku beres cuci tangan.”
“Gini aja, sekalian modus meluk istri,” ucap Arsen dengan datarnya. Dia bahkan tiba tiba mengecup puncak kepala Rose dan berkata. “Thanks.”
“Buat apa?” rose mengadah, dia bahkan menghentikan sejenak pekerjaannya.
“Buat semuanya.” Kembali membubuhkan kecupan.
“Kamu m***m apa gimana sih? Kayaknya mau nempel terus.”
“You already know. Karena kamu istri aku, dan layak mendapatkan perlakuan special.”
“Nanti kayaknya kamu bakalan tiba tiba tidurin aku deh.”
Arsen tertawa dan mengusak rambut Rose. Sambil berlalu, dia berkata, “Kesepakatan tetap kesepakatan. Kalau udah lewat dua bulan, kayaknya emang gak bakalan tau tempat.”
Rose menatap tidak percaya. Itukan presiden mahasiswa yang dikagumi semua orang? Dia jauh berbeda dari ekspektasi semuanya, yang dingin dan juga tidak banyak bicara, calm and cool. Nyatanya Rose melihat sisi Arsen yang baru di sini. Dia tidak sekeren itu, tapi mampu membuat hatinya berdebar.
“Ck, siapa juga yang gak jantungan dikecup sama cowok ganteng macam dia,” ucapnya sambil tersenyum sendirian. “Bikin Arsen bucin ah.” Rencana licik dalam otaknya mulai berkembang biak.
***
Siang harinya, mereka benar benar datang, kedua orangtuaa Arsen dan juga Rose. Dengan semua keributan dan juga sikap antusis keduanya yang terus menawari bulan madu, pindah rumah dan juga bertanya tentang malam pertama.
Kini mengharuskan Rose dikepung oleh Mama dan Bundanya di kamar.
“Jadi gimana semalam? Udah belum?”
“Iya nih, Bunda juga penasaran? Gimana?”
Rose panic ditanya seperti itu. kenyataannya kan belum, tapi dia harus menjawab apa ya, takut membuat keduanya kecewa..
“Belum ya?” Tanya Bunda Farah dengan raut wajah yang berubah menjadi sedih.
“Belum, Bun, soalnya semalem langsung bobo karena capek. Tadi pagi itu udah cudle, tapi inget mau ada Mama sama Bunda, jadinya kita beres beres dan gak jadi lakuin itu. takutnya nanti Rose malah tidur mulu, terus Arsen juga gak mau nerima tamu.”
“Tuh kan, Mbak, udah aku bilang harusnya gak ke sini,” ucap Esme pada Bunda Farah.
“Iya sih, emang salah. Tapikan kita perlu kepastian, kapan kalian mau bulan madu? Maunya kemana? Ini duit Bunda banyak banget loh, gak mau diabisin?”
Memang keluarga Arsen itu kaya turunan, ditambah lagi Arsen anak satu satunya jadi semua hasil kerja orangtuanya pasti untuk Arsen. “Nanti, Bun. Pas beres ujian smester biar ada liburnya. Rose kan baru masuk kuliah, mau focus dulu, Arsen juga lagi banyak proker.”
“Atuh masih lama.”
“Gak lama, dua bulan lagi loh aku ujian.”
“Tapi Bunda mau cucu.”
Esme menepuk paha besannya. “Kan bikin cucu gak harus di tempat bulan madu, di sini juga bisa kan?”
“Ya emang, Cuma biar banyak hormone bahagianya gitu kalau di tempat yang bagus.”
Rose hanya bisa tersenyum melihat keduanya berdebat. Namun akhir dari kesepakatan, tidak akan ada bulan madu dalam waktu dekat ini. Jadinya, mereka makan siang bersama dengan Bunda Farah dan juga Esme yang memasak.
Ada perdebatan kecil juga di sana, dimana Esme meminta Rose belajar memasak, sementara Bunda Farah melarangnya. “Gak usah belajar masak, nanti sama Bunda dianterin makan tiap minggu atau dikasih uang. Nanti tangan kamu lecet. Atau kamu mau sewain pembantu aja sama Bunda?”
“Jangan manjain dia, Mbak. Dia udah jadi istri dan harus belajar layanin suaminya.”
Perdebatan seperti itu yang terhentikan oleh Arsen yang berkata, “Buat saat biarkan kami belajar dulu saling bahu membahu, kami bisa kok.”
Sehingga tidak ada lagi adu mulut antara dua orang tersebut. kedua orangtua Arsen dan Rose pulang setelah makan siang. Meninggalkan kedua orang itu. “Sekarang… kita ngapain?” Tanya Rose dengan mata yang berbinar. Berharap Arsen mengajaknya untuk tidur siang atau membuka setumpuk kado yang dibawa oleh orangtuanya.
Namun nyatanya, pria itu malah membawanya ke perpustakaan seukuran kamar. “Belajar.”
“Huh?”
Rose disuruh duduk di atas karpet.
“Nilai mata kuliah Sosiologi hukum kamu jelek,” ucap Arsen membawa beberapa tumpuk buku dan duduk di depan Rose. “Kemarin aku liat nilai kelas kita, dan kamu banyak ditandai dosen dengan tugas yang telat, tidak ada inteaksi di kelas, juga keaktifan dalam absen alias kamu banyak bolosnya padahal baru masuk.”
Rose terdiam mengakuinya. “Ta.. tapikan itu nanti bisa ikut smester pendek, atau remidi buat perbaikan nilai.”
“Lembaga bakalan hapus remidi, jadi kamu harus ikut semester pendek. Dan bukan Cuma formalitas doang, kamu bakalan ngulang kelas selama satu semester.”
“Aaaaa gak mau!” teriak Rose panic. “Gak mau ngulang kelas sama adik tingkat ih.”
“Makanya kamu belajar.” Arsen menjelaskan beberapa buku yang dia rekomendasikan. Dia meminta Rose untuk membaca beberapa halama yang dia tandai.
“Sebanyak ini?”
“Ini udah aku tandai, tinggal kamu baca, nanti kita latihan soal.”
Rose mengerucutkan bibirnya tidak suka. “Aku lagi gak mood belajar,” ucapnya menatap Arsen dengan tatapan yang memelas, meskipun ada ancaman, tapi Rose benar benar tidak mood untuk hal ini. “Kita focus aja sama pernikahan kita yuk, saling kenal berbagi cerita atau apa gitu sambil tiduran. Gak usah belajar kayak gini,” pintanya merajuk layaknya anak kecil.
Tangan Arsen terulur dan menyelipkan rambut Rose ke belakang telinganya. “Aku buatin cokelat sama marshmallow cookies ya?”
Rose mengangguk antusias. “Oke.”
“Ditambahin kacang parut?”
“Harus dong.”
Arsen terkekeh, dia keluar dari perpustakaan. Dan sedetik kemudian, Rose baru menyadari sesuatu. “Eh, dia kok tau mood boster gue itu cokelat sama marshmallow kacang?”