Semakin Asa coba menyingkirkan Ruma dari pikiran, justru ia semakin memikirkannya. Senyuman Ruma yang manis itu memenuhi bayang - bayangnya.
Asa masih berada dalam tahap denial. Ia belum menerima kenyataan bahwa ia memang jatuh cinta pada gadis itu.
Iya, Ruma mungkin tak secantik gadis - gadis lain yang mengejar cintanya. Tapi, Ruma memiliki kelebihan yang tak mereka punya ... kesederhanaan yang justru membuatnya terasa istimewa di hati Asa.
"Asa!" seru seseorang. Suara wanita. Suara yang tak asing lagi di telinga Asa.
Benar saja. Itu Sora. Mahasiswi Manajemen.
Aish ... lagi - lagi Sora datang saat Asa sibuk bekerja seperti ini.
Orang - orang di kampus mengenal Sora sebagai Asa versi wanita. Ia sama tersohornya dengan Asa. Ia memiliki banyak fans juga.
Satu fakta tentang Sora. Ia adalah salah satu dari gadis - gadis yang mengejar cinta Asa. Ia cinta setengah mati pada Asa. Sora tergila - gila pada Asa.
Satu fakta tentang Asa. Ia hanya menganggap Sora sebagai teman. Teman yang sedikit menyebalkan. Teman yang cukup sering ia hindari ketika datang.
Sora berlari dari area dekat eskalator menuju ke foodcourt, menghampiri Asa yang baru saja mengambil piring kotor di salah satu meja.
Sora tak sungkan memberi pelukan hangat pada Asa di depan umum. Asa ingin melepaskan pelukan itu, namun kedua tangannya membawa nampan berisi piring kotor. Kalau Asa nekat, piring - piring akan jatuh.
Sikap Sora seperti ini saja sudah bikin heboh. Akan semakin heboh kalau diikuti dengan tragedi piring pecah.
Asa akhirnya hanya berusaha melepas diri dengan sedikit meronta dan berjengit. Untung lah tak lama kemudian Sora bersedia melepas pelukan.
"Asa ...." Sora memanggil Asa lagi - lagi dengan raut wajah yang terkagum - kagum.
"Iya, Sora. Aku denger. Aku nggak budek," jawabnya.
Sora tersenyum senang mendengar jawaban Asa. Ia menggamit lengan Asa, mengikuti lelaki itu berjalan kembali ke counter.
"Sora, aku lagi kerja!" ucap Asa dengan nada tegas.
Sora mengangguk. "Huum, aku pengin nemenin kamu kerja. Biar kamu tambah semangat!"
Asa menaikan sebelah alis. 'Yang ada justru gue jadi males,' batinnya.
Asa merasa sangat tak nyaman dengan tatapan orang - orang.
Pertama, Asa dan Sora mencuri perhatian karena adegan pelukan yang Asa sebut sebagai kesialan.
Kedua, Asa dan Sora mencuri perhatian karena visual mereka yang indah.
Ketiga, Asa dan Sora mencuri perhatian karena mereka terlihat serasi. Membuat para jomblo gigit jari.
Keempat, Asa dan Sora ... ah, tidak. Sora saja. Sora mencuri perhatian karena pakaian ketat yang dikenakannya.
Para laki - laki mata keranjang sampai melongo, liur mereka hampir menetes berkat sedekah dari Sora.
Siang - siang bolong begini, di dalam sebuah mall, ada anak gadis orang yang salah kostum dengan memakai dress pesta warna hitam selutut, dengan model V - neck cut. Mempertontonkan belahan dadanya yang terlihat montok -- karena push - up bra.
"Sora, mending kamu duduk dulu, deh. Biarin aku fokus kerja!" Asa mencoba tetap sabar. Semenyebalkan apa pun, Sora tetap lah seorang wanita.
Asa adalah pemuda yang memiliki prinsip bahwa laki - laki tak boleh menyakiti wanita. Tiap kali ia emosi pada Sora, ia akan mengingat ibunya. Ia tak mau ibunya disakiti orang lain. Makanya Asa juga tak mau menyakiti.
Sora tersenyum malu - malu. "Aku ngerti, kok, Sa. Ya udah, aku duduk dulu. Kamu pasti susah fokus kerja karena kamu nggak bisa ngalihin pandangan dari aku, kan? Aku seneng, deh. Aku dandan kayak gini demi bikin kamu terpukau. Dan aku berhasil."
Asa berjengit lagi - lagi. Berusaha agar tampangnya stay cool. Agar mimik jijiknya tidak terlalu kentara.
Percaya diri sekali si Sora ini. Bisa - bisanya beranggapan seperti itu? Padahal ... Asa sulit fokus kerja karena memang terganggu dengan kehadirannya. Bukan karena terpukau seperti apa yang Sora katakan.
Merasa akan semakin jengkel jika terus bersama Sora, Asa segera beranjak. Beruntung bertepatan saat Asa dipanggil salah satu rekannya untuk mengantar makanan pada pelanggan.
"Semangat, ya, Asa!" Sora mengepalkan kedua tangan.
Asa hanya menoleh sekilas, lalu lanjut berjalan ke counter.
Sementara Sora terkikik malu - malu sendiri, sembari mencari tempat duduk yang nyaman.
***
Saat membawakan alat praktikum Ruma sepulang kuliah tadi, Asa sempat bertanya pada gadis itu tentang di mana ia bekerja paruh waktu. Ternyata Ruma juga bekerja di mall ini, lho. Di salah satu stan penyedia jasa fish spa.
Selepas shift kerjanya habis, Asa iseng mampir ke lantai tiga. Ia ingin melihat Ruma bekerja.
Satu hal yang Asa syukuri, Sora sudah pulang karena ada jadwal perawatan di salon langganannya. Asa pun bisa bernapas lega, dan bebas melakukan apa pun.
Asa tersenyum menatap Ruma yang dengan ramah melayani para pelanggan. Kebanyakan anak kecil yang datang ke sana. Juga ada beberapa manula.
Anak kecil rata - rata memang senang dengan sensasi geli karena kaki mereka digigit ikan - ikan kecil dalam kolam itu. Sementara para manula, datang ke sana karena memang benar - benar ingin terapi.
"Ruma." Asa tak ragu menyapa gadis itu.
"Lho, Asa." Ruma segera menunduk, tak berani menatap Asa. Atau kedua pipinya akan kembali memerah.
"Aku mau terapi juga." Asa mendapatkan jurus jitu untuk semakin mengakrabkan diri dengan Ruma.
"Oh, iya, Sa. Ini pilihannya." Ruma menyerahkan selembar daftar harga. "Sepuluh menit 15 ribu, 15 menit 20 ribu, 20 menit 25 ribu." Ruma menjelaskan semuanya masih dengan menunduk.
"Aku mau yang 20 menit."
Ruma mengangguk. Gadis itu beralih haluan berjalan menjauh dari Asa, mencari sisi kolam kosong agar Asa bisa duduk dan memulai fish spa - nya. "Sini, Sa!"
Asa bergegas menuju tempat yang dipilih oleh Ruma. Asa menyingsingkan celana jeans - nya, mulai duduk di pinggiran kolam. Asa meringis - ringis ketika kakinya baru masuk ke kolam. Ia sedikit menghentakkan kedua kakinya karena rasa geli yang menyerang.
Ruma tersenyum melihat reaksi Asa. Terlihat sekali kalau ini adalah pengalaman fish spa pertama pemuda itu.
Tak butuh waktu lama hingga Asa akhirnya beradaptasi dengan sensasi geli karena gigitan ikan.
Melihat Asa sudah merasa nyaman, Ruma hendak kembali ke meja depan. Namun pergerakannya terhenti karena Asa menahannya. Pemuda itu menggenggam pergelangan tangan si gadis berkacamata.
"Mau ke mana?"
"Ke depan." Ruma terlihat gugup. Ia berusaha melepaskan genggaman Asa. Karena ia gugup tentu saja. Dan karena ia teringat dengan Abah.
Asa segera menyadari kesalahannya. Ia pun melepas genggaman tangannya. "Maaf," gumamnya kemudian. "Kamu di sini aja, ngobrol sama aku."
Ruma menggeleng. "Depan nggak ada yang jaga. Nanti ada pelanggan nggak tahu."
Asa mengangguk mengerti. Ah, ia baru ingat kalau Ruma - nya sedang bekerja saat ini.
Eh ... Ruma - nya?
Haha, Asa tertawa dalam hati. Ia malu sendiri karena hal itu. Aduh, bahkan tanpa melakukan apa - apa, Ruma sudah berhasil membuat seorang Asa tersipu - sipu.
"Uhm, ya udah, deh. Habis ini kamu boleh balik ke depan. Tapi aku mau ngomong sesuatu dulu."
Asa bisa melihat raut Ruma yang menegang.
"Ngomong apa emangnya, Sa?"
Asa tersenyum, bermaksud untuk mengurangi ketegangan Ruma.
"Nanti pulang aku anter, ya?" tanya Asa lembut.
Raut Ruma semakin menegang. Ruma diam seperti patung yang menunduk. Asa yakin saat ini wajah Ruma sedang memerah.
"Abah nggak akan marah. Lagian kita kan nggak pegang - pegangan. Kan naik motor sendiri - sendiri." Asa menjelaskan pelan - pelan supaya Rum a tidak salah paham.
"T - tapi ... nanti kalau Abah tahu, terus nanya - nanya, aku harus jawab apa?" Ruma terbata - bata.
Asa tersenyum lagi - lagi. Gugupnya Ruma terlihat begitu manis di matanya.
"Kalau Abah nanya, kamu nggak perlu jawab apa - apa. Biar aku yang jawab."
Ruma kembali diam tanpa kata.
"Gimana? Mau?"
Asa sabar menunggu jawaban Ruma. Sampai akhirnya gadis itu mengangguk pelan.
Sekarang Asa telah mantap dengan perasaannya sendiri. Ia memang sudah jatuh cinta pada Ruma.
***