Rasa Bersalah

2918 Kata
"Berada dimana kau sekarang? Apa dia baik-baik saja, Jongin?" tanya lemah pria paruh baya yang terbaring lemah diatas kasur king sizenya. Dengan beberapa alat rumah sakit melekat di tubuh, ia menelpon salah satu asisten terpecaya yang ditugaskan di salah satu negara barat. "Saya berada di depan flat mereka, Tuan. Cucu anda baik-baik saja. Anda tidak perlu khawatir." "Baiklah, mendengar itu aku cukup merasa tenang. Terima kasih, Jongin. Kau sudah sangat banyak membantu," "Tidak Tuan, ini memang sudah tugas saya. Berfokuslah dengan pengembuhan sakit Anda. Saya akan melaksanakan tugas saya dengan baik disini, Anda tidak perlu khawatir." "Jangan terlalu fokus dengan tugasmu. Ambilah cuti dan berliburlah. Aku menggajimu bukan hanya untuk bertugas saja," Disaat yang sama sang istri mengusap punggung tangannya mengisyaratkan bahwa anak sematawayang mereka sudah di ambang pintu menuju mereka. "Baiklah Jongin, aku akan menghubungimu lagi nanti." Pria paruh baya yang masih terbaring lemah bernama Park Sungjin ini mematikan sambungan teleponnya secara sepihak, lalu menyerahkan ponsel pintarnya pada sang istri—Park Yungmi. "Kau tidak pulang ke rumahmu dulu, David?" Tanya Yungmi setelah melihat Putranya yang masih berbalut jas dengan wajah lelah, jetlag. Rasa khawatirnya membuat telinga David menuli dengan pertanyaan Ibunya. "Bagaimana keadaan Ayah, Bu? Apa Ayah sudah merasa lebih baik dari sebelumnya?" Tanya Putra mereka yang sudah berdiri di depan keduanya. "Ayahmu sudah merasa lebih baik dari kemarin, sayang.” Ucap Yungmi menenangkan sambil mengusap punggung tangan Putranya yang berada diatas bahunya. “Bagaimana rapat di Jepang, lancar?" alih Yungmi. David mengangguk sebagai jawaban. "Semua lancar, Bu.” Jedanya. “Kenapa Ibu baru memberitahuku tentang keadaan Ayah? Seharusnya Ibu memberitahuku sejak kemarin," seperti nada merajuk membuat Sungjin mengulum senyumnya. Di lubuk hati Sungjin terdalam merasa sangat bersalah pada David. Bagaimana tidak? Putra tunggal dari keluarga Park ini adalah anak yang penurut apapun keputusan yang diambil oleh kedua orangtuanya. Hal kecilpun Sungjin selalu ikut campur dalam kehidupan Putranya, dan David tidak pernah memberontak atau mengelak apa yang ia perintahkan. Terkecuali kejadian 6 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya bagi Sungjin dimana David tak terlihat seperti Putranya yang penurut. Sungjin bisa merasakan seberapa besar rasa sayang Putranya terhadap mereka dengan sikap David yang selalu sabar mengahadapi orang tua overprotektif seperti dirinya. Sehingga Sungjin merasa tidak sepantasnya menutupi hal besar ini selama hampir enam tahun menyangkut darah daging Putranya, yang dulu menurut Sungjin demi ketenangan hidup David. Melihat sang Suami menatap Putra mereka dengan intents, membuat Yungmi beranjak dari duduknya lalu  menarik lembut tangan David mengisaratkan untuk duduk di kursinya. “Ibu akan membuatkan makanan untukmu. Makanlah sebelum pulang nanti," Yungmi keluar setelah David menyetujui usulnya dan juga memberi privasi untuk mereka bicara. Jantung Yungmi mulai berdetak kencang mengingat apa yang dikatakan Sungjin, akan membongkar semua rahasia yang selama ini mereka tutupi dari Putra mereka. Sekarang ia hanya bisa mempercayai semua keputusan sang Suami adalah yang terbaik. Sungjin membenarkan letak duduknya dari posisi setengah berbaring lalu melepaskan selang oksigen yang cukup menganggu hidungnya. "Lebih baik Ayah berbaring saja, tidak perlu dipaksakan." David memegang pundak Sungjin untuk kembali berbaring. Tapi Sungjin menepisnya secara halus dengan mengambil tangan David untuk ia genggam, ia usap punggung tangan itu meggunakan ibu jari. Merasa aneh dengan sikap Sungjin, David menatap wajah sang Ayah yang memperhatikan tangan mereka bertaut, wajah itu menujukan rasa bersalah yang mendalam. "Ada apa? Apa Ayah kembali merasa sakit?" "Aku adalah Ayah yang buruk telah merahasiakan ini semua padamu. Ayah harap kau tidak membenci Ayahmu ini, Park Chanyeol." David cukup terkejut dengan ucapan Sungjin memanggil nama Koreanya 'Park Chanyeol', ia rasa ini adalah masalah serius. David bertanya-tanya kesalahan apa yang telah Sungjin perbuat. "Apa yang Ayah maksud? David tidak mengerti.” Jedanya. “Lebih baik Ayah istirahat, jangan memikirkan apapun terlebih dahulu. Kita lanjutkan pembahasan ini jika Ayah sudah benar-benar pulih." David khawatir melihat wajah Sungjin yang terlihat semakin bersalah padanya. Takut penyakit jantung sang Ayah kembali kambuh karena kondisinya masih terbilang lemah, pastinya belum diperkenankan untuk memikirkan hal serius seperti ini. Walaupun David mulai tertarik dengan ucapan Sungjin barusan. Sungjin menggeleng pelan, ia meraih sebuah amplop coklat di balik bantal sampingnya. Sungjin serahkan pada David yang terlihat bingung. David menatap sejenak amplop itu lalu diraihnya dari tangan Sungjin. Ia beralih menatap sang Ayah seolah bertanya 'apa ini?' "Bukalah." Perintah Sungjin. Dengan ragu David perlahan membuka amplop tersebut. Kedua alis David terangkat ketika melihat beberapa foto anak laki-laki seperti baru berumur 5 tahun, dan lampiran berikutnya ada beberapa lembar data yang tak lain adalah data anak kecil itu. "Anak kecil yang tampan." Gumam David sambil mengangguk kecil. 'Apa ini yang membuat Ayah merasa bersalah? Tapi kenapa? Apa Ayah berselingkuh? Jangan bilang dia adalah adikku?'. Batin David yang betanya-tanya mulai berfikir negatif terhadap Sungjin yang masih terduduk lemas di depannya. "Siapa anak kecil ini?" Tanya David setenang mungkin agar pertanyaan tidak masuk akal keluar dari mulutnya. Melihat raut wajah sang Ayah yang tidak bisa David prediksi, membuat kepalanya sedikit berdenyut. "Dia...cucu Ayah." Deg David terkejut, membuat keningnya berkerut menatap sang Ayah. Apa ini sebuah lolucon? David menatap Sungjin seolah mencari sesuatu di mata itu, apa yang diucapan Ayahnya hanya bergurau. Jika benar, sungguh...ini adalah lolucon terburuk yang pernah David dengar. Sayangnya David hanya melihat keseriusan ada dimata itu. Sekarang David mulai berfikir kalau anak kecil—cucu Ayahnya itu adalah anak dari saudara tirinya, mengingat dirinya adalah anak tunggal? Jika itu benar David merasa sangat terhianati disini. Melihat ekspresi David, Sungjin seolah tahu apa yang ada di pikiran Putranya yang sudah ia pikirkan sejak berniat untuk memberitahu semuanya. "Anak kecil yang tampan itu adalah cucu Ayah, darah dagingmu, Park Chanyeol." Tegas Sungjin yang berhasil membuat David terhenyak. Mata David membulat sempurna sekarang. Semua pertanyaan yang ada di kepalanya meleset setelah mendengar pernyataan yang keluar dari dari mulut Ayahnya. Sungjin ingin melanjutkan bicaranya, tapi jantungnya mulai berdetak kencang menimbulkan rasa sakit luar biasa di bagian d**a hingga matanya perlahan tertutup dan tak sadarkan diri. "AYAH!" teriak David. *** -Jaevyna-   Tepat dihari Senin tanggal 29 Oktober 201X, New York. Setelah sembilan bulan lamanya mengandung, Aku melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan, tanpa sesosok Ayah untuknya. Kelahiran Putraku kembali  mencerahkan kehidupanku yang hampir tertelan oleh kegelapan. Yang kuberi nama Joevanca. Dia sangat pintar dan begitu manja. Jika tidak bersamaku, dia bukan seperti anak balita pada umumnya. Kata mereka. Aku tidak bisa sepenuhnya memantau Putraku karena sibuk bekerja demi mencukupi kehidupan kami berdua yang sederhana ini. Pada awalnya aku tidak menanggapi omongan orang sekitar tentang Putraku yang berbeda seperti anak umum lainnya. Karena selama bersamaku ia bertingkah layaknya seorang anak kecil. Seperti anak yang lainnya suka bermanja dengan orang tuanya. Hingga sesuatu terjadi dimana aku jatuh sakit, karena kelelahan bekerja. Sekujur tubuhku sakit dan lemas. Sekarang aku duduk dengan tumpukan bantal untuk bersandar, dan merasakan kakiku yang terasa nyeri. Pintu kamarku terbuka sempurna hingga aku bisa melihat seluruh ruangan yang ada di flat kecil kami ini. Menengok ke kanan pun aku bisa melihat pintu kamar anakku, ruang tengah, dan dapur dalam satu pandangan. Dan betapa terkejutnya aku melihat seorang anak laki-laki berumur 5 tahun memasak bubur dengan kursi kecil yang ia naiki. Kuperhatikan setiap pergerakannya seperti sudah mahir melakukan semua pekerjaan rumah. Apa dia sering melakukan ini semua? Aku ingin melarangnya tapi rasa penasaranku lebih besar untuk melihat apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Begitu banyak pertanyaan di kepalaku seputar tentang Joe, Putraku yang aku kira sudah mengetahui semua tentang Putra kecilku. Hari ini aku hanya di rumah, diberi izin untuk tidak berkerja. Jam sudah menunjukan pukul dua siang, tidak ada tanda-tanda Bella akan kesini atau menghubungiku dengan alasan tidak bisa menjaga Joe hari ini. Cukup lama aku memperhatikan setiap pergerakan Joe yang cukup asing bagiku. Tak lama wajahnya kecilnya menoleh kearahku. Mata kecilnya terlihat terkejut melihat aku yang masih setia memperhatikannya dari kejauhan. Joe menuruni kursi yang dinaikinya lalu membawa nampan berisi semangkuk bubur panas dan segelas air putih dengan tangan yang mungil itu kearahku. Kuraih nampan yang cukup berat untuk dibawa seorang anak kecil lalu meletakkannya di nakas samping kasur. Lagi-lagi wajahnya terlihat gelisah sejak menoleh ke arahku tadi. Seolah dia telah tertangkap basah sudah melakukan kesalahan. "Kemarilah," ucapku santai menepuk pahaku seolah tidak terkejut sama sekali apa yang sudah kulihat. Agar dia tidak takut padaku. "Joe juga ingin makan?" Tanyaku yang tubuhnya sudah berada di pangkuanku. Dia pun mengangguk pelan. Kupeluk tubuh kecilnya cukup erat hingga hembusan nafas dan datak jantungnya bisa kurasakan. Mengusap lembut rambutnya berharap dia menceritakan apa yang terjadi. Ternyata tidak, Joe hanya diam dan membalas pelukanku dengan tangan kecilnya. "Ada sesuatu yang ingin anak Mommy ceritakan, hm?" Tanyaku pelan yang masih setia mengusap lembut kepalanya dalam dekapanku. Tangannya mengerat memelukku lalu menggeleng pelan. “Baiklah, sekarang Mommy yang akan bicara.” Kukecup keningnya sekilas. "Jadi sejak kapan Aunty Bella tidak kemari lagi untuk mengurusmu?" Tanyaku dengan posisi yang sama, karena aku tahu dia takut menatap wajahku. Beberapa detik hening menunggu jawaban dari mulut kecilnya. Mulutnya tak kunjung bergerak untuk mengeluarkan suara. Kulonggarkan pelukannya lalu kutangkup wajahnya mengusap pelan menggunakan ibu jari. "Jawab pertanyaan Mommy sayang, sejak kapan Aunty Bella tidak lagi kesini untuk mengurusmu?" Ulangku sepelan mungkin. Matanya sendu menatap mataku yang penasaran. "Semenjak Mommy kerja menjadi koki pizza." ucapnya pelan lalu pandangannya turun. Aku mematung mendengar jawaban yang dilontarkan mulut mungilnya. Semenjak aku bekerja manjadi koki? Bukankah saat itu pertama kali meminta Bella mengurus Joe? Seketika aku merasa tertipu. Bukannya aku gampang percaya dengan mulut anak sekecil Joe, tapi setelah melihat Putraku begitu mandiri melakukan semuanya tanpa ragu membuat aku yakin tanpa aku disisinya selama ini anakku melakukan semuanya sendiran. Bagaimana bisa aku percaya dan sangat berterima kasih dengan orang yang sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri yang kukira melakukan tugasnya dengan baik karena sudah hampir 2 tahun ini tidak ada keluhan sama sekali dari Bella maupun Joe sendiri. Itu artinya selama ini Bella hanya memakan gajih buta yang aku berikan. Aku tahu gajih yang kuberikan tidak seberapa, tapi paling tidak menjemput Joe sesuai dengan apa yang aku minta kerjakan. Ini sudah sangat kelewatan jika tidak melakukan tugasnya sama sekali. Memang benar aku menugaskannya untuk menjemput Joe sekolah lalu membereskan pekerjaan rumah—hanya mencuci piring dan memasakkan makanan untuk Joe, aku memperbolehkannya pulang setelah semua selesai tanpa menungguku pulang asalkan Joe sudah memakan makan siangnya dengan baik. "Mommy," Suara lembut Joe membuyarkanku pikiran tentang Bella yang tidak bertanggung jawab itu. Kupandang wajah kecil nan tampan dengan rasa bersalah. Rasanya aku gagal menjadi seorang ibu. Seharusnya yang mengurus, menjaga, dan memasakan makanan untuknya itu adalah aku sendiri. Bukan mengharapkan orang lain untuk melakukannya. Sayangnya keadaanlah yang mengharuskanku tidak bisa melakukannya dan membuat Joe mandiri sebelum waktunya. Air mataku jatuh. Aku tidak bisa menahan rasa bersalahku terhadap Putraku sendiri. Aku merasa tidak pantas menjadi seorang Ibu untuknya. Ia terlalu kecil untuk melakukan itu semua. Kenapa selama ini aku tidak menyadarinya? Aku benar-benar orangtua yang bodoh dan egois hanya memikirkan untuk kelangsungan hidup. Tangan kecilnya menyentuh pipiku dan mengusap air mataku. "Mommy kenapa menangis?" Ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "...Joe minta maaf jika perkataan Joe membuat Mommy menangis." sambungnya yang bergetar menahan tangis. Langsung kudekap tubuh kecilnya, ia menangis hingga sesegukan layaknya anak kecil kehilangan mainanya. Aku juga tidak bisa menahan air mataku karena rasa bersalahku semakin besar melihat Putraku seperti ini. "Maafkan Mommy yang belum bisa menjadi Ibu yang baik untukmu, sayang." Semua Ibu di dunia pasti menyalahkan dirinya sendiri saat hal buruk terjadi pada anak mereka. *** “Kalau sudah pulang sekolah kasih tahu Mam Desy, biar dia yang menghubungi Mommy untuk menjemputmu.” Jae membenarkan letak tas Joe yang sedikit miring. "Yes, Mommy." Dikecupannya kening Joe. "Apa Mommy yakin bisa bekerja hari ini?" ucap Joe khawatir. "Tentu Mommy sudah sehat! Kalau tidak, mana mungkin mengantar Joevanca sekolah." Jae mengusap pucuk kepala Joe dengan sayang. "Sudah sana masuk! Nanti terlambat." Sambungnya. Jaevyna melambaikan tangannya kearah Joe yang masih setia memandang dirinya yang perlahan menjauh dari gerbang taman kanak-kanak. Setelah Jae sudah tak terlihat lagi. Joevanca berbalik hendak menuju kelasnya, tapi jalannya terhenti katika suara pria dewasa memanggil namanya. "Hallo, Vanca!" Suara itu tidak asing di telinga kecil Joe. Pria dewasa yang biasa ia panggil uncle Kai, yang selalu mengganggunya setiap kali bertemu. Kepala kecil Joe menongok kearah sumber suara. Ternyata pria dewasa itu sudah ada di depannya berjongkok menyajarkan pandangan mereka. "Untuk apa uncle kesini?" Tanya Joe datar. "Aish! Judes sekali. Uncle Kai kesini hanya ingin menemuimu dan memberikan ini." pria bernama Kai itu menyerahkan sebuah payung kecil kearah Joe yang kebingungan menatapnya. Ekspresi Joe seolah bertanya 'untuk apa?' Kai tersenyum seolah tahu isi pikiran anak kecil ini. "Hanya untuk jaga-jaga, biasanya hari yang cerah seperti ini bisa tiba-tiba turun hujan, anak kecil!” jedanya. “Kalau begitu Uncle Kai pergi dulu. Bye!" Kai berdiri sambil mengacak rambut Joe lalu pergi dari hadapan Joe. Joe menatap bingung payung yang ada di tangannya sekarang. Kenapa Kai selalu ada dimanapun dan juga pria dewasa itu aneh. Tidak hanya menganggunya setiap hari, Kai selalu menolong Joe dimanapun. Seperti 4 bulan yang lalu.. Dimana Joe sedang berjalan sendirian menuju pulang. Seolah sudah terbiasa pulang ditemani oleh Kai, Joe jadi bertanya-tanya dimana pria dewasa yang selalu mengganggunya itu. Ketika Joe menyebrang jalan raya, jika bukan tangan Kai yang menarik Joe ke dalam pelukannya, mungkin tubuh kecil Joe sudah terhempas tidak berdaya diatas aspal. Semenjak aunty Bella tidak lagi menjemputnya, Kai-lah yang selalu mengganggunya dari depan mini market—tempat Kai bekerja tepat di samping sekolah sampai ke flatnya, bisa dibilang uncle Kai menemani atau mengantarnya selama di perjalanan. Kenapa Joe memanggilnya uncle? Karena Kai sendirilah yang memaksa Joe untuk dipanggil uncle. Kai mengatakan tidak suka dipanggil ‘tuan’ yang terkesan formal. Kai juga pernah mengatakan agar lebih akrab kalau bisa dipanggil 'kakak', tapi Joe malah pergi meninggalkan Kai mengangapnya pria dewasa yang aneh. Pada awalnya Joe takut dengan Kai modus akan penculikan atau sejenisnya karena selalu ada di sekitarnya, tak hanya saat pulang sekolah tapi juga ketika Joe keluar dari rumah sendirian. Hingga akhirnya Joe tidak merasa takut lagi kerena selama dengan Kai ia merasa aman keluar rumah walaupun Joe selalu bersikap acuh pada semua ocehan Kai. *** “Katakan padaku kalau perkataan Putraku salah, Bella.” tanya Jae yang mulai menahan emosi pada wanita di depannya. "Itu benar." jawab Bella dengan santai seolah tak ada beban atau merasa bersalah telah menelantarkan Putranya selama ini. Jae yang sedang duduk di sofa rumah Bella sekarang splescess mendengar ucapan wanita di depannya ini. Begitu mudahnya Bella menyatakan 'itu benar' tanpa rasa bersalah. Dua kata singkat yang membuat rasa respectnya terhadap Bella hilang lenyap dimakan angin. Apa Bella tidak berpikir tentang anak sekecil Joevanca melakukan semuanya sendirian yang seharusnya tidak Putranya lakukan selama hampir 1 tahun lebih ini? Jae sangat kecewa. Bukan itu yang ingin Jae dengar dari mulut Bella. Ekspetasi Jae adalah mendengar kalimat panjang sebagai penjelasan dari wanita itu—bahwa Bella tidak hanya memakan gajih buta dan menjalankan tugasnya dengan baik. Tapi itu semua hanyalah sebuah harapan pada Bella yang menyilangkan kakinya dengan santai. "Itu salah kau sendiri yang gampang dibodohi, masalah seperti ini saja kau tidak tahu. Orangtua macam apa kau?" ucap Bella dengan wajah yang sangat mengesalkan bagi Jae. Air mata Jae jatuh karena emosinya yang meluap. Marah dan rasa bersalah menjadi satu. Marah terhadap wanita kurang ajar di depannya dan rasa bersalah pada Putranya karena secara tidak langsung Jae melantarkan anaknya sendiri. Benar kata orang, jangan mudah percaya dengan orang asing yang belum kau ketahui sifat aslinya. "Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, kau bisa pergi sekarang karena aku ingin pergi." Jae benar-benar muak dengan sikap Bella yang tidak tahu diri. Dengan emosi yang memuncak Jaevyna berdiri dan mendaratkan tangan kanannya pada pipi Bella cukup kencang. Plak! "KAU!" Tangan Bella sudah siap untuk membalas, tapi dengan sigap Jae menahan tangannya. "Terima ka—ah~ aku lupa kau tidak menjalankan tugas sama sekali jadi aku tidak perlu mengatakannya, tapi aku akan berterima kasih karena KAU Putraku sudah mandiri sebelum waktunya!" ucap Jae penuh penekanan tepat di depan wajah Bella. Dihempasnya dengan kasar tangan wanita itu lalu berbalik pergi menjauh dari sana. “SIALAN!” umpat Bella sembaring memegang pipinya yang berdenyut. *** Aroma hujan bercampur dengan rumput dan tanah basah menyebar kemana-mana. Rasa kagum Joe muncul pada Kai yang bisa memprediksi suatu sebelum terjadi. Cuaca yang sangat cerah dipagi hari tiba-tiba hujan seperti sekarang. "Apa Mommy akan menjemputku ditengah hujan seperti ini?" Tanya Joe pada Desy—wali kelas Joe. "Aku juga tidak yakin, tapi Mam sudah menghubungi Mommy-mu, mungkin sebentar lagi akan datang." ucapnya sambil mengelus pucuk kepala Joe yang sedang duduk dibangku kelasnya. "Mommy!" Teriakan Joe mengisi koridor sekolah setelah melihat Jae berjalan menujunya. "Ayo! kita harus pulang sekarang, setelah ini Mommy akan kembali bekerja." ucap Jae sibuk memakaikan jas hujan pada Joe. "Aku ada payung, Mom." "Payung? milik siapa?" "Punya..." jedanya. Joe takut jika Mommynya khawatir dengan orang asing yang selalu bersamanya jika di luar sekolah maupun di luar rumah. "...Uncle penjaga sekolah." sambung Joe hati-hati. Okay, baiklah Joe kembali berbohong kali ini. "Baiklah, kita pakai ini. Jangan lupa besok dibawa lagi untuk dikembalikan pada uncle." Jae mengangkat tubuh Joe untuk menggendongnya. Kedua tangan kecilnya melingkar di leher Jae. "Mommy tidak memakai jas hujan?" Tanya Joe dengan kedua alisnya terangkat. "Tidak, sayang. Yang lebih membutuhkan adalah anak Mommy biar tidak sakit dan bisa bersekolah!" ucap Jae semangat. Dengan payung di tangan satunya, Jae menggendong badan kecil Joe dengan sedikit berlari ke salah satu halte. Tanpa sadar mata Joe bertemu dengan mata seseorang yang ia kenali sedang memantau mereka ditengah hujan yang cukup deras ini. ‘Uncle Kai’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN