Episode 3: Teman Menyebalkan

1084 Kata
Teman-teman Amara tuh, ya. Teman nyebelin yang pernah ada. Benar-benar tidak punya pikiran, dan juga perasaan! Bagaimana bisa dibilang seperti itu? Mereka sama ekali tidak mencari Amara. Atau bahkan mungkin mereka sudah terlelap di kamar vila yang nyaman. Dasar menyebalkan! Sedangkan Amara sudah lemas berjalan hampir sepuluh kilo jauhnya. Bukan menemukan perkotaan, justru ia semakin melewati jalan-jalan sepi. Bunyi suara lututnya saling bersautan, tenaganya pun sudah menipis. Ia semakin bingung arah tujuannya. Ke kanan atau ke kiri? “Lihat aja, kalau mereka ajakin gue liburan lagi. Bakalan gue tolak!” Amara terus saja menggerutu sepanjang jalan. Hingga tenggorokannya terasa kering. Amara mendongkrak ke atas hujan turun dengan lebatnya. Pakaian yang dia kenakan kini basah kuyup tak menyisakan apa pun lagi yang kering. Sedangkan gelap menyelimuti. Membuat hawa terasa mencekam. “Hidup itu harus dinikmati, buat apa gue susah-susah cari uang? Bokap, nyokap siang’ malam selalu sibuk kerja. Uang mereka segunung, gue pakai foya-foya tiap hari juga nggak bakalan habis.” Mobil berwarna hitam melintasi jalanan pinggiran kota Bali. Hujan membasahi kaca bagian depan hingga wiper goyang ke kanan-kiri untuk membersihkan air yang mengurangi jarak pandang Arkha saat menyetir. “Ya udah, lo tinggal ke sini aja, kita udah siap happy-happy nih, Anggita juga udah siap lo happy kan.” “Kalau Anggita nomor satu pokoknya. Tinggu bentar lagi gue sampai sana. Mau gue buat nggak bisa jalan tuh cewek—” Arkha mengerjap di sepinya jalan melihat seorang wanita berdiri di tepi sedang melambai-lambai, memberhentikan mobil yang melintas. Sayangnya, mobil depan Arkha tidak mau berhenti. Cowok itu mengamati dari kejauhan, seperti mengenal. Semakin mendekat mobil yang ia kemudikan wajah cewek itu semakin jelas. “Ah, itukan Amara cewek sombong, dingin kek kulkas nggak dibersihkan lima taun. Lagi apa dia di sini?” Bibir tipis Arkha menyeringai melihat Amara di hadapan mobilnya. Seketika menginjak rem, berhenti tepat di hadapan Amara. Setelah hampir sejam lamanya Amara berdiri di tepi jalan yang sunyi itu akhirnya ada mobil berhenti. Gadis itu bisa menghela napas lega kini. Langsung bergegas untuk menghampiri pengemudi yang sudah berbaik hati. “Lo?” Mulut Amara menganga saat melihat pengemudi. Ternyata itu adalah cowok yang dia kenal. Cowok yang selalu menyapa tapi dia balas dengan senyuman terpaksa. Dia kakak angkatan di kampus, terkenal sebagai brandal. “Hei, Mara. Perlu bantuan?” tanya Arkha terlihat ramah. Tersenyum hingga lesung pipinya kentara di antara jambang yang tumbuh di sekitarnya. “Lo ngapain di sini?” Arkha melihat ke sekeliling belakang Amara. "Teman-teman lo mana?” Amara melihat ke arah Arkha sedang memikirkan sesuatu. Dia tau cowok di hadapannya itu brandal, tapi tidak ada salahnya kalau ia minta tolong bukan? Dari pada tersesat semakin ke dalam hutan. “Temen gue udah balik ke vila duluan.” “Dan lo, ditinggalkan gitu aja?” Arkha tertawa tanpa bersuara. Amara mengangguk dengan terpaksa. “Ya udah, makanya gue minta tolong sama lo buat anterin ke vila. Mau, kan?” Bibir Amara gerak-gerik ingin bicara’ lagi. Kali ini ia malu sangat malu. Sebab, harus minta sama cowok yang selama ini ia benci. Selalu berkata-kata pedas untuk menghina semua orang. “Tunggu apa lagi? Ayo cepetan masuk!” “Tapi lo bakalan antar gue ke vila, kan?” Arkha mendengus sambil memalingkan muka. “Kalau gue jual lo aja gimana, buat santapan om-om?” Menyeringai kemudian. “Iya jelas lah, bakalan antar ke vila. Lagian. Sama cewek model kayak lo, gak minat gue. Ya udah cepat masuk sebelum gue berubah pikiran!” Amara tidak mengatakan apa-apa di dalam mobil. Suasana begitu canggung baginya, sebab ini kali pertama Amara dalam situasi hanya bersama dengan cowok saja. Apa lagi dia terkenal berandal di kampus. Bahkan mungkin sekarang lebih parah lagi, sebab penampilannya memakai celana robek-robek dan stelan kaos hitam. “Gue denger-denger, lo jadi salah satu lulusan terbaik di kampus ya?” Amara mengangguk. “Emang, apa yang lo dapatkan setelah dapat mendali itu?” Arkha menggeleng sambil terkekeh. “Kadang-kadang aku kasian sama hidup orang-orang susah kayak kalian. Harus muter otak buat dapat beasiswa. Setelah lulus harus kerja keras buat cari kerjaan yang pas.” Amara memutar bola mata malas. Kalau bukan karena butuh mungkin dia tidak akan sudi berada dalam satu mobil bersama Arkha yang selama ini selalu merendahkan orang lain. “Seenggaknya gue punya kerjaan buat masa depan. Dan nggak harus andalkan orang tua,” sarkasme Amara. Arkha menyunggingkan bibir. “Asal lo tau, menikmati harta orang tua itu enak. Gak perlu susah-susah kerja gue bisa puas.” Kemudian melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Membuat Amara peregangan pada pinggir pintu begitu kuat. “Bisa pelan dikit nggak sih, ini lagi hujan deras, sebelah kanan kita lagi jurang!” “Lo takut mati?” tanya Arkha menyeringai. Senang melihat ketakutan Amara. Semakin melajukan mobilnya. “Lo udah gila, ya? Jelaslah gue belum siap mati. Sebulan lagi mau nikah! Kurangi nggak, kecepatannya? Kalau nggak gue lompat nih!” Arkha tergelak kali ini benar-benar puas melihat Amara ketakutan luar biasa. “Oke, lihat lo kayak gitu gue kasian.” Mengurangi kecepatan hingga rendah. “Iya kan nggak gini juga! Kalau pelan gini kapan sampainya.” Amara mendengus kesal. “Karena aku lagi baik, maka aku turutin.” “Eh, kok, malah berhenti?” tanya Amara heran sambil mengerutkan dahi. “Kalau ini sama sekali bukan gue yang mainin. Tapi ini benar-benar mogok.” Arkha mengusap wajahnya kasar. Ia memusingkan gimana caranya memperbaiki mobil di tengah derasnya hujan seperti ini. “Lagian lo, sih. Pakai dimainkan segala, sekarang mogok, kan?” Entah ada dengan hari ini, seolah kesialan selalu menimpa dirinya. Ini sungguh-sungguh menyedihkan, sekarang gimana caranya dia sampai ke vila kalau seperti ini. Amara hanya bisa menyadarkan kepala ke belakang sambil menghela napas kemudian mengembuskan panjang. “Mau minum nggak, Ra?” Arkha menyodorkan sebotol air mineral setelah keluar memeriksa dari mesin di depan mobil. “Ini nggak lo kasih macam-macam, kan, Ka?” Arkha tergelak. “Emang apa sih, yang mau dikasih ke lo? Tenang aja, nggak ada macam-macam kok. Minum aja.” Dengan ragu Amara meminum sebab sejak tadi ia merasa haus. Tanpa sadar ia sudah meminum dari botol bekas bibir Arkha. Secara tidak langsung mereka saling bersentuhan bibir bukan? “Enak nggak minum, bekas gue?” Hah? Amara membulatkan mata, menoleh pada Arkha yang sedang tersenyum santai. “Jadi … ini minuman bekas lo?” Terperangah sambil memegang botol yang tersisa setengahnya. “Kalau iya emang kenapa? Mau muntah kan, he um? Udah bagus gue tawarin lo minum.” "Ya mending nggak usah, dari pada gue minu6 bekas lo, dodol!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN