Tergesa-gesa langkah Amara melewati jalanan halaman rumah sakit terbuat dari paping. Sedangkan di pinggirnya lagi terdapat tanaman-tanaman berwarna hijau dan merah. Sudah beberapa kali kendaraan berlalu lalang memasuki area halaman. Membawa menghampirinya namun ia menggeleng dan mengatakan tidak kemudian berlalu begitu saja.
Tenggorokannya mengering sebab sedari tadi ia tidak menenggak air putih setetes pun. Ditambah lagi tadi ia harus menunggu Arkha, anak bapak Erick cukup lama di dalam mobil.
Amara sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari adiknya yang tadi berpamitan akan membeli air putih di minimarket seberang jalan.
Bim... Bim!
Suara klakson mobil dari arah belakang membuatnya tersentak dan menoleh mencari arah sumber suara.
"Eh, Kak Kafeel?" Ia tersenyum lebar saat melihat Kafeel berada di dalam mobil membuka kaca menatapnya membuat salah tingkah sendiri.
"Amara, tunggu bentar ya, saya mau parkir mobil dulu."
Amara mengangguk, menunggu seperti apa yang diperintahkan oleh calon suaminya. Ah, mantan calon suami lebih tepatnya.
"Kenapa saya lihat kamu naik angkot?" tanya Kafeel saat setelah memarkir mobilnya. Menghampiri Amara.
Antara ingin menganggap dan menggeleng. "Iya, kak. Tiba-tiba motorku mogok di jalan, jadi... terpaksa naik angkot," balas Amara sambil meringis kepanasan sebab cahaya matahari menjelang sore hari langsung menyorot halaman rumah sakit tanpa penghalang.
Dasar Amara pembohong, sudah jelas-jelas berani tidur dengan pria lain di saat sebentar lagi akan menikah, kini berbohong lagi tentang sepeda motor.
Entah sejak dari mana Kafeel melihat dia berada di dalam angkutan umum. Yang pasti Amara berharap, kalau pria itu tidak melihat saat dia keluar dari area apartemen Arkha. Akan semakin runyam jika itu terjadi.
"Dasar, gadis kecil, nggak pernah berubah. Masih aja gengsian, kan, kamu bisa telepon saya kalau lagi butuh bantuan, kamu lupa ya? Kita ini calon suami istri," ucap Kafeel menggeleng kemudian menatap Amara.
Sangat perhatian sekali lelaki itu, suaranya begitu merdu seperti penyanyi dangdut, lembut, dan menghanyutkan hati Amara semakin menyukainya.
"Kamu udah makan?"
Sudah gitu, dia perhatian lagi. Tidak pernah melupakan menanyakan jadwal makan Amara.
"Saya bawakan makanan untuk kamu dan Ayah Bunda, Amira juga."
"Untukku dan keluargaku, tepatnya, Kak," ucap Amara.
"Oh iya, kamu benar. Kalau begitu, ayo kita masuk, saya pengen lihat keadaan Ayah."
Amara mengangguk, kemudian mereka berjalan bersamaan. Entah kenapa setiap berdekatan dengan lelaki di sampingnya itu membuat hatinya terasa tenang dan dingin. Apa lagi ketika dia tersenyum, semakin membuat Amara klepek-klepek seperti anak ayam ayan.
"Mbak!"
Amira ini memang selalu menjadi pengganggu. Tidak hanya ketika waktu kecil, bahkan sampai sekarang mereka sama-sama dewasa. Adiknya itu selalu menjadi nyamuk mengusik kebersamaan dirinya dengan Kafeel.
"Kalian mau masuk ke mana, sih?" tanya Amira dengan napas yang memburu naik dan turun. Memegang dua buah kantong kresek berwarna putih berlogo warna biru. Masing-masing terlihat penuh dengan isianya. Membuat Kafeel mengerutkan dahi.
"Kenapa bawa air mineral dari luar dan banyak sekali? Bukanya di dalam sana ada menyediakan?" tanyanya.
Amira melirik ke sekelilingnya, kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga lelaki itu sambil berjinjit. "Di sini emang ada, tapi harganya jauh lebih mahal, makanya kami lebih baik beli di luar, beda dua ribu setiap botolnya, dua dikali lima, kan, sepuluh ribu. Lumayan bisa hemat dua botol air mineral," bisiknya.
Langsung membuat Kafeel menggeleng terkekeh. "Kalian ini sama aja ya, sama-sama perhitungan," ujarnya kemudian menghampiri Amara lagi.
"Masuk yuk, cepatlah... udah nggak sabar, lihat keadaan Om Rivky. Ayo Mara."
Amara terkesiap saat tangan hangat kekar berkulit bersih melingkar di pergelangannya. Dia menggandeng memasuki gedung rumah sakit. Berada dalam situasi seperti ini membuat jantung Amara berlompatan ke dasar perut, hatinya menghangat, seperti tidak ingin terlepas.
Sangat berbeda saat dirinya ketika berdekatan dengan Arkha. Darahnya selalu dibuat panas, bahkan hampir mendidih.
"Aku kangen banget sama kamu, udah nggak sabar pengen cepat kita nikah," bisik Kefeel.
Menimbulkan getaran rasa bersalah dalam hati Amara mencuat. Ia menarik kedua sudut bibirnya, meringis.
"Ah, kakak bisa aja." Amara terkekeh sambil menunduk malu.
Mereka bertiga sampai di depan ruangan perawatan kelas BPJS nomor dua. Amara mematung sambil mengepal seiring mengigit bibir bawahnya, gelisah. Jika ia masuk berbunyi Kafeel, mungkin sang ayah akan teringat dengan masalah yang dia hadapi.
Setelah dirasa-rasa ia takut jika, Ayah pikiran lalu darah yang mulai stabil naik lagi.
"Kenapa diam? Ayo cepat masuk!"
"Ah, aku hampir aja lupa, kalau kita dah sampai kamar. Hehehe," ucap Amara sambil menggaruk kepala tidak gatal.
"Di mana ruangan, paman Rivky?" tanya Kafeel di sela-sela melihat ke kanan dan kiri. Dalam satu ruangan itu terisi empat ranjang, yang masing-masing diisi oleh orang yang sedang sakit, berbaring ditemani oleh teman atau keluarga terdekat.
"Di sebelah sana, Kak." Amara menengadahkan telapak tangan lalu berjalan lebih dulu menuju sang ayah yang berada di ranjang paling ujung ruangan.
Kafeel menggeleng kasihan melihat ayah Amara yang sedang berbaring lemas di atas ranjang. Amara tahu, kalau ayahnya itu tidaklah tidur, melainkan pura-pura. Seperti menghindari berinteraksi dengan Kafeel.
Begitu juga dengan sang ibu, yang kini duduk di samping suaminya. Beliau tersenyum menyambut kedatangan Kafeel, tapi kemudian meminta mereka berdua pergi lebih dulu. Dengan alasan takut jika sang suami tidurnya terganggu.
"Sejak tadi Ayah nggak bisa tidur, penghuni ranjang sebelah baru saja diam. Mulai pagi sampai siang terus saja ngeluh kesakitan, jadi buat ayah terganggu," ucap Bunda.
"Kenapa kamu nggak pindah Ayah ke ruangan nomer satu aja, Mara. Kan lebih baik, satu kamar hanya dihuni oleh dua ranjang, bunda yang nunggu pun sedikit tenang," ucap Kefeel.
Amara hanya menggaruk kepala yang tidak gatal. Sulit menjelaskan pada Kafeel kalau keuangan mereka lagi nol rupiah. Biaya kamar pun karena jaminan kesehatan kelas nomor yang tiap bulan dia bayar iuran.
Memang benar melihat sang ayah dalam ruangan itu membuat Amara merasa miris. Jarak antara pasien lainnya kurang lebih setengah meter.
"Saya akan mengurus semua, biar Om Rivky bisa dipindah ke ruangan nomor satu." Kemudian Kafeel membalik tubuh akan keluar dari ruangan.
Amara diam, tidak berani bicara atau pun sekedar bertanya pada bunda. Ia hanya berdiri dan menatap arah ayah. Sesekali melirik sang bunda yang memperhatikannya. Kini mereka masih sama-sama diam.
"Cegah Kafeel, kita nggak pantes minta bantuan sama dia. Kamu masih ingat, kan, apa yang udah kamu lakukan?"
Amara mengangguk. Ia segera berlari untuk mencegah Kafeel agar tidak mengurus administrasi pemindahan kamar sang ayah.
"Bunda bilang nggak usah. Katanya lebih enak di ruangan itu, lebih banyak teman saling berkenalan dengan keluarga pasien lainnya. Kalau malam nggak sendirian," ucap Amara.
Kafeel mengerutkan dahi seiring sebelah alisnya yang terangkat. Dia sambil memeriksa handphonenya yang berdenting. Sementara Amara terlihat mulai gelisah karena tiap kali menatap mata lelaki itu, ia teringat kesalahan yang telah dia lakukan.
"Tapi kasihan kalau sampai nggak bisa tidur, Amara. Bukannya cepat sembuh nanti malah semakin sakit kalau seperti itu."
"Kata Bunda nggak mau pindah, maunya tetap di situ." Menyatukan kedua telapak tangannya. "Nggak usah bantu kami, Kak. Aku bisa ngatasin sendiri untuk ini, cukup doakan saja," pintanya dengan nada memohon.
Kafeel mengangguk, menuruti keinginan Amara. Memang seperti itulah sifatnya sejak dulu, selalu tidak tega jika Amara sudah memohon.
"Kalau mau kamu begitu, baik. Tapi kalau sewaktu-waktu om Rivky mau pindah kamar, kamu langsung hubungi aku, oke? Kita ini adalah keluarga, maka nggak ada salahnya kalau saling bantu."
Amara mengangguk. "Kak, kalau boleh saya minta tolong. Apa bisa kamu temani saya duduk di taman sebentar?"
Amara meminta Kafeel untuk menunggu. Dirinya kembali masuk untuk meminta izin pada sang bunda, dan mengatakan pada Amira untuk tetap menjaga ayah sampai dia kembali setelah bicara dengan Kefeel.
Mereka berdua duduk di tepi taman rumah sakit. Ada beberapa pengunjung dan pasien duduk di kursi roda, ditemani suster berada di sana. Mungkin di sore hari seperti ini waktu yang pas untuk mereka mencari angin.
"Mama bilang suruh sampaikan permintaan maaf, karena belum bisa datang jenguk ayah kamu. Beliau masih ada di Semarang hari ini."
"Nggak apa-apa, Kak."
Tiba-tiba Amara merasakan tubuhnya terasa dingin. Kepalanya keliyengan, perutnya seperti diaduk-aduk. Seketika ia membekap mulutnya, saat seperti ada yang ingin keluar, tapi ternyata tidak ada.
"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Kafeel merasa khawatir saat kini melihat wajah Amara pucat.
"Maaf, Kak. Aku selalu begini kalau kecapean." kembali menutup mulutnya saat rasa mual menerpa.
"Lebih baik kamu periksa ke dokter. Mumpung sekalian ada di rumah sakit."
Amara menggeleng, wajahnya memerah menahan sesuatu di tenggorokannya.
Kafeel sudah terbiasa sejak kecil, tidak bisa melihat semua ini. Untuk sejenak ia memejamkan mata kemudian membalik tubuhnya kembali menatap Amara.
"Nggak apa-apa gimana, sih? Wajah kamu merah, lebih baik periksa."
Membuat terkejut saat tiba-tiba Kafeel memijat tengkuknya. Rasa mual Amara seketika menghilang jika diperlukan seperti itu.
"Ini, bersihkan bibirmu." Memberikan sapu tangan miliknya. Sungguh sangat perhatian sekali dia, mantan calon suami.
Mungkin saja seandainya kalau Amara jadi menikah dengan Kafeel mungkin tidak memerlukan gula lagi di rumah mereka. Karena hidup mereka terlalu manis untuk dinikmati.
Namun sangat disayangkan kalau Amara harus mengatakan, dengan sangat berat hati kalau pernikahan ini batal! Tapi membuka mulut untuk mengatakan itu begitu berat.
"Terima kasih, kak." Amara mengambil sapu tangan itu kemudian membersihkan sudut bibirnya.
"Apa kamu tahu, Mara? Akhir-akhir ini saya lihat kamu seperti bukan Amara biasanya."
Amara menoleh pada lelaki yang duduk di sampingnya itu.
"Entah kenapa, aku merasa kamu sedang tidak baik-baik saja. Ada beban yang kamu sembunyikan, tapi tidak tahu itu apa."
Amara mengerjap menyelipkan rambutnya yang tergerai ke belakang telinga. Ia salah tingkah sendiri.
"Masa, sih, Kak?" Aduh, feeling Kafeel benar-benar kuat, bahkan sampai tahu tanpa dia cerita. Kalau Amara sedang banyak masalah.
"Nggak usah ngelak, udah jelas semua."
Ia sendiri merasa heran sebenarnya, sebab jika bicara panjang lebar membahas cerita tentang pekerjaan pada lelaki itu, bibirnya terasa ringan. Bahkan tanpa koma.
Namun, pada saat akan membahas ke arah pribadi, bibir Amara seperti terikat karet dobel-dobel. Seperti halnya kini. Kafeel memberi tahukan mengenai rencana-rencana konsep rumah tangga yang akan mereka jalani.
Dia juga mengatakan rumah yang akan menjadi hunian mereka sudah sembilan puluh sembilan persen selesai. Tidak hanya itu saja, ada sederet rentekan planning selangkah lagi bisa segera dieksekusi.
"Jangan terlalu banyak menyimpan harapan besar kepada hal yang belum pasti. Aku takut, kalau semua nggak terjadi kamu akan menjadi orang yang paling merugi," ucap Amara.
"Apa maksudmu, Amara?" tanya Kefeel.
Amara memajukan wajahnya, melebarkan matanya bulat-bulat melihat bayangan Arkha duduk bersandar di kursi taman langsung menghadap dirinya.
"Amara bisa jelaskan, apa maksud dari perkataanmu tadi?"
"Belum puas ya, orangnya selalu ganggu aku. Sekarang bayangannya datang." Amara mengucek-ucek matanya untuk benar-benar memastikan kalau melihat bayangan di hadapannya.
"Amara," panggil Kafeel sekali lagi.
Bayangan di hadapannya kini justru melambai sambil menggodanya. Sontak membuat Amara mengerutkan dahi.
"Apa kamu mengenal dia, Mara?" tanya Kefeel. Kali ini gadis itu langsung menoleh padanya.
"Apa kamu juga melihatnya, Kak?" tanyanya balik.
"Iya, bahkan jelas banget. Siapa dia?"
Itu tandanya berarti kalau yang dia lihat bukannya hantu? Atau bayangan halusinasi semata? Dia melainkan nyata! Arkha Williams, anak bapak Erick.
Apa yang ingin dia lakukan di tempat ini?
Bukankah saat terakhir kali bertemu tadi, Amara sudah meminta dengan sangat. Bahwa ia tidak ingin lagi bertemu dengan Arkha, meminta supaya mereka bersikap tidak saling mengenal.
Namun apa yang dia lakukan sekarang? Bahkan kini ia tersenyum maskulin, sambil melambaikan tangan yang berada di atas sandaran kursi.
"Apa dia temanmu?"
Bukan!
Dia musuh bagi Amara!
"Hai, apa kabar?"
Yang lebih menjengkelkan lagi, kini Arkha justru dengan berani datang dan menghampiri Kafeel. Bahkan mereka berdua kini saling adu kepal tangan. Membuat kepala Amara tiba-tiba kembali pening hanya melihat sambil memijat pangkal hidungnya.
"Gue adalah teman baik Amara, kenalin Arkha."
"Oh ya? Sejak kapan? Kenapa saya tidak tahu, kalau ternyata calon istri saya berteman dengan anak bapak Erick Williams."
"Lo tau gue?"
Kafeel menyunggingkan bibir sambil mengangguk. Lelaki memakai celana kain berwarna abu-abu dan kemeja biru muda digulung sampai suku itu mengangguk.
"Lagian siapa yang nggak kenal lo, Arkha cowok tampan putra satu-satunya dari bapak Erick."
Amara hanya menggeleng, saat mereka kini ternyata semakin akrab.
"Yang terkenal bapak gue, bukan guenya." Arkha terkekeh sambil sesekali melirik Amara.
"Aku masuk dulu, ya. Bunda nyariin."
"Iya nggak apa-apa," ucap kedua cowok itu secara bersamaan.
Setelah menatap beberapa saat, Amara mendengus samar. Kemudian meninggalkan mereka berdua. Karena jujur saja, perutnya terasa seperti di aduk-aduk kini. Berjalan menuju ke kamar rawat ayahnya saja bahkan rasanya seperti melayang-layang.
"Mbak, kata ayah, kamu dilarang masuk. Kalau masih tetap maksa, beliau akan minta pulang."
Badan Amara semakin lemas mendengar ucapan adiknya. Ini sangat menyiksa karena sang ayah masih merah padanya.