Episode 10: Kepergok Papi-Mami

1813 Kata
"Arkha!" "Arkha buka pintunya, Nak." Mendengar seruan dari kedua orang tuanya, bukan bangun justru Arkha semakin menarik selimut sampai atas kepalanya. Sudah hampir satu jam lamanya suara mereka mengusik tidurnya bahkan pintu kamarnya terus saja diketuk tanpa henti. "Papi hitung sampai dua, kalau nggak keluar Papi bakar kamar ini!" ancam sang Papi dari luar kamar. Arkha kini yang masih berantakan, rambutnya acak-acakan ke depan, tanpa mengenakan atasan hanya memakai celana pendek berwarna abu-abu. "Kha, buka pintunya, ada mami di sini," ucap yang tak lain adalah Maminya selalu bertutur lembut seperti parasamya yang begitu cantik. Karena mereka tak henti-hentinya memanggil, membuat telinga Arkha merasa panas, tidak tahan lagi. Segera menyingkap selimut untuk di kepala nanya dia beranjak duduk sambil menggerutu. "Satu!" Diiringi rasa malas, Arkha mengayunkan kaki untuk membuka pintu. Langkahnya sungguh berat seperti menarik jangkar, yang menempel di ranjangnya. Ia sendiri bingung sebenarnya, bahkan kedua orang tua bersikap seolah-olah ada hal yang penting. "Dua!" "Papi!" Mami berteriak seiring kedua telapak tangannya menutup bibirnya. Saat melihat secara bersamaan, Arkha membuka pintu dan Papi hendak mendobrak sudah mengangkat satu kaki. Arkha sendiri terkejut dibuatnya. Bukan karena akan ditendang oleh Papinya, tapi teriakan sang mami yang memekikkan telinga. "Pagi seperti ini, kalian mau apa, Pi, Mi?" Ia sangat tidak suka jika sedang tidur diganggu. "Arkha, Papi mau tanya satu hal sama kamu." Arkha mengerutkan dahi seiring alisnya yang terangkat. Melihat sang Papi berjalan masuk ke kamarnya diikuti oleh Mami. Yang menjadi perhatian cowok itu bukan mereka sebenarnya, tapi lebih condong ke kamera yang ada di tangan Papi. "Ah, bukankah itu kamera gue?" Arkha seketika membelalak saat mengingat ada banyak kebohongan di dalam sana. "Apa ini, Arkha?" "Mampos dah gue!" Arkha menepuk dahinya sendiri. Terlalu banyak dosa di dalam sana, jika Papi Erick membukanya pasti akan membawa bencana. "Oh iya, ini kameraku, lagi rusak mau dibenerin dulu." Arkha cepat-cepat ingin mengambilnya. Namun, sang Papi sudah terlanjur menyalakan benda di tangannya. Melihat satu persatu foto-foto yang disimpan dengan rapi. Membuat Arkha semakin panik, menjambak rambutnya sendiri. "Pi, udah kan? Sini, biar aku aja yang simpan." Suaranya begitu pelan. Selembut saat dia merayu cewek mengajaknya hiya-hiya di atas ranjang. "Papi sama Mami sudah lihat, Arkha. Siapa cewek itu?" tanya Mami. "Dia bukan siapa-siapa, Mi, Pi, cuma teman biasa," jawab Arkha. Sontak membuat sang Papi yang duduk di sofa mengerutkan dahi mendongak ke atas menatap Arkha. "Cuma teman tapi kalian seintens ini? Mau ngelak gimana pun, kamu nggak bisa, Arkha!" ucap Papi. Terlihat gurat rasa kecewa di wajah pria memakai pakaian berjas formal masih terlihat tampan meskipun berumur itu. "Umurmu itu sudah tambah matang, Arkha. Kuliah pun sampai enam tahun pun nggak jelas tujuannya. Seharusnya kamu itu mikir, bukan cuma senang-senang aja isi pikirannya." Arkha diam seribu bahasa tak berani menjawab. Memang itulah kelemahannya, meskipun selalu disegani oleh teman-temannya dia terlihat seperti kucing manis saat di rumah. Terlebih lagi, sang Papi adalah sumber penghidupan bagi dirinya. Semua fasilitas yang dia inginkan pasti terpenuhi. Jika sedikit saja dia mendengar penolakannya, dia tidak segan-segan untuk menutup akses jatah senang-senangnya. "Jangan diam aja, apa kamu pikir Papi nggak tau, kelakuanmu di luar gimana?" Mami Sita menatap putranya nanar. Bagi Arkha tidak ada yang lebih mengecewakan selain membuat Mami bersedih seperti kini. Itu sudah hal yang sangat menusuk dibanding omelan Papi Erick. "Maaf, Pi. Tapi... aku sama sekali nggak berniat buat bikin kalian malu." Hanya itu yang bisa Arkha katakan. "Siapa cewek itu? Di mana rumahnya? Siapa nama orang tuanya? Papi sama Mami akan datang untuk melamarnya. Kalian berdua harus langsung nikah." Seketika Arkha menahan napas beberapa saat, sambil menatap sang Papi. Matanya membulat tak berkedip. Kemudian cowok beralis tebal itu melihat ke arah mami. Sama seperti halnya dirinya, mami juga terkejut atas apa yang dikatakan oleh papi. "Kamu serius, Pi?" tanya Mami Sita sambil menoleh pada suaminya, seiring mata yang mengerjap. "Melamar?" timpal Arkha. Ini sangat konyol, tidak mungkin ia menikah dengan Amara gadis kerempeng kurus kurang gizi itu. "Kalau kita biarkan, kelakuan dia akan semakin jadi, Sayang. Maka kita harus nikahkan mereka, dengan begitu lambat laut, Arkha akan tahu artinya bertanggungjawab." Arkha berdiri satu tangan berkacak pinggang, sedangkan tangan satu lagi mengusap tengkuknya. Ia terlihat frustasi mendengar kalimat sang papi. "Benar yang dibilang papi, Kha. Mungkin dengan cara ini kamu akan jadi pribadi yang matang dan bertanggung jawab." Lebih mengejutkan lagi kini Mami juga ikut setuju atas rencana Papi. Tahu sendiri, kalau Arkha sama sekali tidak pernah bisa menolak keinginan wanita yang sangat dia sayangi itu. "Papi sama mami nggak mau penolakan ya, biar kamu dan cewek itu tau rasanya, berani berbuat maka harus berani serius!" ucap Papi semakin menambah tingkat stress Arkha kian meningkat. "Tapi Pi, apa nggak ada jalan lain?" "Ada. Kamu dicoret dari daftar ahli waris, semua harta Papi akan dilimpahkan ke badan amal." Tampaknya sebagai orang tua, papi Erick tidak ingin kalau hasil jeri payahnya dihamburkan begitu saja untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. "Udah deh, Kha, nikah aja, dari pada hidupmu ribet gitu," imbuh Mami. Duh, Arkha hanya memijat pelipisnya. Ia tak tahu lagi harus berkata dan berbuat bagaimana. Sudah sejak lama orang tuanya meminta dirinya untuk menikah, tapi baru kali ini disertai ancaman yang memilukan. Suasana dalam kamar itu, kini menjadi senyap, hawa dingin dari AC terasa mengigit tubuh Arkha yang kini tampa mengenakan kaos. Tidak lama berselang suara ketukan pintu kamar membuat mereka semua menoleh secara bersamaan. Arkha yang berada tak jauh dari sana segera membukakan, ternyata ialah asisten rumah tangganya yang bernama Sarmilah. "Ada apa, Sarmilah?" tanyanya. Wanita di depannya itu memang lebih tua darinya, bahkan merawat sejak kecil. Namun, kebiasaan memanggil dengan sebutan nama sudah mendarah daging. Jadi semua orang tidak heran mendengarnya. "Itu di depan ada tamu, nyari aden Arkha, katanya." "Siapa, Bik?" Mami langsung beranjak disusul oleh papi sekaligus menghampiri asisten rumah tangga tersebut. "Saya nggak tau, Bu. Dia cewek cantik, langsing, berambut panjang," jawab Sarmilah. "Pakai baju putih panjang juga?" tanya mami lagi. Sarmilah langsung menggeleng. "Kalau itu mah, kunti, Sayang," sergah Papi. Tidak ingin terlalu lama penasaran mereka semua keluar secara bersama-sama untuk melihat siapa yang datang. Arkha berjalan gontai mengikuti di belakang masih berpenampilan seperti sebelumnya, rambut berantakan dan tanpa memakai atasan. "Palingan cewek yang kemarin itu, Mi... sudah jelas-jelas mau nipu kita, dengan cara mengaku sudah mengandung anak aku," ucap Arkha. "Bukan deh kayaknya. Soalnya dia tadi malam sudah minta maaf sama mami dan papi, bahkan ngaku kalau dia cuma disuruh sama orang biar dapat uang dari kita," balas Mami. Seiring langkah kaki yang terus saja mengayun mengikuti suaminya yang mengenakan kaca mata itu berjalan keluar. "Makanya harus hati-hati, den... jangan asal menanam benih sembarangan. Kalau dimanfaatkan orang kayak gitu kan, kasian Ibu sama Bapak," ucap Sarmilah. Arkha hanya melirik kesal ke arah wanita pengasuhnya dari kecil itu. "Tapi saya yakin, kalau cewek yang di depan itu punya tujuan yang sama deh, Bu. Kalian harus berhati-hati, siapa tau cuma modus penipuan." Sarmilah membuka kunci kemudian menarik handle pintu. Arkha juga penasaran, siapa cewek yang berani datang ke rumahnya? Saat pintu terbuka semua orang terdiam, saat melihat gadis senyum sumringah, surai panjangnya dikuncir satu di belakang, berdiri memegang paper bag, masih terlihat polos tanpa mengenali make up tebal di wajahnya. "Amara?" Setelah menatap tak berkedip ke arah gadis itu kemudian kedua orang tua Arkha saling menatap satu sama lain. Sedangkan Amara berdiri canggung menarik kedua sudut bibirnya. Menundukkan kepala sambil tersenyum ramah pada mereka berdua. Arkha kembali mengusap wajahnya. Entah bagaimana Amara bisa sampai ke rumah ini dalam waktu tidak tepat. Dengan kehadirannya secara tidak langsung berarti membuat dugaan sang Papi benar, kalau mereka sedang memiliki hubungan lebih sekedar teman. * Amara duduk seperti sebuah boneka, tanpa bergerak ia hanya melirik ke kanan dan kiri memperhatikan Mami Sita bersama Sarmilah sedang menyiapkan makanan. Raut wajah gadis itu tampak bingung, terlihat dari dahinya yang sejak tadi mengkerut. "Ini namanya lo bunuh diri dengan cara memasukkan tubuh ke dalam jurang. Makanya, terperosok ya terperosok sekalian. Udah terlanjur mereka tau," ucap Arkha seraya berbisik saat Papi datang ia bersikap tidak mengatakan apa-apa. "Siapa namamu tadi?" "Amara Om," jawab Amara canggung. Bagiamana tidak canggung, ia berada di tengah-tengah keluarga yang terkenal kaya di kota ini. "Oh iya, Amara. Di mana kamu tinggal?" "Tebet, Om." "Nggak jauh dari sini ternyata." Papi Erick manggut-manggut mengerti. Kemudian menyesap kopi di hadapannya. Bahkan kini Amara tidak berani mengakat wajahnya tegak, saat Papi Arkha yang sangat berwibawa itu mengajak bicara. Setelah terlontarnya pertanyaan baru saja, kini suasana kembali canggung. Amara tidak menyangka jika akan terjebak dalam situasi sekarang. Padahal niatnya datang ke mari hanya untuk mengembalikan handphone yang diberikan padanya. Gara-gara benda itu, Amara harus membuat sang Ayah semakin marah padanya, padahal sebelumnya terlihat hampir saja memaafkannya. Akan tetapi saat ia membawa barang mahal, sontak membuat kepala keluarganya itu curiga. Setelah setengah hari mencari-cari informasi mengenai alamt Arkha akhirnya kini Amara bisa sampai ke rumah cowok itu. Begitu besar, bergaya modern, warna pun elegan berada di dalam rumah itu begitu terasa dingin, dari segi suasana mau pun aura. Sama seperti rumahnya. Amara melirik ke arah Arkha dengan ekor matanya. Jika kedua orang tuanya sangat baik, kenapa anaknya urakan seperti itu? Bahkan tidak memiliki belas kasihan pada siapa pun. Ia tekjub melihat kebersamaan kedua orang tua Arkha. Meskipun sudah berusia tidak muda masih terlihat harmonis, seperti pengantin baru saja menikah. "Mungkin, kalau seandainya gue menikah sama Kak Kafeel, pasti kami akan seperti mereka. Sesosok lelaki dewasa bertanggung jawab. Sangat beda dari Arkha yang urakan itu," batin Amara sambil melihat kedua orang tua Arkha yang duduk berdampingan. Kemudian ia kembali sakit perut saat menoleh pada Arkha berada di sampingnya. Entah kenapa, tiap kali melihat wajah cowok itu, ia seperti sedang diingatkan tentang mala petaka malam itu. "Amara, kamu harus cobain kue cucur ini, aku sengaja menghabiskan weekend untuk memasak ini semua. Ayo dimakan, nggak usah malu-malu," ucap Mami Sita. Amara memakan kue cucur berwarna cokelat terbuat dari gula merah itu. Rasanya sama seperti kue yang dibeli oleh Bunda kertika dari pasar. "Saya benar-benar salut sama Tante, di saat semua ada, dan nggak kekurangan satu apa pun, bahkan bisa membeli makanan mahal sekali untuk makan satu kali. Tapi... Tante, masih membuat kue cucur yang mana sekarang sangat sulit dijumpai di rumah-rumah besar," ucap Amara sambil tersenyum. "Ya nggak apa-apa sesekali, Amara. Lagian mami malas banget mau ke pasar, makanya bikin sendiri. Lain kali, sepertinya, kita berdua harus masak bersama?" "Dia itu sudah biasa masakin kalau ada hajatan di kompleknya. Jadi soal masak, nggak diragukan lagi," sahut Arkha tanpa dosa telah membuat gadis di sampingnya merasa kesal. Namun, pada saat tatapan kedua orang tua Arkha mengarah padanya, dengan terpaksa ia tersenyum. Walau sebenarnya ingin menjambak rambut cowok itu. "Emang benar, Amara?" tanya Mami Sita. "Nggak bener, Tante. Saya sehari-harinya bekerja sebagai asisten Dokter Nessa, di klinik kecantikan. Jadi mana sempat saya bantu orang hajatan," jawab Amara. "Kamu ini ada-ada aja, Arkha. Calon istri kerja di klinik kok, dibilang tukang masak hajatan. Ayo makan lagi, habiskan jangan sampai ada sisa," ucap Mami Sita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN