Episode 8: Semua Hambar

1509 Kata
Bab 8 Huh, Amara sudah biasa naik motor matic kesayangannya. Bahkan sudah hampir seluruh jalanan Jakarta ia lalui, akan tetapi kali sangat berbeda. Biasanya ia selalu mengutamakan keselamatan dengan cara menggunakan helm berlebel SNI bahkan ke mana pun. Tapi baru saja Arkha mengajaknya seperti sedang bermain sirkuit, tanpa mengenakan helm bahkan cowok itu berani membawanya, menembus jalanan Ibu kota. Sungguh perilaku yang sangat tidak patut contoh untuk siapapun. Amara dibuat berdiri keliyengan ketika motor berwarna biru itu berhenti di halaman sebuah gerai selular. Bahkan ia tak tega melihat cerminan dirinya sendiri dari kaca mobil orang yang sedang parkir di samping motor Arkha. Rambutnya kini acak-acakan ada sebagian berdiri dan sebagian lagi menutupi separuh wajahnya. Ia sangat mirip seperti singa betina kini. "Lo mirip singa betina." Tuh kan! Arkha memang benar, ia bahkan malu melihat pantulan dirinya sendiri. "Semua ini gara-gara lo! Kalau aja nggak maksa naik motor, gue nggak akan seperti ini kan, kejadiannya?!" "Lain kali gue ajak lo naik mobil." "Ya kalau kita ketemu lagi, kalau nggak?" tanya Amara dengan nada sewot. "Ya udah lo rapikan rambut aja dulu, habis itu kita masuk ke dalam. Sudah malam takut keburu tutup." "Elo aja masuk sana! Lagian siapa yang mau ke sana?" gerutu Amara sambil menyisir rambutnya dengan tangan. Ia menunduk mengaca di samping mobil orang. "Sini gue bantuin." Arkha menarik rambutnya untuk membantu. Amara dengan cepat menepis tangan cowok itu. "Nggak usah, gue bisa sendiri! Kalau mau masuk, masuk sana! Gue mau pulang," ucapnya. Amara begitu pening bertemu dengan Arkha walau hanya sebentar saja. Jika ia berada di sampingnya beberapa saat lagi mungkin akan gila dibuatnya. Oleh sebab itu ia harus segera pergi, tidak ada gunanya jika terus saja ada di sana. "Lo mau ke mana?" "Sudah kubilang, mau pulang, kan?" jawab Amara dengan enggan menatap. "Lo boleh pulang, tapi ikuti gue dulu." Arkha menarik tangan Amara dengan kasar sehingga membuat gadis itu tersentak dan terpaksa mengikuti jalan di belakangnya. "Selamat datang, di konter kami... ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya pramuniaga perempuan memakai rok pendek di atas lutut, kemeja putih dan kalung id cards menggantung di lehernya. Arkha melihat dengan tatapan nakal, bagian atas parasnya yang begitu cantik memakai riasan tebal ala penyanyi, rambut pirangnya bergelombang curly. Tatapan cowok itu berpindah ke bawah melihat ke arah kaki yang dibalut sepatu hak tinggi membuat berdirinya semakin tegak. "Dasar mata keranjang, nggak bisa lihat yang bening dikit aja langsung terpesona. Mungkin kalau kambing dibedakin, dia sosor juga kali." "Mbak, Mas, ada yang bisa kami bantu?" tanya perempuan itu ulang lagi dengan amat sangat ramah. Amara hanya melirik ke samping menunggu jawaban Arkha sambil berdehem. "Ehem!" "Gue cari HP merek terbagus keluaran terbaru." Arkha berjalan dengan jenaka masuk ke dalam toko. Ia duduk di depan meja etalase sambil meletakkan satu tangannya di atas etalase kaca. Lihat, betapa sok nya dia. Merasa paling berkuasa di mana-mana seolah-olah semua adalah milik ayahnya. "Lo jangan diam aja, pilih kalau ada yang elo suka ambil aja, masalah p********n jangan khawatir, kalau perlu apa mau beliin buat Papa, atau mama lo mungkin. Atau orang-orang sekampung?" Tawaran Arkha tidak lebih berharga dari apa yang dia ambil ketika di Bali. Kalau saja Amara bisa meminta ia akan meminta miliknya yang telah hilang, dari pada ini semua. Tidak lama berselang, seorang pegawai konter datang membawa kotak smartphone berlogo apel digigit bagian belakang. Tampa melihat isi keseluruhan dan bertanya harganya, Arkha langsung merogoh saku celuana untuk mengambil dompet berwarna coklat. Bukan hanya Amara saja, bahkan pegawai konter itu pun ikut terperangah heran. Sebab kartu berwarna hitam berada di hadapannya. "Mas, ini langsung mau beli? Sudah yakin?" Amara juga merasa heran, membeli handphone dengan harga tiga puluh juta Arkha sama seperti membeli sebutir telur di warung. Membuat gadis itu yang hanya bekerja menjadi asisten dokter di klinik dengan gaji hanya empat juta menggelengkan kepala. Mungkin kalau ia memiliki uang segitu tidak akan membeli barang-barang elektronik seperti ini, malainkan untuk modal usaha supaya lebih maju. Setelah Arkha mengangguk kedua karyawan konter langsung memproses p********n. Amara melirik kesal sambil bersidekap. Ia rasa waktunya sangat habis sia-sia karena sudah berdiri di sini menemani cowok itu untuk menghamburkan uang. "Ini buat lo." Tiba-tiba Amara tersentak saat Arkha menyodorkan paper bag berisikan sebuah ponsel berwarna silver berikut kotaknya. Sontak membuat Amara menaikkan sebelah alisnya bingung. "Buat gue?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Iyalah, masa buat janda sebelah rumah lo." Amara membulatkan mata. "Gimana bisa tau, kalau di sebelah rumah gue ada janda? Oh... lo pasti punya hubungan sama dia, ya?" Arkha memutar netra seiring alis tebalnya yang bertaut. Sebenarnya dia sendiri tidak tahu kalau di sebelah rumah Amara ada janda. "Gimana bisa tau, sedang lihat rumah lo aja nggak pernah," elaknya. "Ya udah, cepetan ambil ini, nggak usah pura-pura nggak mau, padahal aslinya seneng." Arkha menarik tangan Amara lalu meletakkan paper bag kecil itu ke telapak tangan. "Clear ya, gue udah ganti hp lo, jangan ungkit-ungkit lagi. Dan soal rahasia kita, pastikan nggak ada satu orang pun yang tahu, kalau lo sampai macam-macam kita lihat aja apa yang terjadi." Setelah berujar Arkha menyeringai detik berikutnya meninggalkan Amara. Benar-benar menjengkelkan cowok itu, sangat tinggi hati dan menggunakan ancaman yang hanya itu saja! Amara memperhatikan kotak ponsel di dalam tas. Ia rasa tidak perlu menerima barang apa pun dari laki-laki itu sebab ia punya firasat akan membawa kesialan baginya. Amara membalik tubuh akan mengembalikan barang tersebut pada Arkha. Atau kalau tidak, mungkin ia akan meminta ganti handphone yang satu tipe seperti miliknya yang telah pecah. "Eh, tunggu, mau ke mana lo!" Amara ternyata terlambat. Arkha sudah melajukan motornya untuk meninggalkan halaman toko. Amara hanya bisa memandangi halaman sambil mengusap dahinya. Mengangkat tas, ia bingung harus diapakan barang itu. "Mbak, kalau misal barangnya aku kembalikan lagi, bis?" tanya Amara ragu sambil mengigit bibir bawahnya. "Bisa. Apa mau dikembalikan?" tanya resepsionis. Amara mengangguk, ia rasa ini adalah jalan terbaik. Setelah mendapatkan uang ia akan membeli handphone seharga dua juta seperti miliknya yang baru saja dia beli pagi tadi. Kemudian Amara akan mengembalikan sisa uangnya pada Arkha. Dengan begitu akan impas. "Bisa tunjukkan kwitansi pembelinya?" tanya Resepsionis. Amara mengangguk sambil sibuk mencari kwitansi dari dalam paper bagnya. Namun, tampaknya barang yang dia cari tidak ada. Ia bahkan sudah mencari cari sampai di dalam kotak. Akan tetapi tetap tidak ada. Pasti Arkha sengaja membawanya. "Gimana, Mbak?" tanya pegawai konter itu yang sejak tadi menunggu. "Hem... kalau nggak ada kwitansi gimana?" tanya Amara. "Maaf, prosedur pengembalian harus dilengkapi dengan kwitansi. Maka kalau tidak ada bukti tersebut kami tidak bisa menerima, sekali lagi maaf. Tapi kalau misal kamu mau ambil kwitansi dari suaminya kami masih ada waktu lima belas menit sebelum tutup." Amara berpikir ulang, akan semakin runyam jika ia mencari Arkha yang tak jelas keberadaannya. "Maaf, nggak jadi. Mungkin besok dia yang akan mengembalikan sendiri. Makasih ya." Setelah berbicara Amara meninggalkan lokasi. *** Amara pulang ke rumah semua begitu berbeda, suasana menjadi canggung. Saat ia membuka pintu utama. Sang Bunda sedang sibuk membereskan makanan, sedangkan si adik, Amira, masih menikmati makanan di atas meja makan. "Assalamu'alaikum," ucap Amara. "Waalaikumsalam...." jawab mereka berdua secara bersamaan. Sambil melanjutkan aktivitasnya masing-masing. "Darimana, Mbak.... jam segini baru pulang?" tanya Amira melirik ke arah Amara yang sedang mencium punggung tangan Bunda. Sedangkan Bunda menatapnya pias seiring curiga pada barang yang dibawa oleh Amara. "Gimana? Sudah ngomong sama Kafeel? Apa reaksi dia, marah?" hardik Bunda. Membuat Amara menunduk sambil menggelengkan kepala. "Gelengnya arti apa? Marah atau nggak?" tanya Bunda. Kemudian meninggalkan Amara untuk ke meja makan membersihkan sisa-sisa piring kotor. Amara meletakkan paper bag ke atas meja, menjadi pusat perhatian sang Bunda beserta Amira. Namun, meskipun mereka terlihat ingin tahu memilih tidak bertanya. "Ayah di mana, Bun?" tanya Amara menoleh ke arah ruang depan televisi. Biasanya ada di sana, menunggu dirinya pulang kuliah atau kerja sampai malam. "Bunda nggak yakin, kalau Kafeel nerima keputusanmu begitu saja. Kamu nggak tau, gimana persiapan pernikahan ini, berapa besar biaya, dan ada nama keluarga yang siap hancur gara-gara kamu?" "Mbak, apa ini nggak bisa dipikirkan baik-baik? Sayang banget, loh. Pernikahan sudah di depan mata." Amira yang mendengarkan perbincangan mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak berkata-kata. "Diam kamu, Mir. Urusan ini biar Bunda yang bicara, urusan kamu itu kuliah yang bener, jangan pacaran, fokus capai cita-citamu." Amara menatap Amira yang tertunduk menurut. Dia tahu, kalau kata-kata yang diucapkan oleh Bundanya bertujuan untuknya bukan Amira. Sebagai mana dia ketahui bahwa adiknya itu tak pernah mengecewakan kedua orangtuanya. Selalu menurut, tidak seperti dirinya. "Gimana Kefeel?" tanya Bunda. Perempuan itu tidak pernah terlihat marah biasanya, akan tetapi kini Amara tahu, ini adalah fase marah level paling tinggi dari sang bunda. "Aku belum bilang ke mas Kafeel, Bun. Aku terlalu takut," ucap Amara. "Kalau kamu punya rasa takut seharusnya mikir sebelum memutuskan semua ini. Darah tinggi Ayahmu langsung kambuh, dari kemarin dia sama sekali tidak makan. Seneng kamu lihat kayak gitu?" "Mbak, apa cowok yang tadi aku lihat goncangin kamu naik motor, yang buat kamu mutusin rencana pernikahan ini?" tanya Amira. Sontak membuat Amara dan sang Bunda menoleh ke arahnya. Amara seketika gelagapan sambil mengerjap saat kini tatapan tajam bunda mengarah padanya. "Siapa yang Amira maksud?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN