Episode 12: Terkana Bunga Janda Gatel

1757 Kata
“Ada apa ini?” Papi Erick datang dengan berwibawa satu tangan masuk ke kantong celana berjalan menghampiri mereka. “Apa kalian nggak ada tempat lain yang bisa digunakan untuk pacaran?” Menatap Arkha dan Amara yang kini menunduk malu. Amara maju sengaja menginjak kaki Arkha sehingga membuatnya meringis kesaksian. "Gara-gara situ, papi kamu mikir aneh-aneh tentang kita. Sekarang jelasin gih, kalau kita nggak ngapa-ngapain," bisik Amara. Arkha tersenyum, entah apa artinya. Tapi yang pasti membuat perasaan Amara tidak enak. "Lo ini, suka lucu. Gimana bisa nyuruh gue bohong sama Papi kalau kita nggak lagi-lagi ngapa-ngapain. Lo nggak usah takut, Mara. Walau pun kelihatannya galak tapi hatinya oren kayak matahari kok. Jadi nggak apa-apa kalau kita mesraan di sini juga, yakan, Pi?” Arkha menaik turunkan alisnya ke arah Papi Erick. Dasar anak tidak sopan! Amara membulatkan mata tapi diam membiarkan cowok itu berbicara apa yang dia inginkan. “Amara ini malu-malu, Pi. Dia nggak biasa kalau sedang mesra-mesraan dilihat sama orang lain.” Amara sudah tidak bisa lagi menahan rasa kesalnya, ia menggeser sedikit tubuhnya dekat dengan Arkha kemudian jari jemarinya mendarat di pinggang cowok itu, sehingga muncul ringisan yang membuatnya merasa sedikt puas. “Kalau mau fitnah coba pakai hati, tuan muda….” Desis Amara di balik giginya yang saling magatup. "Nggak, om, kami memang nggak lagi ngapa-ngapain. Jadi jangan salah paham, hehehe." Papi Erick terkekeh, tanpa menunggu waktu lama lagi, dan tidak bicara, ia berbalik melangkah keluar dari area balkon, tidak ada gunanya lama-lama dengan mereka. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, tanpa berbalik ia menghentikan langkah seraya berkata. “Oh iya, kalian rencana acara pernikahan mau diadakan minggu ini atau bulan ini?” Amara dan Arkha saling menatap seiring netra yang tak berkedip. Bukankah tidak ada bedanya antara Minggu ini atau bulan ini? Walau pun berjarak pun tak begitu jauh. Amara refleks menggeleng, tetapi detik berikutnya tangan kekar Arkha melingkar di pingganya merengkuh begitu kuat, sehingga membuat tubuhnya menempel. “Kami berdua terserah kalian aja, Pi. Kapan pun harinya, pasti akan siap.” Amara menoleh seiring tatapan yang menajam, mengatupkan gigi. Bagaimana bisa Arkha berbicara seperti sedangkan mereka tidak memiliki hubungan apa pun. Kemudian Arkha menatapnya dengan senyum maskulin mencoba menguji kesabarannya. “Benar, kan, Sayang?” Aduh, semakin ngelantur saja anak Bapak Erick ini, membuat Amara gemes ingin rasanya mencubit ari-arinya. Enak saja main setuju-setuju, mau nikah kapan pun keluarganya menentukan. Apa dia tidak memikirkan perasaannya? Bapak Erick pun sama, bahkan setelah mendengarkan jawaban putra semata wayangnya itu langsung mendiskusikan dengan istrinya. Amara begitu pusing dibuat oleh keluarga mereka ini. Mereka ingin menuntaskan hal ini sekarang juga, untuk mengelak atau menolak Amara sudah tidak bisa lagi sebab kedua orang tua Arkha itu sudah melihat foto-foto tak serohoh dirinya dan Arkha. Ditambah alasan mumpung ada waktu karena selama ini mereka selalu sibuk di luar rumah membuat Mami Sita menggebu-gebu seperti sudah tidak sabar ingin mantu secepatnya. “Arkha, Amara, kalian harus baik-baik ya, rundingkan apa yang kurang buat hari pernikahan kalian. Papi sama Mami ada urusan luar kota tiga hari baru pulang. Orang WO akan datang menemui kalian besok, sampai jumpa lagi di hari berikutnya, sayang.” Mami Sita melambai ke belakang sambil menggandeng suaminya berjalan keluar. akhirnya setelah berjam-jam lamanya mereka berdiskusi sampai membuat b****g Amara merasa panas selesai. Ia sejak tadi telah menjadi patung hidup tanpa bergerak atau pun bicara begitu syok mendengar perbincangan keluarga ini. “Gue udah kembalikan hpnya, ya, nggak ada urusan lagi. kuharap setelah ini kita nggak ketemu, karena semakin gue ketemu sama lo, semakin banyak masalah menimpa dalam hidup. Anggap aja kita nggak kenal selama ini, kalau misal di jalan lo lihat gue, jangan pernah panggil pokoknya, karena gue nggak akan nyaut!” Arkha menaikkan sebelah alisnya, menatap bibir tipis merah ke pink merona milik Amara. Bahkan pandangan cowok itu berpusat di sana sehingga membuat Amara memegangi bibirnya sendiri takut jika ada sisa roti yang baru saja dia makan. Namun ternyata tidak ada, ini pasti karena murni dalam hal kemesuman dari otak kotor Arkha. "Lo, ngerti, kan, apa yang baru saja gue katakan?" Hanya menyunggingkan bibirnya sedikit. Dia tidak berkata apa-apa lagi. "Baguslah, kalau ngerti, seenggaknya gue bisa bernapas dengan tenang tanpa kenal lo." Amara mengambil tas warna coklatnya. Menggantung di pundak bersiap-siap akan pulang. Arkha menyalakan batang rokok berwarna putih, sambil menyandarkan kepala ke sandaran sofa ia menatap Amara yang berjalan menuju keluar. Entah apa yang sedang dia pikirkan, tanpa berkata-kata. Sibuk menghembuskan asap mengepul dari bibir kecokelatan itu, kemudian menaikkan kedua kakinya ke atas meja. "Sarmilah... ambilkan kunci mobil di dalam kamar!" teriaknya memerintah Sarmilah. Amara yang memilih tidak peduli terus saja berjalan membuka pintu. Namun, gadis itu dibuat bingung saat mendapati benda di hadapannya tidak mau bergerak. "Dikunci? Bukannya kedua orang tua Arkha baru saja lewat sini? Apa ini artinya mereka mengunci kami dari luar?" gumamnya sambil menggerutu. Kalau begitu, berarti Amara harus mundur dan kembali pada Arkha. Meminta untuk dibukakan pintu supaya dia segera pulang, sebab harus pergi ke rumah sakit untuk menggantikan Bunda untuk menjaga ayahnya. Dengan perasaan malas, Amara memutar badan. Namun sedetik berikutnya tiba-tiba ia menabrak tubuh keras milk Arkha. "Kenapa lo nggak kasih tau, kalau pintunya dikunci? Sekarang mana kuncinya, tolong bukain, gue mau keluar," ucap Amara sambil menggeleng ke arah pintu. "Siapa yang suruh lo keluar lewat situ? Itu rusak, kadang bisa dibuka kadang nggak. Sesuai mood pemilik rumah," ujar Arkha. "Terus, gue lewat mana?" "Pintu belakang, minta tunjukkin sama Sarmilah. Nanti akan tau, dia lagi di meja makan, tu." Tidak mau menunggu lama, Amara langsung menghampiri Sarmilah yang sedang membereskan meja makan sisa mereka semua makan tadi. "Bik, antari saya keluar lewat pintu belakang, bisa?" Ada kerutan kebingungan di garis wajah wanita itu. Disusul sebuah anggukan kemudian. "Bisa, ayo saya antar." Sarmilah berjalan di depan lebih dulu menunjukkan jalan melewati dapur. Rumah Arkha sangat mewah bergaya modern ditata cukup rapi. Amara sampai mendongak ke atas begitu takjub melihat kemegahannya. Lampu-lampu kristal menggantung di tengah ruangan. "Di rumah ini setiap hari, memang sepi banget seperti ini, ya, Bik?" tanya Amara. Netra bening berbulu lentik itu mengelilingi sekeliling yang ia lalui. "Hari ini masih mending, Neng, ada Tuan dan nyonya di rumah. Den Arkha juga ada. Dari pada hari-hari sebelumnya, mereka semua selalu nggak ada di rumah, Bibi sama keponakan aja yang di ada." Amara menggangguk-angguk paham. Pantas saja jika selama ini Arkha selalu berada di luar untuk mencari kesenangan. Tampaknya itu semua karena dia pasti merasa kesepian. Namun, prasangka buruk Amara berkelebat. Tidak mungkin kalau Arkha tidak pernah membawa cewek datang kemari. Terlebih lagi, rumah dalam keadaan sepi. Mungkin saja hampir setiap hari cowok itu berganti-ganti pasangan, seperti menurut rumor yang dia dengar. "Aden Arkha itu lebih senang pulang ka apartemennya sendiri, dibandingkan pulang ke rumah. Kalau pulang pun paling pas Tuan dan nyonya di rumah akhir pekan." Bik Sarmilah mengambil kunci dari atas kulkas kemudian menggunakan untuk membuka pintu coklat terbuat dari kayu jati. Amara kembali terkesima sebelum keluar, ia memperhatikan sudut dapur. Marmer berwarna hitam bercorak putih membuat dapur semakin terlihat elegan. Bahkan kompornya begitu bening tidak ada tanda-tanda bekas memasak sama sekali. "Silahkan, Neng. Bisa lewat sebelah sini, tapi motor kamu ada di halaman ya, berarti harus lewat taman, belok kiri awas harus hati-hati di situ ada tanaman janda gatel kalau kataku. Tapi Nyonya bilang katanya ranunculus, kalau kena bisa gatel kulitnya, jadi pelan-pelan kalau jalan." Amara mengangguk mengerti, kemudian mengikuti arahan bik Sarmilah. Melewati jalanan kecil khusus taman. Di pinggir-pinggirnya terdapat banyak bunga warna-warni di dalam pot. Membuat gadis itu tertarik untuk menyentuhnya. "Mungkin kalau aku metik satu atau dua nggak apa-apa kali, ya? Lagian Ibuk Sita sama Bapak Erick kan baik." Amara berjongkok kemudian memetik bunga yang mekar dua tangkai. Setelah mendapatkan, Amara mengela napas, menghirup aroma dalam-dalam sambil memegang bunga satu lagi. Kemudian melanjutkan langkahnya untuk ke halaman depan rumah. Ia mengerjap cepat, saat melihat Arkha berdiri di samping mobil. Cowok memakai kaos hitam, celana jeans biru, sepatu putih itu, sangat keterlaluan! Bagaimana bisa, menyuruhnya berputar lewat pintu belakang sedangkan dia bisa lewat depan. "Lo tunggu aja di apartemen, sebentar lagi gue akan ke sana. Tenangkan diri dulu, di kulkas ada minuman lo minum aja," ucap Arkha kepada seseorang di dalam telepon. Memegangi satu bunga, Amara mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya. Ia sudah tidak tahan ingin mengguncang tubuh Arkha sampai pingsan. Sambil menelepon bahkan cowok itu begitu santai menatapnya. Senyum-senyum sendiri dengan benda di telinganya. Amara ingin menghampirinya, tapi tak lama berselang ia merasakan gelanyar aneh menjalari kulit lengannya. Setelah beberapa detik Amara memilih untuk mengabaikannya. "Iya, lo pakai aja, besok pagi kita akan membeli yang baru," ucap Arkha sambil terus saja memperhatikan gelagat Amara yang aneh. "Besok kalau beli sabun, sekalian belikan gue skincare, ya? Udah habis ini tinggal satu kali pakai," ucap Anggita dengan suara mesra dan lembut dari seberang sana. Sedangkan Amara terlihat semakin sibuk menggaruk kulit tangannya sambil meringis. "Ke sini cepat, aku udah siapin semua ini." "Sabar, ini baru mau otw... udah nggak tahan, ya?" Arkha bertanya pada Anggita tapi menatap Amara yang tampak enggan mendengarkan pembicaraannya. "Gita, lo tau nggak, bedanya rumah sama lo?" Amara seketika menjulurkan lidah ingin muntah, tapi tidak menutup kemungkinan ia akan semakin mengalami gatal luar biasa saat ini. Jadi ia memilih lebih baik. "Aduh, ini kok gatel banget, sih, kulit gue...." "Lo, kenapa?" tanya Arkha menutup handphonenya sementara. Sebab suara seorang perempuan masih terdengar dari seberang sana. "Tau, nih. Tiba-tiba tangan gue gatel banget." Amara memeriksa kedua lengannya. Kemudian Arkha menatap bunga yang berada di bawah kaki Amara. Ia tahu apa itu, efek dan manfaatnya. "Kamu petik bunga itu?" tangannya. Amara mengangguk, bahkan kini pergelangan tangannya merah, memar karena terus saja di garuk. Mengingat waktunya tidak lama sebentar lagi akan sore, Amara memilih membawa rasa gatalnya itu untuk pergi dari sana. Akan tetapi tiba-tiba Arkha melarangnya. "Ikut gue, Mami punya salep buat nyembuhin ruam itu." Dengan gaya maskulin cowok itu begitu terlihat tampan menurut Amara. Sayang sekali sifat tidak mencerminkan rupa. Selain bergelimang harta, Arkha juga memakai ketampanannya untuk memikat gadis gadis di luaran sana. "Nggak perlu, Deh. Lagi pula habis ini gue akan pergi ke rumah sakit, Mungkin bisa minta resep dokter untuk menyembuhkan alergi ini." "Nggak usah mbantah. Lo mau di sepanjang perjalanan garuk-garuk nggak jelas, sambil menunggu dikira orang elo gue apa-apain lagi, soalnya keluarnya dari sini." "Tapi gatalnya ini nggak seberapa, dibandingkan dengan rasa bersalahku pada kedua orangtuaku.Gara-gara lo!" "Udah ikut aja, gue nggak akan makan lo, sebelum kita menikah," ujar Arkha berjalan di depan Amara sambil menggandeng tangannya. "Lain kali lo hati-hati jangan asal comot aja kalau lihat bunga," omel Arkha terus saja menarik tangan Amara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN