Sore ini, setelah menyiapkan menu buka puasa untuk ibunya, Ainun langsung mandi dan shalat Ashar. Ia harus ke masjid. Ini hari pertama buka puasa bersama di masjid. Dan ia sebagai salah satu panitia konsumsi sudah harus hadir di sana sebelum makanan itu diantarkan.
Gegas ia memasukkan mukena dan barang-barang keperluannya lalu ia pamit pada ibunya. Ada rasa sedih juga ia meninggalkan sang ibu berbuka seorang diri karena ia dan abangnya punya tanggung jawab yang diamanahkan di masjid.
"Mak, loen jak dile, beh," pamit Ainun seraya mencium tangan ibunya. "Assalamu'alaikum...."
"Wa'alaikumussalam, beu leuheun-leuheun ba honda bak jalan," pesan Hanum pada anak gadisnya untuk berhati-hati membawa motor di jalan.
"Insya Allah, hehehe...." Ainun menyengir sembari mengeluarkan sepeda motornya.
Setelah mendapat titah dari ibunya untuk pelan-pelan mengenderai motor, Ainun membawa laju motornya dengan santai.
Jarak antara rumah dan masjid memang tidak terlalu jauh. Dari sisi rumahnya saja sudah terlihat kubah masjid, apalagi jika ia berdiri di pinggir jalan depan rumahnya, sudah tentu pagar itu mudah dijangkau oleh matanya. Tetapi untuk berjalan kaki rasanya berat baginya, sehingga sore ini ia lebih memilih membawa motornya.
Memasuki pekarangan masjid, manik mata Ainun menangkap sosok abangnya sedang berjalan bersama Rais ke arah parkir. Ainun mendekat setelah memarkirkan motornya.
"Baru datang?" Rais bertanya.
Ainun mengangguk.
"Ya sudah, kami pergi dulu," kata Rais seraya melangkah mengambil motornya.
"Abang juga ikut?" tanya Ainun pada Syamsul.
"Iya."
"Owh... kalau lewat tempat Zulfikar, tolong belikan es kelapa muda, ya, Bang," pinta Ainun dengan senyum cengirannya.
"Insya Allah!" Syamsul langsung duduk di jok belakang begitu motor Rais di sampingnya.
Ainun sendiri melangkahkan kakinya memasuki salah satu ruang yang ada di dalam masjid.
Pukul setengah enam sore, penduduk Desa yang mendapat giliran membawa bungkusan kotak makanan untuk berbuka, satu per satu mulai berdatangan.
Ainun dan rekan-rekan yang lain menerima bungkusan tersebut lalu dibawa masuk ke dalam ruang yang memang dikhususkan untuk tempat penyimpanan makanan berbuka. Awalnya ruang itu adalah ruang tempat istirahat Imam dan Khatib yang diundang sesekali pada hari Jum'at ataupun pada dua hari raya, Aidil Fitri dan Aidil Adhha.
Namun karena ruangan itu tidak memadai, akhirnya dibangunlah satu ruang lagi yang lebih besar daripada kamar dahulu. Letaknya pada sayap kanan masjid. Sedangkan ruang yang kini menjadi tempat penyimpanan, letaknya di sayap kiri masjid. Berdekatan dengan kantor sekretariat masjid.
Ainun mulai menghitung satu per satu, lalu ia mengatur rapi makanan-makanan itu.
Sementara itu, Syamsul tengah berada di lapak Zulfikar berjualan. Ia sedang membeli es kelapa pesanan Ainun. Matanya jeli menatap setiap gerakan Zulfikar ketika mengolah es kelapa muda.
"Nanti ikut berbuka puasa di Masjid?" Syamsul mulai bersuara, tetapi matanya tidak lepas dari menatap setiap gerak-gerik Zulfikar.
"Enggak, malam ini saya ke Meunasah," jawab Zulfikar.
"Dapat jadwal Imam di sana juga?"
"Alhamdulillah, Bang, Imam Dusun masih memercayakan saya jadi Imam di sana."
Syamsul manggut-manggut. "Berarti sore ini enggak lama di sini, ya?"
Zulfikar tersenyum. "Iya, Bang, ini sebentar lagi saya udah tutup." Zulfikar menyerahkan bungkusan es kelapa muda.
Syamsul menerima dan menyodorkan uang dua puluh ribu.
"Enggak usah, Bang, untuk Abang saya kasih free," tolak Zulfikar halus.
"Enggak boleh begitu, kamu jual, saya beli, dan saya gak mau gratis. Kita sama-sama saling membantu." Syamsul menyelipkan uang tersebut ke dalam genggaman Zulfikar. "Lebihnya, ambil aja!"
Meskipun berat, Zulfikar terpaksa menerima uang itu. Niat hati ingin memberi gratis, Allah malah memberi lebih untuknya.
Zulfikar! nikmat Allah yang mana lagi yang akan kamu dustakan?
Zulfikar mengembus napas pelan. Dengan senyum tulus ia mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Syamsul.
*****
Azan Magrib sebentar lagi akan bergema. Para jama'ah sudah bersiap-siap duduk di tempatnya masing-masing. Di depan mereka nasi kotak, takjil, dan minuman berderet rapi. Kotak kurma juga tidak kalah meramaikan untuk disantap saat berbuka.
Ainun dan beberapa teman sesama panitia yang lain sudah duduk menanti waktu berbuka. Ada yang duduk melingkar, dan ada pula yang duduk berbaris. Bahkan ada yang ikut duduk di serambi masjid.
"Dek!" Panggil Syamsul. Ia baru tiba kembali ke masjid dan langsung bergegas menemui Ainun untuk menyerahkan pesanan es kelapa muda.
Ainun menoleh. Lantas ia bangkit dari duduknya dengan senyum mengembang dan berjalan mendekati abangnya.
"Ini pesenan kamu." Syamsul menyerahkan kantong plastik ke tangan Ainun.
"Makasih Abangku," ucap Ainun semringah.
Syamsul mengangguk, lalu ia keluar dari sana dan melangkahkan kakinya menuju ke dalam masjid. Di sana para jama'ah sudah bersiap-siap menunggu waktu berbuka.
Baru saja Syamsul ikut bergabung bersama Rais, bunyi suara tanda waktu berbuka bergema dari salah satu PT yang berdekatan dengan kampung mereka.
"Alhamdulillah...," ucap para jama'ah seraya mulai berbuka puasa.
*****
Pukul sepuluh malam Ainun dan Syamsul kembali ke rumah. Gerimis mulai mengundang binatang malam merayakan turunnya hujan. Dan benar saja, tidak lama kemudian gerimis mulai berubah menjadi guyuran hujan yang semakin lama semakin lebat.
Setelah menyimpan atribut shalatnya, Ainun kembali keluar dari kamar dan hendak ke dapur, tetapi langkahnya terhenti ketika Syamsul memanggilnya.
"Nun, sini duduk! Ada yang mau Abang dan Mak katakan."
Ainun berbalik. Di sana Syamsul dan Hanum sudah duduk menunggunya. Ainun mendekat dan ikut duduk. Di depannya ada Syamsul yang duduk di kursi single, sementara Hanum duduk di sebelahnya.
Meskipun suara hujan dan binatang malam yang saling bersahutan, tidak membuat Syamsul menunda pembicaraan mereka.
Hati Ainun yang sejak tadi deg-degan pun mulai bersuara. "Ada apa, Bang?"
Syamsul melirik Hanum sejenak sebelum ia mulai berbicara. Hanum mengangguk menyetujui.
"Bagaimana kesiapanmu untuk menikah? Apa kamu sudah memikirkan matang-matang untuk menerima pinangan Zulfikar?"
Ainun diam. Hatinya berdebar. Dengan malu-malu ia pun mengangguk. "Insya Allah Ainun siap, Bang!"
"Alhamdulillah," sahut Hanum dan Syamsul bersamaan.
"Kalau kamu sudah siap, insya Allah ... besok lusa dia akan datang bersama keluarganya untuk meresmikan pinangan ini."
Sontak saja Ainun terkejut mendengarnya. "Enggak kecepatan apa, Bang?"
"Dalam hal ini kita tidak boleh menundanya. Jangan sampai kalian berdua bermain hati dalam ikatan yang belum halal. Abang tidak mau Adik Abang seperti itu," tegas Syamsul.
"Benar apa kata Abangmu, Nun, Mamak setuju sekali." Hanum ikut menimpali.
"Maaakkk ...." Ainun bergeser merapatkan diri dengan Hanum, lalu ia bergelayut manja di lengan ibunya. Ia melakukan itu guna untuk menutupi rasa malunya.
Hanum membelai pucuk kepala anak gadisnya dengan lembut. Rasa haru menyeruak mengingat anak gadisnya akan dipersuntingkan orang.
"Mak berharap, siapapun jodoh kalian berdua nanti, semoga berkekalan hingga ke surga, berkumpul bersama lagi," lirih suara Hanum berharap akan kebahagiaan anak-anaknya.
"Tapi Abang kayak gak ada niat pun, Mak," ujar Ainun seraya melepas rangkulannya. Ia menatap Hanum dan Syamsul bergantian.
"Sekarang kita lagi bahas masalah kamu, bukan Abang."
Seakan tidak mendengar ucapan Syamsul, Ainun melanjutkan kata. "Bagaimana kalau aku yang cariin jodoh untuk Abang. Sama aku ada loh satu, dia baik lagi shalehah, aku jamin itu, Bang. Abang pasti gak akan menyesal kalau berjodoh sama dia."
Mata Syamsul menatap tajam adiknya. Bisa-bisanya gadis ini menawarinya jodoh seperti menawari barang dagangan yang akan dibeli di pasar.
"Kamu ini, kamu pikir jodoh bisa diatur-atur harus dengan siapa? Cukup sekali Abang gagal jangan sampai untuk kedua kali. Sekarang yang penting itu kamu. Kalau kamu sudah menikah dan bahagia, baru Abang menyusul di belakang. Abang kapan pun siap kalau jodoh Abang duluan datang, tapi ini yang datang duluan jodoh kamu."
Mungkin ini belum saatnya bagi Ainun untuk mendekatkan abangnya dengan Zahara. Sang sahabat yang menaruh rasa sejak mereka SMA.
Ainun mengetahuinya setelah bersusah payah ia merayu Zahara supaya menceritakan awal mula rasa itu hadir di sanubari.
Dengan deru napas yang agak berat, Zahara akhirnya menceritakan bahwa rasa itu hadir sudah sejak lama. Semenjak ia kelas 3 SMA.
Kala itu pertama sekali ia melihat Syamsul yang kembali dari pondok pesantren salafi setelah lama tidak bersua. Dengan balutan baju koko dan kain sarung juga di tambah peci putih di kepala yang semakin menambah ketampanannya, membuat jantung Zahara berdegup kencang.
Zahara yang baru pulang dari sekolah berpapasan dengan Syamsul. Sementara Syamsul, ia tidak menyadari Zahara yang sedang menatapnya dalam.
"Jika jodoh Abang juga udah di depan mata, apa Abang akan menerimanya?" Ainun rupanya masih bersemangat menggoda Syamsul.
"Jangan paksa Abangmu, Nun, kalau ada teman kamu boleh kamu bawa kemari, Mak mau lihat apakah dia cocok dengan keluarga kita atau enggak. Mak juga gak mau kejadian dengan Raina dulu terulang kembali untuk kedua kali."
Kalau Hanum sudah mengambil keputusan seperti itu, Syamsul hanya bisa pasrah, menerima segala keputusan orang tua satu-satunya itu. Sementara Ainun, ia menyeringai senang karena tidak lama lagi ia akan menyatukan sang sahabat dengan sang abang tersayang.
Ainun melupakan masalah lamarannya sendiri. Rasa gugup kini teralihkan pada rencananya membawa Zahara ke depan ibunya.
*****
"Anak-anak!" panggil Zahara. "Sekarang kita akan belajar mengenal bahasa Arab, siapa yang tau atau pernah dengar bahasa Arab, ayooo?"
"Saya!"
"Saya!"
Beberapa anak menunjukkan tangannya.
Zahara mendekat. "Kamu, Alif, coba sebutkan yang kamu tau," perintah Zahara pada salah satu anak yang unjuk tangan tadi.
Dengan rasa percaya diri, anak yang bernama Alif menjawab, "Bismillahirrahmanirrahim...."
Seketika suara tawa anak-anak bergema di dalam masjid mendengar jawaban Alif. Alif tidak terima ditertawakan teman-temannya, lantas menjawab, "Kenapa kalian tertawa? Tadi Ustadzah Ara tanya bahasa Arab, emangnya salah kalau Alif jawab bismillah?" Alif menyilang kedua tangannya didepan d**a, merajuk.
Zahara yang sejak tadi menahan suara tawanya pun segera mendiamkan anak-anak yang masih heboh.
"Udah, udah, diam... jawaban Alif gak salah, itu juga termasuk ke dalam bahasa Arab. Coba siapa yang tau artinya?" Zahara mengalihkan pertanyaan.
"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," jawab Zainab.
"Bagus...," puji Zahara, dan Zainab tersenyum senang. "Nah, sekarang kita belajar benda-benda yang ada di depan kita aja dulu, ya, biar kalian mengingatnya."
"Baik Ustadzah!" seru anak-anak serempak.
Zahara mengambil sebuah buku dan mengarahkan pada mereka. "Ini namanya kitabun, apa anak-anak?"
"Kitaabun," koor mereka semangat.
"Ayo, ulangi sekali lagi!"
"Kitaabun!"
"Pinter."
"Yang ini, qalamun, denger, yang ini apa namanya?" Zahara menunjuk sebuah pena.
"Qalamun!"
"Masya Allah, anak-anak Ustadzah pinter-pinter!"
"Kami bukan anak Ustadzah, Mamak kami di rumah," celetuk salah satu anak. Tawa mereka pun kembali bergema.
Zahara hanya meringis mendengar jawaban anak-anak kecil yang belum mengerti di depannya sembari menggaruk pelipis yang tidak gatal. Ia tidak menyadari, seseorang sejak tadi memerhatikannya mengajari anak-anak ikut tersenyum.
Sungguh pemandangan yang sangat indah!