"Mak... Mak... gimana? Abang mau?" Baru saja Hanum keluar dari kamar Syamsul, ia dicegat oleh anak perempuannya. Senyum mengembang bagaikan adonan donat, tak lekang di wajah ayu Ainun.
"Hari ini kamu gak ke Masjid?" mengabaikan pertanyaan Ainun, Hanum malah balik bertanya.
Ainun mengikuti ibunya duduk di kursi ruang tamu. Sebelum tahu jawaban abangnya, ia tak berniat melakukan apapun dulu.
"Nanti, aku udah terlalu penasaran ini, Mak," ucapnya seraya mencebikkan bibirnya ke depan.
Menghela napas pelan, Hanum berkata, "Mak gak tau Abang kamu mau atau enggak, katanya semua terpulang ke Mak."
"Berarti Abang menyerahkan semua keputusan pada Mak?"
Hanum mengangguk. "Dan Mak menyetujuinya?" Lagi Ainun bertanya, dan diangguki oleh Hanum.
"Mmm... jadi, Abang lepas tangan kali ini ya, Mak? Kasian juga Abang, mungkin trauma ditinggalin begitu aja karena alasan klasik."
Sedikit cerita dari ibunya, Ainun tahu bagaimana abangnya diputuskan ikatan pertunangan mereka secara sepihak oleh Raina. Semua barang seserahan dan juga mahar telah dikembalikan pihak Raina. Tapi rasa sakit dan malu yang sudah terlanjur diberikan oleh mereka, masih membekas di ingatan keluarga besar Syamsul.
"Terus kapan kita lamar Zahara?" Kembali Ainun bersuara.
"Sebelum acara pertunangan kamu, kita lamar Zahara," tutup Hanum dengan helaan napas lega.
Semakin cepat semakin baik, dengan begitu, maka anak bujangnya yang kini berusia 30 tahun akan ada yang mengurusnya.
Tidak lama suara lantunan ayat suci terdengar dari kamar Syamsul.
*****
Allahu Akbar ... Allahu Akbar ....
Suara azan bergema, Zulfikar yang baru saja sampai di rumah bergegas ke meja makan dan meraih segelas teh. Setelah membaca bismillah, satu teguk air kini mengaliri kerongkongannya, setelah itu barulah ia berdoa. Doa berbuka puasa.
Takjil yang Zulaikha sediakan di atas meja tidak ia sentuh, hanya sebutir kurma yang mengisi lambungnya.
"Kamu gak makan dulu?" Teguran Zulaikha saat Zulfikar beranjak dari kursi mengurungkan langkah kakinya.
Zulfikar berbalik dan berkata, "Nanti, setelah shalat aku makan, sekarang aku mau bersih-bersih dulu.
Tidak seperti sore-sore sebelumnya, sore ini lapak es kelapa muda yang ia kelola tutup lebih lambat. Hal ini dikarenakan pelanggannya semakin bertambah sejak es kelapa mudanya dipesan oleh para pekerja di perusahaan pertamina untuk acara berbuka puasa bersama di kantor mereka. Banyaknya karyawan yang berasal dari luar daerah membuat es kelapanya semakin terkenal di kalangan mereka.
Dan tadi sore, beberapa menit menjelang waktu berbuka puasa, tiba-tiba ia diminta menyediakan 50 bungkus es kelapa muda. Kelapa yang masih utuh dan belum dikupas, kemudian harus diracik agar rasanya lebih menyegarkan, membuat Zulfikar yang harus mengerjakan itu sendiri tanpa bantuan siapapun, nyaris terlambat sampai di rumah untuk berbuka puasa.
Zulfikar lantas menuju ke kamar mandi dan melakukan rutinitasnya sebelum shalat ia tegakkan.
Zulaikha dan Murdani melanjutkan berbuka puasa hingga selesai. Setelahnya barulah mereka meninggalkan meja makan. Zulfikar kembali ke ruang makan saat Zulaikha akan menutup segala hidangan yang ada di atas meja.
"Jangan ditutup dulu, aku mau makan." Zulfikar mengambil piring di atas meja dan mengisinya dengan nasi beserta lauk-pauknya.
*****
Ainun, besok temani aku ke pekan, ya.
Pesan dari Zahara yang baru masuk, membuat Ainun menghentikan bacaannya. Hanya mengintip sesaat, Ainun lanjut fokus pada ayat-ayat yang ia baca tadi.
Namun, kekhusyukannya buyar saat suara notifikasi kembali berbunyi.
"Shadaqallahul 'adhiim!" Akhirnya Ainun menutup Mushaf, lalu ia letakkan di atas kasur. Gawai yang mengganggunya tadi kini senyap. Senyumnya merekah saat membaca pesan sang sahabat.
Ajak Bang Syamsul sekalian, aku mau cuci mata sekali-kali.
Ainun menggelengkan kepalanya seraya terkikik geli. Ia mengetikkan balasan.
Dasar! Awas dosa, bukan mahram yang halal dipelototin.
Kali ini suara tawa Ainun terdengar nyaring. Dasar sahabatnya ini, pakai acara merayu segala.
Please, Nun! Ajak Abang, ya, ya, please! 'ntar aku sakit malarindu, gimana? :-( kamu mau tanggung jawab?
Pakai emot segala, nih, anak! Menghela napas pelan, akhirnya Ainun menyetujui, tetapi ia tidak janji abangnya bakalan ikut.
Menatap lama ponsel di tangannya, Ainun mencoba membuka laman f*******:. Banyak teman-teman dunia maya yang ia kenal memposting rutinitas ibadah mereka. Ia menggulir satu-satu hingga ada satu nama yang menarik perhatiannya.
Merubah duduknya, ia membaca status tersebut.
Joel Al-Asyie
Alhamdulillah, hilalku sudah terlihat. Doakan semoga hilalku ini tidak tertutup awan!
Banyak yang mengomentari dan menyukai kata-katanya. Tanpa sengaja, Ainun menekan suka pada status Joel Al-Asyie. Dari foto profilnya, Ainun tahu bahwa itu Zulfikar. Bolehkah dia merasa bahwa kata-kata yang ditorehkan itu untuknya?
Ting!
Ainun terlonjak dengan suara ponselnya. Sebuah pesan di Messenger f*******: tampil di layarnya.
Belum tidur?
Seketika darah Ainun berdesir mendapatkan message dari seseakun yang ia sukai statusnya tadi. Tangannya ikut gemetar. Semenjak berteman di f*******:, baru kali ini laki-laki itu mengiriminya pesan.
Balas? Tidak? Balas? Tidak?
Belum!
Akhirnya ia membalas pesan Joel Al-Asyie. Gugup ia menanti balasan apa lagi yang akan pria itu kirim.
Kenapa?
Baru saja Ainun mengetik balasan, pesan lain menyusul.
Aku lupa, kamu pasti sedang mengaji, kan? Maaf, ya, udah mengganggu! Kamu lanjutkan aja lagi tadarusnya.
Dan setelah itu, Joel Al-Asyie aktif satu menit yang lalu.
"Masya Allah banget calonku ini," gemasnya sembari mengepalkan tangan yang bebas dari gawai. Padahal jam masih menunjukkan pukul sebelas malam.
Sore tadi ia tidak ikut berbuka di masjid. Katanya ia ingin menemani sang ibu. padahal Hanum tidak melarangnya, tetapi Ainun sebagai anak merasa tidak tega melihat maknya berbuka sendiri. Begitu juga shalat tarawih, ia mengerjakannya di rumah berdua dengan Hanum.
Ia lempar benda pipih itu sembarangan di atas kasur, lalu ia beranjak keluar. Melongokkan kepala dan melihat-lihat sekeliling, susana tampak sepi. Mungkin maknya sudah tidur, dan Bang Syamsul belum pulang dari masjid.
Sementara di masjid, Syamsul tengah duduk bersama Rais dan Zulfikar. Mereka mengobrol tentang rencana penutupan pesantren kilat Jum'at depan. Tampaknya, sih, hanya Syamsul dan Rais saja yang berbicara, sedangkan Zulfikar asyik menatap layar poselnya dalam diam.
Mimpi apa ia tadi sehingga berkirim pesan dengan gadis yang ia lamar beberapa hari yang lalu? Menyesali kalimat terakhir yang ia kirim tadi, lantas ia menghela napas berat. Kenapa ia mengakhiri secara sepihak? Sementara tulisan Sidroe Dara sedang mengetik tampil di layarnya. Dan sekarang, rasa penasaran bercokol di hatinya.
Salahmu sendiri, Joel, siapa suruh keluar laman! Suara batinnya.
"Bang, saya duluan, ya?"
"Okay, Bro!" jawab Rais seraya mengangkat tangannya. Zulfikar menyambut tangan Rais.
"Fi amanillah, Joel!"
"Insya Allah, Bang."
Zulfikar berlalu meninggalkan kedua lelaki yang melanjutkan kembali obrolan mereka.
*****
"Assalamu'alaikum..., Nun, Ainun!" panggil Zahara di balik pintu. Sejak tadi ia mengetuk, tetapi belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka.
"Assalamu'alaikum," ucapnya sekali lagi.
"Wa'alaikumussalam." Suara bariton menyambut salamnya.
Tidak lama, pintu terbuka. Zahara terperangah melihat sosok di depannya.
"Cari Ainun?" tanya si pria to the point.
"I-iya." Zahara meringis sungkan.
Ia masuk setelah Syamsul menyingkir dari celah pintu.
"Masuk aja," perintah Syamsul.
Dengan langkah sungkan, Zahara menyeret kakinya ke kamar Ainun. Menghela napas panjang, Zahara mendekati Ainun yang masih bergelung dengan selimut.
"Nun, bangun!" tepukan halus ia daratkan ke lengan si gadis yang kini mulai bergerak.
"Kamu ngapain di sini pagi-pagi, Ra?" Ainun beringsut duduk di kepala ranjang.
"Pagi dari mana? Udah jam sepuluh juga."
Ainun menguap hingga matanya berair. "Memangnya kita mau pergi jam berapa?"
"Ya, sekarang, kalau kesiangan nanti kecapean, mana harus masak untuk berbuka juga nanti, kan?"
"Hmmm...." Ainun bangkit. Ia raih handuk di sangkutan, lalu beranjak meninggalkan Zahara ke kamar mandi.
Selama menunggu Ainun selesai mandi, Zahara membuka-buka lembaran Mushaf yang ia ambil di atas meja.
*****
Selama perjalan, tak ada topik yang mereka bicarakan, karena masing-masing mengendarai motor sendiri. Ainun bersama Zahara, sementara Syamsul yang dimintai Ainun menemani mereka dengan rayuan mautnya, mengendarai seorang diri.
Mereka ke Pekan hanya bertiga. Mata Zahara sesekali menatap Syamsul di belakangnya. Ia tidak tahu terkadang Syamsul membalas tatapannya di balik kaca helmet. Dan terkadang, senyum terukir di bibir Syamsul melihat gerak-gerik sahabat sang adik yang mencuri-curi pandang kepadanya.
"Ainun apaan, sih? Gak lucu, tau!" Zahara tampak gusar dengan menampilkan wajah gusar pada gadis di sampingnya. Sejak tadi, adik dari pria yang mengikuti mereka di belakang selalu menggodanya dengan lelucon yang menurutnya tidak lucu, bahkan ia mengait-ngaitkan dirinya dengan abangnya.
"Lihat, tuh, muka Abang, jutek banget dari tadi. Kayak gak ikhlas aja nemenin kita, kamu, sih, maksa aku ajak Abang. Sekarang malu-malu."
Zahara menyubit pelan lengan Ainun."Udah, iiihhh... jangan ungkit-ungkit lagi, malu!"
"Tau malu, tapi maksa!" Ainun tertawa, puas meledek sang sahabat.
Setelah memarkirkan sepeda motor, mereka berjalan beriringan memasuki pasar. Akhir pekan begini memang ramai orang berlalu lalang mencari segala keperluan yang berharga murah. Berbeda dengan hari biasanya, semua harganya kembali normal.
"Kalian cari-cari terus apa yang mau kalian beli, Abang tunggu di sini."
Mengikuti arahan Syamsul, mereka pun lanjut berjalan mencari bakal baju untuk Zahara. Zahara sengaja mengajak Ainun, karena kain bakal baju ini untuk acaranya nanti.
"Acara pertunangan kamu nanti, bajunya warna apa, Nun?" tanya Zahara sembari memilih-milih kain baju yang berjejer rapi.
"Mmm... warna apa, ya? coba aku tanya Bang Syamsul dulu, ya," katanya seraya merogoh HP di dalam sling bag mini yang tersampir di bahu kananya. Tak lama kemudian ia menutup panggilan.
"Apa katanya?" tanya Zahara tak sabar.
"Katanya warna lilac."
Gadis yang tampak antusias melebihi si empunya acara, memindai satu per satu isi toko Nangroe Tekstil mencari bakal kain bagus berwarna lilac. Sekilas ia tampak mengerutkan kening, bingung dengan banyak pilihan.
"Bagusan mana? ini, apa ini?" Ainun yang ikut memilih, menunjuk pada satu kain berbahan katun Jepang.
"Ini kayaknya bagus, terasa adem."
"Bang, ini semeter, berapa?" Zahara bertanya pada abang-abang penjaga toko.
"Karena lagi promo, harganya 25.000 semeter."
Ainun dan Zahara saling melirik.
"Ok, aku ambil dua meter setengah."
"Aku juga," imbuh Ainun.
"Kenapa kamu ikut-ikutan? bukannya kamu udah ada kain khusus kemaren itu?" bisik Zahara.
Dengan cengiran khasnya, Ainun menjawab, "Biar kita sama."
Selang beberapa jam kemudian, Syamsul menyusul mereka berdua.
"Kenapa lama sekali?"
Beginilah kalau menemani perempuan berbelanja, lamanya, masya Allah! Kalian para suami harus menyetok sabar banyak-banyak biar sewaktu-waktu saat istrimu meminta menemaninya berbelanja, kalian tidak marah-marah dan gusar.
"Biasa, Bang, kalau milih-milih itu jangan grasak-grusuk, ntar jatohnya gak bagus! Kayak milih jodoh juga, mesti dilihat dengan teliti, siapa tau udah lecet sana sini, kan?" celetuk Zahara tanpa sadar.
Ainun terperangah, sejak kapan Zahara berani menimpali ucapan abangnya? Sementara Syamsul terdiam tanpa kata. Meski ia terkejut dengan celetukan teman adiknya, tetapi ia tak membalasnya. Lantas ia berbalik meninggalkan mereka.
Ainun menyikut lengan Zahara seraya berbisik. "Ayo, kita keluar sebelum Abangku benar-benar meninggalkan kita di sini." Mereka mengikuti langkah Syamsul dalam diam. Wajah Zahara tampak pias. Kesadarannya mulai kembali.
Apa, sih, ini mulut!