03 | Salam Cinta

1728 Kata
"Kak, ada yang kirim salam." Suara seorang gadis kecil menginterupsi Ainun yang tengah berbincang dengan Zahara, sahabatnya. Setelah selesai shalat tarawih dan berzikir bersama, Ainun dan Zahara pulang dengan berjalan kaki sambil membahas rencana yang akan mereka kerjakan di bulan puasa tahun ini. Sedang Hanum berjalan bersama para ibu-ibu sebaya dengannya di depan Ainun dan Zahara. "Wa'alaiki wa 'alaihassalam," jawab Ainun. "Tapi dia bukan perempuan, Kak," kata gadis kecil itu lagi. "Kalau bukan perempuan, jadinya siapa, dong?" Ainun mencubit gemas pipi tembem gadis kecil itu. "Abang Zulfikar!" jawab gadis kecil itu riang, kemudian berlari kecil menjauhi mereka berdua. "Wa'alaiki wa 'alaihissalam...." Ainun mengubah jawaban salam tadi dengan suara lirih. Matanya menatap kepergian gadis kecil itu dengan mata sayu. "Cie... cie... yang dapat salam dari sang pujaan." Zahara tidak mau kalah, ia pun ikut menggoda Ainun. "Ish, apaan sih, Ra, jangan begitu dong, 'ntar dikirain aku beneran sama dia lagi." Ainun merengut tak suka. Tapi lain dengan hati dan pipinya yang kini menghadirkan semburat merah merona. "Tuh kan, pipinya aja sampe berubah warna gitu." Zahara menjawil pipi Ainun. "Maklumin aja kenapa sih, Ra, aku kan gak pernah dapat salam dari laki-laki manapun selama ini. Ini yang pertama sekali, dan semoga juga yang terakhir kali." Zahara tertawa ringan, walaupun ini yang pertama sekali, tapi Zahara dapat melihat pendar di bola mata coklat tua Ainun. Mata yang sama dengan lelaki yang ia taksir secara diam-diam. "Ya, ya, ya, semoga kalian berjodoh, aku bantu doakan saja. Siapa tau, doaku buat kalian berbalik kepadaku juga," lirih Zahara pelan. "Aamiin, doaku juga buatmu, semoga Allah menjodohkanmu dengan orang yang ada di hatimu. Eh, tapi ... adakah seseorang yang mengisi hatimu saat ini? Kalau ada, siapa dia? Bagi tau aku!" Zahara malu mengakui jika Syamsul lah yang ada di hatinya. Apa kata sahabatnya ini nanti jika tahu bahwa abangnya sosok yang ditaksir itu. Mengulum bibir, Zahara hanya tersenyum getir. "Ya sudah kalau kamu gak mau bilang siapa dia, pokoknya yang terbaik buat kamu, Ra." Ainun tidak memaksa Zahara untuk mengatakan siapa lelaki itu. Semilir angin malam menyusup ke pori-pori Ainun. Ia mengusap pelan lengannya. Mukena yang masih menggantung di kepalanya tidak menutupi dari embusan angin malam. Ainun menengadah, menatap langit malam tanpa bintang dan rembulan. Sepertinya sebentar lagi akan hujan. "Nun, cepetan jalannya, bentar lagi mau hujan!" Seruan Hanum membuat Ainun dan Zahara mempercepat langkah kaki mereka. "Aku duluan, ya, Ra, hati-hati di jalan," pamit Ainun begitu ia dan Hanum sudah di depan pagar rumahnya. Sedang Zahara masih perlu lima menit lagi untuk sampai ke rumahnya. "Oke!" Zahara mengacungkan tangannya. ***** "Alhamdulillah, tarawih pertama berjalan lancar. Masjid pun terlihat penuh tadi. Semoga keantusiasan masyarakat menyambut bulan suci ini tidak berubah hingga ke penghujung Ramadhan nanti." Syamsul berharap keramaian dan semangat para jamaah shalat tidak pudar hingga ke akhir Ramadhan nanti. Dan harapannya itu disambut oleh Zulfikar dan Rais dengan mengaminkan ucapan Syamsul. Mereka tidak langsung pulang setelah shalat tarawih berakhir. Masih banyak agenda yang perlu dibahas untuk kelancaran kegiatan di bulan Ramadhan ini. Pagi hari, Masjid akan digunakan sebagai sarana untuk Pesantren Kilat bagi anak-anak remaja. Sedangkan siang dan malam hari, dipakai oleh para pemuda dan orang tua kampung sebagai tempat mengaji dan bertadarus. "Kamu Joel, jadi jual es kelapa muda di sore hari?" tanya Rais membuka pembicaraan setelah mereka diam sejenak. "Insya Allah," jawab Zulfikar. "Dapat dari mana kelapanya?" "Dari Mak Cik Hanum, Ibunya Bang Syamsul." Rais manggut-manggut. "Sore jualan es kelapa muda di pasar, dan malamnya jadi Imam, Bilal serta Mu'azzin di Masjid. Waktu istirahatnya kapan?" Zulfikar tersenyum. "Insya Allah, ada waktunya sendiri." "Bang Rais, Abang dipanggil sama Teungku Imran, beliau ada di kantor sekretariat." Seorang pemuda tanggung datang mendekat memanggil Rais. "Baik, Abang akan ke sana." Rais beranjak pamit dan meninggalkan Syamsul berdua dengan Zulfikar. "Ehem... aku dengar dari Mak, kamu bertanya-tanya tentang Ainun, apa benar?" Sejak tadi Syamsul ingin bertanya perihal ini kepada Zulfikar, tapi ia tahan karena ada Rais bersama mereka. Wajah Zulfikar langsung berubah merah, karena warna kulitnya yang sawo matang, jadi perubahan itu tidak berarti apa-apa. "Benar, kalau Abang dan Mak Cik Hanum berkenan, aku akan datang melamar." "Kalau aku sendiri tidak masalah, aku menyetujuinya, tapi kamu harus mencoba menanyakan sendiri pada Ainun, apakah dia mau atau tidak." "Insya Allah, akan aku tanyakan nanti bila kami bertemu." Zulfikar tersenyum kikuk. Rintik hujan mulai terdengar di luar Masjid. Suara mikrofon mulai bergema, menandakan sebentar lagi anak-anak remaja ataupun para pemuda akan memulai tadarus di malam pertama bulan Ramadhan tahun ini. Zulfikar pun tidak tinggal diam. Setelah perbincangannya dengan Syamsul berakhir, ia mengambil air sembahyang dan berbaur dengan anak-anak remaja tadi. Kini suara mengaji bergiliran mulai terdengar di seantero Masjid dan perkampungan mereka. Semangat dan gairah mereka patut diacungi jempol. Zulfikar ikut mengaji. Dimulai dari Surah Al-Fatihah, suara Zulfikar mengisi keheningan malam yang disertai rinai hujan. Di rumah, Ainun sudah merebahkan diri di atas kasur. Pandangan matanya menatap langit-langit kamar. Pikirannya melayang kepada ucapan Zahara tadi. Benarkah dia ada rasa? Sehingga Zahara mendoakannya berjodoh dengan Zulfikar? Masa SD dulu, Zulfikar bukanlah sosok yang ia perhatikan dan impikan menjadi pasangan hidupnya kelak. Tapi kenapa sekarang sosok itu tiba-tiba datang dan bertanya tentangnya? Tidak tanggung-tangung, laki-laki itu bertanya tentangnya kepada ibunya sendiri. Mau dibawa ke mana mukanya ini? Apalagi godaan Zahara tadi. Sungguh membuat Ainun tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dan salam itu, Ya Allah..., salahkah bila hati hamba bergetar syahdu? Apakah itu salam cinta darinya untukku? Tapi kenapa melalui anak kecil? Ah, Ainun pusing memikirkan semua itu. Tak terasa, matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Rasa lelah dan letih membuat matanya cepat terpejam dan melebur bersama impian. Entah berapa lama Ainun tertidur, yang pasti matanya terbuka ketika suara anak-anak membangunkan sahur orang-orang yang masih dibuai mimpi. Segera Ainun bangkit dari tidurnya dan melihat jarum jam yang kini sudah menunjukkan angka empat pagi. Masih ada satu jam lebih sebelum azan Subuh berkumandang. Perlahan Ainun bangun dan berjalan keluar kamar menuju ke kamar mandi. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Ainun keluar dari kamar mandi dan melangkah ke dapur. Dapur masih terlihat sunyi. Berarti ibunya belum bangun. Mengeluarkan daging rendang, masak merah, masak putih, dan ayam goreng dari dalam kulkas, Ainun memanaskan satu per satu. Kuah sop yang masih berada di atas kompor juga Ainun panaskan. Setelah semua selesai, ia membangunkan ibu dan abangnya. Tepat pukul setengah lima, mereka makan sahur bersama. Ainun melihat abangnya sejak tadi tidak berhenti menguap. "Abang gak cukup tidur?" Syamsul menggeleng lemah. "Emang jam berapa tadi Abang pulang dari Masjid?" tanya Ainun lagi. "Jam tiga." "Owh...." Ainun tidak lagi bertanya. Ia melanjutkan makannya. Setelah semua selesai makan, Ainun merapikan meja dan mencuci piring kotor bekas makan sahur. Setelah semuanya rapi dan bersih, Ainun kembali ke ruang depan dan duduk beristirahat sejenak. Syamsul sudah dari tadi masuk ke kamar, mungkin abangnya itu ingin melanjutkan tidurnya. Sedangkan ibunya, melanjutkan bacaan Al-Qur'an di dalam kamar. Pukul lima lebih lima menit, terdengar suara pintu dibuka. Dan Syamsul keluar dari sana dengan wajah segar, dugaan Ainun tentang abangnya yang melanjutkan tidur ternyata salah besar. Ah, Ainun...! Ia menertawakan dirinya sendiri. Tidak bertanya pun, Ainun tahu ke mana Syamsul akan pergi. Dalam seminggu, empat kali jadwal imam Subuh abangnya jatahi, itu Subuh saja, belum lagi waktu-waktu shalat lainnya. "Kunci Abang bawa, ya, Nun!" Setelah mengatakan itu, terdengar suara pintu samping dikunci. Tidak lama kemudian, suara motor memecah kesunyian di depan rumah Ainun. ***** Sisa-sisa hujan semalam masih membasahi tanah pekarangan. Daun-daun pokok mangga dan juga jambu jatuh berserakan di atas tanah yang basah. Suara gesekan sapu lidi memecah keheningan pagi bagaikan irama lagu buat orang-orang yang masih bergelung di bawah selimut. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang untuk melanjutkan tidur setelah shalat subuh, apabila tiba masa-masa bulan puasa seperti ini. Dan mereka akan bangun ketika jam menunjukkan angka delapan maupun angka sembilan pagi. Bagi yang bekerja di kantor pemerintahan, maka mereka akan bangun lebih pagi lagi, yaitu pukul tujuh pagi. Namun tidak bagi Ainun, setelah shalat subuh ia melanjutkan tadarusnya. Membaca ayat demi ayat lalu mentadabburi setiap makna membuat hatinya sesekali aman dan tentram, dan di lain waktu hatinya akan bergetar hebat. Apalagi jika ia menemukan makna tentang azab dan bagaimana siksaan api neraka, airmatanya tak ayal akan jatuh berlinangan. Setelah selesai tadarus, Ainun tidak langsung merebahkan dirinya, ia akan keluar rumah dan menyapu halaman, membersihkan daun-daun kering yang jatuh dari pohonnya. Karena semalam hujan dan sekarang tanahnya masih tampak basah, Ainun agak kesusahan menyapu daun-daun itu. Akhirnya ia menunduk dan mengutip satu-satu yang terselip di sela-sela tanah basah. Ainun tidak menyadari tatapan seseorang yang sedari tadi menatapnya di luar pagar. Kesibukannya dengan daun-daun itu berakhir saat suara dehaman menyapa indera pendengarannya. "Assalamu'alaikum, Ainun," sapa seseorang itu. "Pagi-pagi udah rajin aja nyapu halaman, bolehkah aku bantu?" Senyum semringah orang itu tampilkan. Menunggu jawaban membuat hatinya berdebar-debar. "Wa'alaikumussalam, eh, ada ... mmm...." Ainun bingung mau memanggil dengan sebutan apa kepada orang yang berdiri di luar pagar sana. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Jangan bilang kamu lupa namaku," selorohnya. "Enggak!" sanggah Ainun cepat. "Aku gak tau mau manggil apa." "Panggil kayak biasa aja." "Iya, hehehe...." Ainun tertawa dengan kekikukannya. Entah kenapa setelah mengetahui niat orang itu kepadanya dan ditambah salam yang ia kirimkan melalui anak kecil semalam, membuat Ainun salah tingkah. Rasa malu menyusup ke hatinya. Menutupi kecanggungannya, Ainun melontarkan pertanyaan balasan. "Kamu sendiri ngapain pagi-pagi udah di depan rumah orang?" Ainun...!!! Kenapa pertanyaanmu seperti itu??? Ainun menepuk bibirnya menyesali pertanyaannya. "Jalan-jalan pagi, sekalian ke pasar mau beli titipan Kak Leha. Dan niat baikku ternyata Allah balas dengan pandangan indah di depan mata," seloroh orang tadi yang tenyata adalah Zulfikar. Seketika rona wajah Ainun berubah merah mendengar kalimat yang laki-laki itu lontarkan. "Pagi-pagi udah ngegombal, gak laku di sini." Ainun menutupi rasa malunya dengan kembali mengutip daun yang tinggal beberapa selip di naungan air dan tanah basah. "Ya sudah kalau gak laku, aku pun gak menjualnya." Zulfikar terkekeh mendapat lirikan tajam dari Ainun. Tiba-tiba kenangan masa SD dulu menari-nari di pikirannya. Bagaimana keusilannya dulu terhadap Ainun. Namun sekarang ada rasa malu juga mengusili Ainun di hatinya, tetapi ia menutupinya dengan berseloroh mencoba mencari peruntungan, siapa tahu ada sambutan dari Ainun. Dan siapa sangka, selorohannya mendapat sambutan dari Ainun sama seperti masa mereka kecil dulu. Lirikan mata itu tidak berubah sama sekali. "Baiklah kalau begitu aku permisi dulu, Assalamu'alaikum...," kata Zulfikar seraya mengucap salam dan beranjak dari sana setelah gadis di balik pagar menjawab salamnya. Baru beberapa langkah ia berjalan, suara jeritan dan mengaduh Ainun menghentikan langkah kakinya. "Aaa...! Aduh...!!!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN