Mencoba Percaya Kembali

1051 Kata
"Oke, semua udah beres. Kamu tinggal pencet ini kalau mau tau dimana suami kamu berada. Misalkan seperti sekarang ini, coba kita liat dia dimana..." Ferdi menjelaskan padaku. "Nah ini, kamu tau ini dia dimana? Kantornya kali ya," Ferdi menyodorkan ponsel itu kembali padaku. "Iya, ini di kantor." jawabku saat melihat nama Perusahaan tempat Mas Heru tertulis di sana. "Sip, berarti semua udah berfungsi dengan baik." "Makasih ya, Fer. Tolong kirim nomor rekening, aku mau transfer p********n untuk semua ini," "Santai ajalah, Win. Besok-besok juga bisa." "Tapi, aku nggak enak. Aku udah terima barang dan jasa dari kamu, tapi malah belum bayar sepersen pun." "Ya elah, santai aja. Kayak yang mau pergi jauh nggak balik-balik aja sih?" "Bukan gitu, aku udah selesai pakai jasa kamu. Seterusnya biar aku yang ngelakuin sendiri. Jadi, ya aku harus bayar dong jasa kamu." "Kamu bayarnya nanti aja, saat semuanya benar-benar udah selesai dan nggak ada kendala apa-apa. Oke?" "Tapi..." "Nggak usah tapi-tapi, anggap aja masalah itu udah selesai." "Aku pasti tetap akan bayar kamu, aku nggak suka ada hutang budi sama orang lain!" "Ya sudah, kalau kamu terus memaksa. Kamu bisa bayar pas aku udah minta bayaran. Gimana?" "Oke, aku setuju." Perdebatan aku dan Ferdi pun berakhir dengan sebuah kesepakatan itu. Meski aku sendiri kurang yakin, Ferdi akan benar-benar meminta bayarannya. Karena Ferdi bertanya tentang kegiatanku setelah tamat SMA, kami pun larut dalam obrolan ringan. Memang sejak dia lulus terlebih dahulu, aku hanya dua kali bertemu dengannya saat kuliah. Itupun karena tidak sengaja, saat menghadiri acara yang sama dari kampus tempat kami menuntut ilmu. "Btw, udah jam empat sore, kamu nggak pulang?" tanya Ferdi tiba-tiba mengingatkanku. Duh, betapa malunya aku bercerita di rumah pria asing berjam-jam hanya berdua saja. Sampai dia mengingatkanku pula, aku pasti terlihat seperti wanita yang gampang bergaul dengan sembarang pria saat ini. "Eh, sorry ya. Bukan aku ngusir, maksud aku kan udah sore, kalau suami kamu pulang duluan apa nanti nggak jadi masalah? Kalau aku mah senang, bisa di temani cewek cantik ngobrol. Hhehe..." lanjut Ferdi merasa tak enak karena melihatku hanya diam tak merespon pertanyaan pertamanya tadi. "Oh... I-iya... Santai aja, aku ngerti kok. Aku juga nih, jadi ngga enak sama kamu. Keasikan ngobrol jadi lupa waktu!" jawabku yang sudah mengambil posisi berdiri hendak pamit pulang. "Nggak apa-apa, kapan kamu butuh aku, datang aja ke sini. Atau telpon aku, aku standbye kok buat kamu," Ferdi masih saja suka menggombal, sama seperti masih SMA dulu. Mungkin, itu sebabnya dulu aku selalu menolaknya. Karena mulutnya yang manis saat berbicara dengan para gadis, aku takut diperlakukan sama. Padahal saat itu, sejujurnya aku juga menaruh perasaan padanya. Aku terlalu takut untuk sakit hati, karena melihat pacarku terlalu akrab sana sini dengan perempuan. Apalagi Ferdi yang memang jadi incaran cewek-cewek di sekolah, selain ketua Osis dia juga ketua tim basket. "Heii... Kok malah melamun sih? Ntar kesambet setan patah hati lo," tegurnya memecah lamunanku. "Eh, iya.. kalau gitu, aku pamit pulang dulu ya. Terima kasih untuk bantuan kamu hari ini." "Iya, sama-sama. Terima kasih juga udah nemenin aku ngobrol. Hehe..." Aku berjalan keluar dari rumah itu, saat aku membuka pintu mobilku, Ferdi memanggilku lagi. Saat aku menoleh dia sudah ada di belakangku. "Aku lupa ngasih tau, kalau saat suami kamu di rumah, sebaiknya fitur pelacak itu di nonaktifkan. Karena bisa menimbulkan suara. Ntar malah ketauan. Semakin dekat kamu dengan sumber pelacak yang kamu tempel, ponsel kamu akan semakin berisik," ucapnya menjelaskan padaku. "Untung saja kamu ingat tepat waktu, kalau tidak, sudah kalah sebelum berperang kita." jawabku lalu tertawa renyah. Aku pulang ke rumah. Saat aku sampai, belum ada mobil Mas Heru di garasi rumah kami. Tentu saja, mana mungkin dia pulang sore seperti ini. Bukankah sekarang dia selalu pulang larut malam? Aku tersenyum miris. Lalu melangkahkan kakiku dengan gontai ke dalam rumah. Aku menyiapkan makan malam, yang akhir-akhir ini memang selalu aku sendiri yang memakannya. Tak jarang aku memilih untuk delivery order, dari pada capek-capek masak tapi hanya makan sedikit dan sendirian pula. Namun, sore ini aku sedang bersemangat untuk memasak. Masih jam tujuh malam, aku sudah selesai membuat kari ayam dan mie goreng seafood. 'Sebaiknya aku mandi dulu, baru setelah itu aku makan malam," ucapku pada diri sendiri. Aku meninggalkan makanan di atas meja dan kembali masuk ke dalam kamar. Aku membersihkan diri dari keringat yang menempel seharian dan bau dapur sehabis masak. Setelah mandi, aku memakai dress selutut yang biasa aku kenakan jika di rumah. Aku menyisir rambut, memakai parfum dan mengoles skincare malam pada wajahku yang memang tidak bermasalah apa-apa selama ini. Kemudian aku kembali menuju ruang makan. Sepertinya, mood-ku sedang bagus hari ini. Saat aku menyendok nasi ke dalam piring, terdengar suara deru mesin mobil Mas Heru memamsuki garasi. Aku melirik jam dinding, setengah delapan malam. Tumben. Ya, mungkin itulah kata yang tepat untuk Mas Heru malam ini. Tapi, aku sedang malas untuk menyambutnya. Kubiarkan Mas Heru masuk sendiri, sementara aku kembali bersiap untuk makan malam. Karena perutku sudah tak bisa lagi di ajak berkompromi. LAPAR. "Hai, Sayang." sapa Mas Heru saat memasuki rumah, dan berhenti di meja makan. "Hai, Mas." jawabku singkat. "Wah, istri Mas masak enak nih. Mas nggak diajak makan malam bareng nih?" "Kalau mau makan, ya udah ayok sekalian." "Kok jawabnya kayak nggak suka gitu?" "Mas tumben pulangnya cepet?" "Kamu nggak suka ya, Mas pulang cepat? Mas akan berusaha untuk pulang lebih cepat lagi seperti biasanya." "Suka kok, Mas. Ya udah, yuk makan. Nih, aku ambilin ya. Mas cuci tangan dulu sana!" Aku mencoba untuk kembali menata hatiku, lagi pula belum ada bukti yang nyata bahwa Mas Heru berselingkuh. Apalagi sama Mami. Mungkin aku terlalu takut. Tiba-tiba aku merasa takut Mas Heru menjadi benaran selingkuh atau menjauh karena sikapku yang berlebihan dan curiga tanpa alasan padanya. "Nah, gitu dong. Ini baru Winda, istri Mas yang cantik dan lembut. Mas pikir, kemarin Winda yang Mas kenal udah kabur entah kemana." Mas Heru menyempatkan untuk menghadiahkan sebuah kecupan di keningku sebelum duduk di kursinya. "Maafin aku ya, Mas. Mungkin, aku terlalu berlebihan." ucapku tulus. "Iya, Mas ngerti kok. Itu hal yang wajar. Maafin Mas juga ya, udah buat kamu selalu khawatir dan malah berpikir yang nggak-nggak sama Mas." "Iya, Mas." Akhirnya malam itu kami makan dengan suasana hati yang bahagia. Makan malam yang sudah lama kurindukan. Aku menyesal telah curiga dan sampai memasang pelacak pada ponsel Mas Heru siang ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN