Bab 07. Marah

1046 Kata
Pagi hari Tamara masih enggan keluar kamar, padahal ia ingin sekali melihat tanamannya yang butuh air. Karena ada Arei yang sedang olahraga di area sana, Tamara merasa malas. "Kenapa kalau olahraga selalu dekat tanaman? Aku malas lihat papa," gumam Tamara. Di saat seperti itu, tiba-tiba pelayan petugas bagian kebun datang. Ia membawa ekspresi senang dengan wajahnya yang terlihat cerah. "Permisi Nona, kebun tanaman sudah waktunya panen. Mari lihat, buah dan sayur yang Nona tanam segar-segar!" "Ah, benarkah?" Tanpa berpikir lagi, Tamara berjalan mengikuti pembantu itu. Ternyata benar hasil bercocok tanamnya, membuahkan sebuah hasil yang bagus. Selain ia yang senang, pelayan dapur dan kebun pun ikut bahagia. Itulah hobi, terlihat sederhana tetapi menyenangkan. "Lihat Nona!" "Ya, ampun tanamanku!" Tamara berbinar melihat tanaman strawberry-nya tumbuh segar dan cantik. Ia pun memetik lalu mencobanya. "Asem, manis, tapi segar!" komentarnya. Ternyata aksinya tak luput dari pengawasan Arei, dari ia memetik buah itu dengan kegirangan sampai mencicipi. Arei tak putus memandangi Tamara. Tamara sendiri pun sadar, sampai ia bertubrukan saling menatap. Namun, Tamara segera menghindari tatapan itu dengan cara berbalik badan ke arah lain, lalu segera menyibukkan diri kembali. Sejujurnya mereka belum pernah merasakan hal secanggung ini. "Ara ...." Tiba-tiba suara lemah seseorang terdengar, Tamara pun kaget, refleks berbalik badan kembali. Benar saja, ada tubuh tegap tanpa pakaian sedang menghadapnya. "Kamu marah sama papa?" tanya Arei. Tamara kembali acuh seperti awal, tetapi Arei seperti ingin diperhatikan. Ia menggendong Tamara yang cuek, kemudian membawanya masuk ke dalam. Aksi mereka tak luput pula dari mata pelayan. Mereka sama-sama menyaksikan kedekatan keduanya. "Kedekatan mereka gak wajar, aku yakin keduanya punya skandal!" "Ya, aku juga ngerasanya kayak gitu!" "Terlihat intim, apalagi perhatian tuan Arei seperti bermaksud lain!" "Apakah mereka juga berhubungan itu?" Itu semua ujaran para maid yang tak sengaja Tamara ciduk kemarin saat sedang mengintip Arei. Masing-masing bagian tugas dapur, pakaian, dan pengurasan rumah berkumpul di sebuah kebun saat ini. "Jangan sampai ucapan kalian jadi boomerang yang akan berimbas pada pekerjaan sendiri!" sahut salah seorang pelayan yang diyakini sebagai kepala. Saat itulah mereka saling diam membisu. Sementara saat ini Tamara sudah duduki di atas meja dapur. Entah kenapa Arei membawanya ke tempat itu. Mungkin saja karena kondisi sedang sepi. "Papa!" hardik Tamara. Ia langsung mendapat tatapan penuh arti dari mertuanya. "Ke mana suamimu sekarang?" tanya Arei. "Dinas ke luar negeri," balas Tamara membuang muka. "Maafin Papa," ujar Arei terlihat merasa bersalah. "Aku gak marah." Tetap saja Arei melihatnya masih cuek. "Tamara, Papa emosi. Papa gak bisa lihat kamu disakiti, apalagi pelakunya anak Papa sendiri!" "Iya tau, tapi kenapa harus kayak gitu? Aku jadi takut sama Papa, takut banget, apalagi tau kepribadian dan prilaku asli Papa. Kepercayaan aku udah gak sepenuhnya kayak dulu. Papa jahat!" Arei menghela napas, sudah menduga begini ujungnya. Ia merasa tidak enak, apalagi mengingat semalam ia hampir menorehkan noda di tubuhnya. "Papa cuma mau yang terbaik buat kamu. Biar kamu bisa dihargai sebagai istri, Tamara. Niat Papa cuma mau bantu. Baiklah, ayo segera lakukan program itu sebelum ada kata perceraian. Semakin ke sini, Ashlan semakin keterlaluan, Papa gak mau kamu dipulangkan!" Tamara meresapi ucapannya, lagi-lagi menjadi suatu ketakutan. "Ara belum siap, takut ada resikonya. Iya Papa cuma dukung, yang dapat konsekuensi tetap aku!" "Itu cuma ketakutan kamu yang malas bergerak buat maju. Masih betah kamu ditindas suamimu sendiri?" "Kenapa Papa jadi yang mengatur? Kalau aku cerai memang apa yang buat Papa rugi?" Tamara menautkan alisnya, menatap sinis penuh intimidasi. "Papa kesepian, cuma kamu yang selalu jadi teman di rumah ini. Lagipula pikirkan kembali Tamara, bagaimana tanggapan orang tuamu nanti?" Akhirnya Tamara menunduk, sebenarnya ucapan Arei memang yang menjadi alasan bertahannya, di pernikahan ini. "Ayo, Ra, Papa bantu, biar kamu dapat kasih sayang dari suami!" *** Belum ada satu hari full, sudah ada saja yang mengirim gambar yang menyakitkan mata, di malam-malam begini pula. Tamara melihat sebuah foto suaminya sedang digerayangi perempuan. Lebih parahnya, kali ini empat perempuan sekaligus. Diduga perempuan-perempuan tersebut bukan perempuan lokal, melainkan wanita barat. Itu tertanda sang suami sudah sampai tujuan. "Aku gak tau sudah berapa banyak penyakit yang hinggap di tubuh suamiku," gumamnya merasa miris. "Udah biasa, lihat langsung aja udah pernah, bahkan di kamar aku sendiri. It's okey, gak mau pusing, lebih baik aku ke dapur!" Selepas melempar ponselnya di atas ranjang, Tamara beranjak ke luar menuju dapur. Saat di sana, ia melihat Arei menggunakan celemek seperti sedang memasak. "Papa masak apa? Baunya aneh!" "Ini mau buat crispy chicken, tapi gosong, padahal bumbunya sudah benar!" balas Arei terlihat kerepotan. Tamara menengoknya, ternyata benar. Wajan hampir sepenuhnya berwarna hitam, ia pun mematikan kompor. "Apinya kebesaran, lagian kenapa gak minta masakin aku? Papa 'kan gak bisa masak!" "Kamu masih marah, papa ragu mintanya!" "Aku udah gak marah Pa ..., sini biar Ara yang masak!" Tamara cekatan membersihkan dan mengganti masakan yang akan ia buat. Namun, ia lupa memakai pelindung agar badan tidak kotor dari masakan. Arei pun memasangkannya, terlihat begitu lekat. "Pakai celemeknya, nanti kotor!" Kemudian ia duduk dan memegang sayuran, berniat untuk membantu. "Papa yang potong-potong sayu—akhh, astaga!" Tamara langsung menoleh, ia melihat ada darah mengucur di tangan Arei. "Ceroboh banget!" rutuk Arei pada dirinya sendiri. Ternyata belum sempat ia memegang sayuran, Arei sudah lebih dulu tertusuk ujung pisau yang lancip. Mungkin karena ia lengah dan terburu-buru. "Astaga, Papa!" Tamara sampai mematikan kompor dan meninggalkan masakannya. Ia menghampiri Arei yang kerepotan menghentikan darah yang terus keluar. "Sini tangannya!" Perempuan itu beraksi diluar perkiraan Arei, ia mengisap darah yang keluar dari tangannya. "Stop, Tamara!" Sementara Arei merasa seperti tersengat, mulut Tamara begitu hangat. Ada perasaan aneh di d**a, seperti sebuah sengatan listrik. "Kenapa?" tanya perempuan itu dengan tampang lugu. Arei menarik tangannya, ia mengambil kotak obat dan membalut lukanya menggunakan hansaplas. Kini, ia melihat darahnya menempel di bibir Tamara. "Kenapa jadi kayak mampir hisap darah orang?" Arei terkekeh menyentuh bibirnya. "Panik, lagian belum apa-apa udah kena pisau duluan. Papa gak ada bakat, masak-masak!" Kesal Tamara. "Papa bakatnya, di samsak sama barbel!" "Satu lagi, di ranjang hehe!" ujar Arei menambahi. Namun, tatapan Tamara terlihat sebal, Arei pun berkata lagi, "Bercanda ...." "Ya udah, aku mau terusin masakan!" "Eitsss, itu dihapus dulu darahnya!" Tamara terpaksa jatuh kembali di kursi, Arei mendekatkan wajahnya menatap intens bercak darah di birainya. "Biar Papa yang hapus!" Seketika Tamara terbelalak, ia merasakan lidah Arei menyapu bibirnya. "Kenapa gini caranya?" gumam dalam hati Tamara
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN