Bab 01. Istri Mandul

1039 Kata
Sudah dua tahun pernikahan, tetapi Tamara belum juga dikaruniai seorang anak, sehingga sang suami selalu mengatakannya mandul. Jika bicara soal cinta, mungkin kalau sudah tidak ada, Tamara tidak akan sanggup melihat suami yang dicintainya kerap berselingkuh. "Mau ke mana lagi kamu, Mas?" Tamara Lusita, perempuan malang yang rela meninggalkan masa mudanya karena menikah di usia remaja demi kerja sama para orang tua yang ingin segera memiliki cucu. "Jangan cari aku, mungkin aku pulang besok!" jawab Ashlan. Ashlan Deonelando, pria muda berbakat yang menjadi pengusaha sukses, meski belum lama ia lulus pendidikan. Berkat sang ayah yang menjadikannya penerus, Ashlan dikenal sebagai pria rich di usia muda. "Mas, buat apa tiduri banyak wanita tapi gak ada yang bisa buat hasilin anak. Kapan aku bisa dihargai sebagai istri?!" hardik Tamara yang merasa yakin jika suaminya ingin berkencan dengan perempuan lain. "Kamu sendiri bagaimana? Aku tiduri mereka karena kebutuhanku sebagai pria yang ingin kepuasan. Bukan untuk menghasilkan anak. Apa gunanya aku punya istri tapi gak bisa hamil, sementara tujuan kita menikah memang untuk itu!" "Lalu apa juga gunanya aku sebagai istri, tapi kamu sendiri mencari kepuasan yang lain? Mas, dua tahun pernikahan belum lama, kita butuh proses!" lantang Tamara, mulai merasa sesak di d**a. "Memang belum terlalu lama, tapi bagaimana orang tuamu yang sudah bawel ingin punya cucu?" Ashlan pergi melangkah, tanpa ingin tahu air mata sang istri sudah mulai berjatuhan. Sebelum benar-benar menghilang, ia berkata, "Mandul tetap saja mandul!" Tamara terduduk lemas, meski yang ke sekian kali ia rasakan itu, tetapi tidak kuat jika selamanya harus dirasakan. Hampir satu tahun ia mendapat perlakuan tidak baik dari suaminya. Namun, yang bisa ia lakukan hanya menangis dan pasrah karena rasa kecintaannya yang begitu besar. "Kemungkinan bukan aku yang mandul Mas, tapi kamu!" gumam Tamara, tertindih dengan suara tangisnya. *** Tengah malam. Tamara belum mendapati suaminya di samping tempat tidur, ternyata Ashlan memang benar tidak pulang. "Apa cuma aku yang punya suami, tapi rasanya seperti janda?" gumamnya, sebelum turun dari ranjang. Ia ingin mengisi tenggorokannya di dapur karena malam tadi ia terlupa menyimpan air di kamar. Namun, tiba di sana ia berbarengan dengan ayah dari suaminya. Dapur yang biasanya gelap pun tiba-tiba menyala. "Papa, baru pulang?" tanya Tamara. "Iya, baru saja. Papa belum makan, jadi ke dapur, ternyata gak ada makanan di sini!" "Mau Ara masakin?" Tamara melihat senyuman di bibir ranum sang ayah mertua. "Boleh, biar papa tunggu di sini!" Ia pun dengan suka hati melakukannya karena hanya sang ayah dari suaminya itu yang mampu memperlakukan dirinya dengan sangat baik di sini. "Kelembutan papa Arei yang menjadikan alasanku masih mau bertahan dengan mas Ashlan," batin Tamara. Areino Ratoka Zahrenda, pria itu sebenarnya belum cukup tua untuk dijadikan seorang mertua, ah atau memang Arei-Nya saja yang terlihat awet muda, sehingga kerap dikata adik kakak dengan anaknya sendiri. Hal itu wajar karena sebenarnya Arei belum memiliki anak dari siapapun, dan Ashlan bukanlah putra kandungnya, ia hanya merawat anak dari isterinya yang ia nikahi di kala wanita itu berstatus janda. Saat ini sang istri yang dicintainya telah meninggal dunia di saat mengandung anak darinya. "Sebelum pergi, papa sempat dengar perdebatan di kamar. Ada apa lagi sama anak itu?" Atensi Tamara teralihkan, sampai ia menatap sang ayah mertuanya yang sedang mengupas buah. "Biasa, soal anak lagi. Mama sama ayah makin bawel, padahal dua tahun pernikahan belum lama. Wajar aku masih proses." "Coba cek kesuburan, siapa tahu yang bermasalah di Ashlan, bukan kamu!" "Mas Ashlan keras wataknya, mau kenyataannya aku atau dia yang bermasalah, pasti dia menyangkal terus dan aku lagi yang disalahkan. Sebelumnya sudah pernah kuajak konsul, tapi aku berakhir dikunciin di kamar mandi." Mungkin dengan orang lain, Tamara tidak akan bisa terbuka seperti ini, apalagi mengadu. Hanya saja yang berhadapan dengannya itu orang yang sangat baik, sehingga Tamara merasa nyaman dan aman. "Keterlaluan, akibat gak dapat asuhan dari ibu dia jadi keras kepala, dan temperamen. Maafkan anak papa ya, Ra. Lain kali kalau dapat perlakuan kayak gitu lagi, bilang!" "Terima kasih, Pa. Aku masih mencintai mas Ashlan, jadi menurutku itu gak masalah," balas Tamara tersenyum. "Entah kenapa papa rasa memang dia yang bermasalah. Kalau itu benar, percuma saja kamu berharap hamil. Mau dia menyiksa, sampai terus-terusan mencemooh kamu mandul. Kenyataannya dia yang gak bisa beri keturunan. Papa memang gak nuntut kamu kasih cucu, tapi bagaimana dengan orang tuamu?" Penuturan Arei membuat Tamara berpikir, sehingga ia berucap lemah, "Hmm ..., bagaimana juga kalau akhirnya aku diceraikan, Pa?" "Papa, bisa bantu!" "Bantu ap—" Suara bel yang berbunyi di luar menunda pertanyaan Tamara. "Bentar Pa, sepertinya itu mas Ashlan baru pulang!" Tamara beranjak meninggalkan masakan, ia melihat seseorang yang memencet bel rumah. Ternyata, saat dibuka menampilkan sosok laki-laki dan tiga perempuan di belakangnya. "Mas, Ashlan!" "Dia mabuk, kita mau hantar ke kamar!" ucap salah satu perempuan di antaranya. "Biar aku saja, kalian pergilah. Haram rumahku diinjak jalang!" ucap Tamara, menohok, membuat mereka pergi dengan perasaan kesal. "Awas, aku gak mabuk!" tepis Ashlan, ingin berjalan sendiri. Namun, belum sampai melangkah beberapa tindakan, posisinya dihadang oleh sang ayah. "Papa!" teriak Tamara, saat melihat suaminya ditinju habis-habisan. "Semakin hari aku lihat kamu semakin liar, Lan! Ingat status, kamu punya istri!" murka Arei, membabi buta anaknya. Pria itu berhenti memukuli saat menantunya mencegah, melindungi anaknya. "Papa, dia suami aku!" "Sudah keterlaluan suamimu, Tamara!" Tamara membiarkan mertuanya marah sendiri, kini ia mengurus sang suami yang sudah berdarah akibat pukulannya. Namun saat itu, Ashlan seakan merendahkan sang istri, ia dibantu tetapi menolak, justru mencemoohkan. "Akibat kemandulanmu. Seharusnya yang disalahkan itu dia, gak guna. Aku akan mengurus perceraian!" Kemudian Ashlan pergi memasuki kamarnya dengan jalan terhuyung-huyung, sementara Tamara terdiam membeku meresapi ucapan suaminya barusan. "Sudah kubilang, anak itu semakin sialan!" ujar Arei. "Papa, bagaimana kalau mas Ashlan menceraikan aku? Aku gak mau, ayah dan mama pasti kecewa!" Tamara mulai terisak. Tidak menyangka pembelaannya dibalas perlakuan buruk. Arei siap berdiri tegak menjadi tumpuan Tamara. Saat itu, menantu dan mertua terlihat saling berpelukan. "Tenanglah, tidak akan ada yang namanya perceraian. Papa akan bantu kamu!" "Mas Ashlan sudah bosan Pa, aku yakin dia pasti mencari wanita penggantiku yang bisa memberinya anak!" Tamara masih menangis di dalam dekapannya. "Gak akan! Papa bilang, papa akan bantu!" Tamara mendongak, wajah tegasnya mengisyaratkan lain. Sedari tadi, ia terus mengungkapkan jika dirinya ingin membantu. "Apa yang bisa Papa bantu?" "Membantu membuatmu hamil, Tamara!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN