Tamara terbangun di tengah malam, ia mendapati papa mertuanya tidur di sofa. Saat menerka di mana letak dirinya sekarang, ternyata benar ia masih berada di kamar Arei.
"Ashh, sakit!" Tamara merintih karena saat bergerak wajah kaku dan terasa perih. Alhasil ia hanya mampu mengubah posisi tidur, menjadi miring. Bertepatan di hadapannya ada wajah sang ayah mertua yang tengah pulas.
"Papa baik banget ..., kalau ingat ucapanku semalam. Sumpah aku nyesel nyatain ingin dihamili papa. Cuma karena tekanan dari suamiku, gampang banget aku mutusin dihamili saja, tanpa pikir lagi kalau dia itu mertuaku. Astaga, didengarnya sangat menjijikkan!"
Tiba-tiba saat asik bergumam sendiri, Tamara baru ingat akan keberadaan suaminya sekarang. Dengan gerakan yang dipaksakan, ia pun beranjak dari tempat tidur, berniat mencari Ashlan di kamarnya.
Namun, baru beberapa langkah. Suara Arei menyeru, "Kembali lagi ke tempatmu, Tamara! Ashlan berada di rumah sakit!"
Tamara berbalik badan, lalu menatap ayah mertuanya dengan tatapan tidak mengenakan. "Papa apain suami aku?!"
Seketika Arei bangkit dari sofa, langsung membopongnya naik ke atas ranjang.
"Papa!" hardik Tamara.
"Dia lemah, Ra. Beraninya sama kamu, giliran berantem sama papa dia kalah, dan berakhir di rumah sakit. Besok baru kunjungi dia, sekarang sudah malam, lebih baik sambung tidur!"
"Sebenarnya dia lebih kuat dari papa, tapi dia gak bisa melawan karena papa orang tuanya. Papa sadar gak si, papa itu jahat!" rutuk Tamara. "Mau gimana pun dia tetap suami Ara!"
"Papa cuma kasih hukuman yang setimpal, Ra ..., itu pun belum sebanding dengan apa yang kamu rasakan!"
"Tamara sudah maafin, itu memang karena kesalahan aku sendiri yang gak becus jadi istri. Seharusnya Papa gak usah kayak gitu, aku gak apa-apa!"
Arei menautkan alisnya, kemudian berbalas, "Gak apa-apa? Semalam kamu keliatan gak kuat kesakitan, sampai meminta dihamili papa!"
Terdiam membeku, Tamara tidak dapat menjawab karena itu suatu hal yang memalukan. Persetan dengan rasa sakit semalam, ia bertindak bodoh tanpa berpikir panjang.
***
Keesokan hari. Pagi-pagi Tamara benar menjenguk suaminya ke rumah sakit. Ia hanya seorang diri karena Arei tidak mau sama sekali menjumpai putranya. Namun, kini ia digiring oleh lima bodyguard papa mertuanya, niat hati agar menantunya memiliki perlindungan dari sikap keras sang anak.
"Terlalu terlihat menyolok aku diikuti seperti ini. Kalian tunggu saja di lobby, jangan ikut masuk!" ucap Tamara.
"Maaf Nona, tujuan kami berjaga memang untuk melindungi Anda dari tuan Ashlan. Menuruti perintah saja, kita ditugaskan menjaga Nona ke mana pun!" balas salah satu bodyguard Arei.
"Terserah, keras kepala!" rutuk Tamara.
Ia tetap berjalan. Berusaha untuk lebih cepat dari mereka, tetapi sayang langkah para bodyguard itu dua kali lipat lebih cepat. Akhirnya Tamara pasrah harus diintili seperti itu.
Saat tiba di pintu ruangan, tepat di mana sang suami di rawat. Tamara dikejutkan kala pintu dibiarkan terbuka, sementara di dalamnya ada dua manusia yang b******u mengadu bibir.
"Viona," gumamnya, sebelum air mata menjadi saksi rasa sesak di hati.
Ya, Tamara menyaksikan suaminya sedang berciuman di atas brankar dengan perempuan yang sangat dikenalnya. Wanita yang berperan sebagai masa lalu yang sangat dicintai oleh Ashlan.
"Kita pulang!" ajak Tamara, memutar balikkan langkahnya, tak mau berada di dalam aksi mereka berdua.
Ia tahu jika menciduk keduanya, sudah pasti ia menduga akan mendapatkan perlakuan tak baik dari Ashlan. Alhasil, pulang pun pilihan terbaik.
"Baiklah, seharusnya aku gak usah sakit hati. Toh ini bukan yang pertama, aku sering lihat mas Ashlan begitu. Cuma saja, aku kaget, masa lalunya sudah pulang dari luar negeri," batin Tamara.
"Mau ke mana lagi, Nona?" tanya bodyguard yang bertugas menyupir.
"Ke dokter Diah, aku mau cek kesuburan!" balas Tamara sembari menghilangkan jejak air mata di pipinya.
***
Sudah terlihat sinar matahari pagi. Saat-saat seperti ini, sudah waktunya Arei nge-zym. Meregangkan otot-otot yang kaku, sebagai aktivitas rutinnya.
"Meski bukan lagi anak muda, aku harus tetap sehat supaya lebih kuat lagi memukul anakku," gumamnya. Terdengar tidak baik, tapi itulah caranya membalas perbuatan.
Namun sementara, maid yang lancang sesekali mondar-mandir tanpa tujuan ke tempat khusus olahraga Arei, sekedar untuk melihat pria itu dengan gagahnya mengangkat alat-alat zym.
"Bahkan anak muda kalah dengan tuan. Kenapa si, duda-duda sekarang hot banget? Dia bahkan terlihat lebih muda daripada anaknya," gumam salah satu pelayan.
"Entah bagaimana selera yang ingin tuan cari, aku rasa yang perawan pun susah dapatinnya. Buktinya, wanita secantik nona Helen saja masih gak diengahin," sahut teman pembantu yang lain.
"Andai aku cantik dan kaya, umur beda jauh pun gak jadi masalah."
Di saat mereka saling menggigit jari tak tahan melihat ketampanan majikannya, tiba-tiba seseorang datang menghancurkan imajinasi mereka.
"Ngapain ngintip majikan?"
Seketika mereka saling merunduk. "Eh Nona Ara, maaf tadi kita gak sengaja lewat sini. Hmm ..., kita kembali bekerja lagi ya, Non. Permisi ...."
Tamara melihat mereka saling berpencar dengan terburu-buru, seketika wajahnya pun judes. "Cari-cari kesempatan lihat Papa!"
Kemudian, ia menghampiri ruang zym Arei. Ternyata pantas mereka mencari kesempatan, sementara yang terlihat di sana sangat menyegarkan mata.
"Astaga ingat dia papa mertuamu Tamara. Cukup kasih hasil tes ini, lalu kita pergi!" batin Tamara.
"Ada apa, Ara? Oh ya bagaimana kondisi suamimu?"
Tamara perlahan menghampirinya, meski terlihat gugup dan malu sendiri. "Sudah membaik, Pa."
"Padahal papa berharapnya dia mati," balas Arei terkekeh. Pria itu tampak masih menggunakan alat zymnya dan Tamara justru gugup karena melihat keringatnya mengucur di badan.
"Aku gak mau jadi janda, Pa!"
"Nikah sama papa!"
Seketika Tamara melongok, tidak percaya dengan ucapan ayah mertuanya itu.
"Bercanda Tamara."
Sudah diduga karena ucapan itu tidak pantas dikatakan oleh Arei yang diketahuinya cukup dingin dan arogan.
"Apa yang kamu bawa itu?"
"Hasil tes kesuburanku!"
Arei langsung melepaskan alat-alatnya, dalam kondisi keringat yang berlomba berjantuhan, Arei mengambil suratnya dari tangan Tamara.
Setelah ia baca, ia pun merasa bangga karena praduganya tidak salah. "Dari awal papa yakin kamu memang sehat. Kalau s****a Ashlan normal, mungkin sudah dari sekolah dia banyak menghamili perempuan."
Tamara terkejut dengan ungkapan tersebut. "Maksud Papa apa?"
"Anak itu memang sudah nakal dari lahir. Mungkin menurun dari bapak kandungnya. Toh dia juga memang anak haram hasil perbuatan papa dan mamanya, dulu!" Tanpa disadari Arei sedikit mengumbar masa lalu.
Anehnya selama dua tahun pernikahan, Tamara belum mengetahui apa-apa saja yang terjadi tentang keluarga ini.
"Astaga, jadi Papa dan mas Ashlan ...?"
"Ya, Ashlan bukan anak kandung Papa. Dia anak hasil hubungan terlarang istri Papa dengan pacarnya. Papa bela-belain ngaku yang hamili dia padahal kenyataannya enggak. Papa sudah nakal jadi yaa orang percaya aja," balas Arei begitu santai.
"Kok bisa si aku baru tau? Astaga, pantes Papa kasar banget sama suami aku!"
"Tamara, walaupun Ashlan bukan anak kandung Papa, dia sudah kedagingan dari kecil. Papa yang rawat dari di masih merah, bahkan anak itu Papa sayangi lebih dari kasih sayang orang tua kandung. Cuma pas gede aja kayak gak tau diri!"