Kerja Sama

1142 Kata
Bagian 10 Dari jarak sekitar tujuh puluh meter, kulihat mobil Mas Ilyas juga sudah terparkir di depan rumah itu. Mas Ilyas turun lebih dulu, kemudian menghampiri mobil Nia, lalu membuka pintu mobil Nia. Saat sang tuan putri sudah turun dari dalam mobil, sang pangeran menggandeng tangan tuan putri tersebut, kemudian sama-sama melangkahkan kaki menuju rumah minimalis dengan cat kuning tersebut. Ternyata, mereka berdua sudah janjian untuk ketemuan di rumah itu tanpa sepengetahuanku. Pasti mereka akan melakukan sesuatu di dalam sana. Benar-benar jahat! Darahku terasa naik sampai ke ubun-ubun, menahan luapan emosi yang bergejolak di dalam d**a. Kedua tanganku mengepal, seolah siap untuk memberikan serangan kepada kedua pengkhianat itu. Tapi tunggu dulu, jika aku melabrak mereka sekarang, bisa-bisa Mas Ilyas akan marah padaku biarpun sudah terbukti kalau merekalah yang bersalah. Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku berdiam diri di sini, sementara di depan mata sudah jelas-jelas mereka berselingkuh. Ya Tuhan, aku bingung! Aku beristighfar sambil menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan. Akhirnya, aku berhasil meredam emosi dan memutuskan untuk mengurungkan niatku untuk melabrak mereka. Aku harus membalas mereka dengan cara elegan. Ya, aku harus bermain cantik. Harus bisa memberikan balasan setimpal untuk kedua penghianat yang mengaku sebagai suami dan sahabatku itu. Lebih baik aku pergi saja. Untungnya tadi aku sempat mengambil foto mereka berdua dari ponselku. Siapa tahu, aku membutuhkan foto ini suatu saat nanti. Saat dalam perjalanan pulang, tiba-tiba ponselku berdering. Aku langsung menepikan mobil dan melihat siapa yang menghubungi ponselku. Mas Rian? Kenapa ia meneleponku? "Halo, assalamualaikum," sapaku terlebih dahulu. "Wa'alaikumsalam, Sandra. Btw, lagi sibuk nggak?" "Nggak, sih. Aku sedang dalam perjalanan pulang ke rumah," jawabku, mengatakan yang sebenarnya. "Posisi kamu lagi dimana sekarang? Kalau kamu bersedia, kita ketemuan, yuk! Ada hal yang ingin Mas bicarakan denganmu." Kebetulan, akan kutunjukkan semua bukti yang sudah kudapatkan kepada Mas Rian. "Boleh, kita ketemuan di tempat yang kemarin, ya, Mas. Aku otewe sekarang." "Oke," ucapnya, kemudian sambungan telepon pun terputus. Aku segera melajukan mobil, menuju ke cafe tempat kami bertemu kemarin. *** Aku memarkirkan mobil di depan cafe, ternyata Mas Rian sudah tiba terlebih dahulu. Ia melambaikan tangan begitu melihat kedatanganku. Aku pun langsung menuju meja yang terletak di pojokan tersebut. "Sudah lama, Mas?" tanyaku berbasa-basi. "Belum, Mas juga baru nyampe, duduk dulu. Mau pesan apa?" "Aku mau yang dingin-dingin, Mas, soalnya hatiku lagi panas. Semoga saja minuman dingin tersebut bisa mendinginkan suasana hatiku," jawabku sambil menghempaskan bobotku ke atas kursi. Mas Rian memanggil waiters, kemudian memesan makanan dan juga minuman segar. Entahlah, padahal aku tidak berselera untuk makan, melihat pemandangan yang menyakitkan tadi, membuat selera makanku menjadi hilang. "San, kok ngelamun gitu? Ada apa?" Pertanyaan Mas Rian tersebut membuyarkan lamunanku yang terus saja memikirkan kedua pengkhianat itu. Aku mengambil ponsel dari dalam tas selempang yang aku kenakan, membuka galeri, kemudian menunjukkannya kepada Mas Rian. "Foto Ilyas dan Nia sedang bergandengan tangan seperti menuju ke sebuah rumah? Apa maksudnya?" Mas Rian mengernyitkan kening, berusaha mencerna maksud dari foto itu. "Foto itu aku ambil barusan, Mas. Saat ini, mereka berdua sedang berada di perumahan permata, di dalam rumah yang kami beli setahun lalu itu," jelasku, lalu langsung menyeruput minuman dingin yang baru saja diantar oleh waiters. "Mas nggak ngerti deh, Sandra, maksud kamu apa?" tanyanya lagi, Mas Rian masih kelihatan seperti orang yang sedang kebingungan. Aku meraih kembali ponselku dari genggaman Mas Ilyas, membuka w******p, kemudian menunjukkan semua chat Mas Ilyas dan Nia. Syukurlah, aku berhasil mengirimkannya ke ponselku, dengan begitu aku memiliki bukti, jadi Mas Rian tidak akan menuduhku asal bicara. Mas Rian tiba-tiba mengepalkan tangannya setelah membaca semua chat dan melihat foto tersebut. Wajahnya merah padam, terlihat sekali kalau ia sedang menahan amarah. "Maaf, Mas. Aku tidak bisa lagi menuruti keinginanmu untuk tetap mempertahankan Mas Ilyas. Aku tidak mau bersama dengan seorang lelaki yang telah berzina dengan wanita lain," ucapku dengan tegas. Mas Rian masih terdiam, mungkin ia masih shock. Aku mengerti apa yang ia rasakan, itulah yang sedang aku rasakan saat ini. Aku tahu, Mas Rian sangat mencintai Nia. Mungkinkah perasaan Mas Rian akan tetap sama setelah mengetahui ini semua? "Oke, Mas akan mengabulkan permintaan Nia. Mas juga tidak sudi mempertahankan Nia, seorang w************n yang memberikan tubuhnya disentuh oleh lelaki lain." Kukira Mas Rian akan tetap mempertahankan Nia, ternyata tidak! Mana ada lelaki yang mau menerima wanita seperti itu yang jelas-jelas sudah tidur dengan lelaki lain? Sebejat-bejatnya seorang lelaki, pasti menginginkan wanita baik-baik. Apalagi Mas Rian adalah seorang lelaki baik-baik, ia pantas mendapatkan wanita baik-baik, yang pastinya bukan Nia. "Tapi, Mas akan pastikan bahwa Nia tidak akan mendapatkan apa-apa. Tabungan, perhiasan, serta mobil yang saat ini ia kendarai kemana-mana akan Mas sita. Selama ini, Mas selalu berdoa untuknya, Mas masih mengharapkan ia kembali pada Mas. Tapi apa yang ia lakukan, justru di luar sana ia bermain gila dengan lelaki lain yang sudah beristri. Tiada maaf baginya." Kelihatannya, Mas Rian sudah telanjur benci kepada Nia. "Apa rencanamu sekarang, Sandra?" "Aku juga akan melakukan hal yang sama denganmu, Mas. Aku tidak mau Nia menikmati semua harta yang seharusnya menjadi milikku. Bukannya serakah, tapi aku hanya ingin mengambil alih apa yang seharusnya menjadi hakku. Itu saja!" "Mas setuju. Segeralah urus semuanya. Kamu harus mengambil apa yang seharusnya menjadi milikmu, Sandra. Jangan biarkan mereka berdua bahagia di atas penderitaan kita." Aku menganggukkan kepala, sambil mengaduk-aduk minuman yang hampir tandas. "Jika butuh bantuan, Mas bisa membantumu. Jangan sungkan. Kita punya misi yang sama, dan kita sama-sama korban dari pengkhianatan pasangan kita masing-masing." Kebetulan sekali, aku memang sedang membutuhkan orang yang bekerja di bidang notaris. Aku akan membalik nama semua aset yang masih atas nama Mas Ilyas. Ingin kuubah menjadi atas namaku. "Iya, Mas, aku memang sedang membutuhkan jasa notaris. Apa Mas bisa membantuku?" "Mas punya teman yang bekerja di bidang itu. Besok, Mas akan mengantarmu ke kantornya." "Baiklah, Mas. Kalau begitu, aku duluan ya. Masih banyak urusan soalnya." Aku kembali menyeruput minuman yang hampir tandas tersebut. Cuaca hari ini benar-benar panas, ditambah suasana hatiku yang juga panas, membuatku merasakan haus yang luar biasa. Biarpun sudah menghabiskan satu gelas minuman segar, tapi ternyata belum cukup untuk menghilangkan rasa hausku. "Minim ini saja," ucap Mas Rian sambil menyodorkan gelas minumannya yang belum diminum sama sekali. "Nggak udah, Mas," tolakku. Walaupun aku masih haus, tapi aku masih bisa menahannya, paling tidak sampai keluar dari cafe ini. Di pinggir jalan sana banyak penjual minuman, jadi aku bisa membelinya nanti. "Nggak apa-apa. Ayo minumlah!" Mas Rian kembali menawarkannya padaku. Akhirnya, aku meraih gelas yang berisi minuman tersebut, kemudian langsung meminumnya hingga tandas. "Gitu dong, jangan malu-malu. Mulai sekarang anggap saja bahwa Mas ini adalah sahabatmu. Mas juga begitu, sudah menganggapmu sebagai sahabat." "Siapkan fisik dan mental, ya. Karena setelah ini, kita akan sama-sama berjuang untuk membalas sakit hati kita kepada para penghianat itu. Bersiaplah." Aku mengacungkan jempol, menunjukkan bahwa aku sudah siap. Baik secara fisik maupun mental. Bendera perang sudah ditebarkan, saatnya bertempur untuk menentukannya siapa pemenangnya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN