Rara berlari saat tau ada mobil Husein di depan gerbang. Ia harus menghindari Husein bagaimanapun caranya. Karena, hari ini, Rara harus mulai bekerja. Husein yang melihat Rara lari menjauh darinya, mengkerutkan alis bingung. Kenapa Rara lari? tak tinggal diam, ia mengejar Rara yang berlari kearah samping sekolah. Rara tersenggal-senggal dalam larinya. Hal yang tak ia sukai masih sama, olahraga. Kalau dia yang olahraga, gak akan sehat tapi badan malah sakit semua. Rara mencari toilet umum untuk berganti pakaian. Tarikan di tas nya membuat ia menoleh. Wajah sangar Husen terpampang di depannya. "Mau kemana?" tanya Husein. Rara yang masih ngos-ngosan bingung mau jawab apa. "Kaka tanya sekali lagi, mau kemana?"
"Mau ke toilet kak." jawab Rara menundukkan kepalanya. "Yaudah cepet, kaka tungguin."
Rara menunduk sambil berjalan memasuki toilet umum. Di dalam toilet, ia hanya merenung. Husein menunggunya di luar. Bagaimana caranya ia pergi tanpa ketahuan? Rara yakin, kalau Husein mengetahuinya yang bekerja. Pasti Husein akan menggunakan mulut pedasnya untuk membodoh-bodohkan dirinya.
Menunggu memang hal yang paling membosankan. Apalagi kalau sudah berjam-jam. Sejak tiga puluh menit yang lalu, Husen menunggu Rara yang tak kunjung keluar kamar mandi. Entah apa yang dilakukan gadis itu. Dengan tidak sabar, ia menghampiri toilet, menggedor-gedor pintu kecil toilet umum itu dengan brutal. Bahkan, rasanya dia ingin menendang pintu itu hingga rusak.
"Unyil, cepetan! Kamu ngapaian aja sih di dalam?" teriak Husein, namun tak ada jawaban. Husen menggaruk pipinya kasar, kebiasaan saat kecil kala ia kesal. "Kalau kamu gak keluar, aku dobrak nih!" Husein menyisingkan kaos nya. Berlagak akan mendobrak pintu.
"Eh mas, berisik banget sih. Gak punya sopan-santun. Siapa yang kamu panggil unyil hah?" teriak ibu-ibu yang baru membuka pintu toilet. Husein kaget, bukannya tadi Rara yang ada di dalam?. Lalu, kemana gadis mungil itu menghilang? Menghiraukan ibu-ibu tadi, Husein celingukan ke kanan-kiri mencari keberadaan Rara.
"Sial!" umpat Husein kesal kala tak menemukan Rara.
Disisi lain. Rara sudah berganti pakaian dengan seragam kerja ReRa Cafe. Suatu kebanggaan bagi Rara bisa mengelabuhi Husein.Saat Husein tak menghadap ke pintu toilet, dengan secepat kilat Rara kabur. Dan disinilah dia sekarang. Di Rumah makan yang sudah menerimanya menjadi tenaga kerja. Karena Rara tak punya pengalaman apapun, ia hanya bagian bantu-bantu, seperti potong sayur, cuci sayur dan cuci piring Walaupun begitu ia terima dengan senang hati.
Rara mendapat banyak teman, crew cafe yang kebanyakan laki-laki, menatap terpesona kearah Rara yang dinilai sangat imut. Selama hampir lima jam, Rara kerja. Rara tak pernah bisa melakukan sesuatu dengan benar. Ketika potong sayur, tangannya akan terkena pisau. Merebus sayur, tangannya terkena air panas. Menyapu, banyak debu yang masih menempel. Mengepel, Aldrik harus rela jatuh karena lantainya terlalu licin. Semua mata bergantian menatap diam-diam kearah Rara yang tidak bisa apa-apa. Rara sudah hampir menangis. Kenapa tangannya tak bisa diajak kompromi untuk saat ini saja. Kenapa ia lahir dalam segala bentuk kekurangan.
"Kamu cuci piringnya ya Ra, hati-hati tapi!" titah Aldrik pada kembarannya. Rara mengangguk, kali ini, ia harus bisa.
"Rara!" teriak seseorang yang berdiri dengan nafas memburu di depan pintu. Panggilan yang tiba-tiba membuat Rara kaget, hingga menjatuhkan piring yang ia pegang, dan berakhir pecah di lantai.
"Apa-apaan kamu hah? kamu kerja disini? sejak kapan?" tanya Husein dengan nafas menggebu-gebu. Dari sejam yang lalu, Husen sudah mengamati Rara. Dan menahan diri untuk tidak memarahi Rara. Tapi, melihat Rara yang sudah banyak melukai dirinya sendiri, membuat Husein tak bisa tinggal diam.
Rara menundukkan kepalanya, ia tak tau bagaimana Husein mengetahuinya kalau ia ada disini. "Siapa yang menerimamu kerja disini?" desis Husein dengan tatapan tajam. Semua orang menunduk. Kalau saja, Husein bukan adik pemilik Cafe ini, pasti ia sudah di tendang karena teriak-teriak. Husein adik kandung Regan sang pemilik cafe (Baca cerita Jodoh).
Tadi, karena lelah mencari Rara, Husein berniat mampir di cafe kakaknya sekedar minta es teh atau apalah. Tapi, pandangannya malah menangkap sesosok mahluk yang sudah ia incar sejak tadi. Husein hanya duduk diam mengamati setiap apa yang dilakukan Rara. Karena tak tahan melihat tatapan mencemooh orang-orang pada Rara, ia pun tak bisa lagi menahan ledakan emosinya.
"Kamu bodoh apa bagaimana hah? udah tau gak bisa melakukan apa-apa, sok-sokan mau kerja. Itu tangan kamu kenapa? kena pisau? satunya lagi kenapa? kena air panas? dasar bodoh!" teriak Husein dengan tak berperasaan. Rara malu setengah mati, Husein memarahinya dengan tidak tanggung-tanggung.
"Nangis lagi! terusin aja sifat cengeng kamu!" bentak Husen. Rara sudah tidak kuat di perlakukan seperti itu. Ia melepas celemek yang ia pakai. Berlari menuju pintu belakang dapur.
"Rara berhenti!" Husein mengejar Rara yang berlari. Kena, Husein mencekal erat pergelangan tangan Rara. Rara meringis kesakitan. Tenaga Husen sangat kuat.
Bugh!
Aldrik memukul rahang Husein, membuat Husein spontan melepaskan cekalannya pada Rara.
Tak mau di tangkap lagi oleh Husein, Rara segera berlari menjauh. Husein ingin mengejar, tapi Aldrik menghadangnya. "Apa mau mu?" desis Husein tidak suka. Husein ingin melontarkan kalimat kejam pada Leader dapur di cafe kakaknya, tapi ia masih waras untuk tidak cari masalah dengan Regan. Mengingat, Aldrik adalah anak emas Regan.
"Harusnya aku yang tanya, apa mau mu? kau siapanya Rara hingga berani memperlakukannya seperti itu!." teriak Aldrik di depan wajah Husein. Tak merasa takut sedikitpun, Aldrik menatap tajam Husen.
Husein meneliti setiap inchi wajah Aldrik. Wajah yang hampir sama dengan Rara. Husein pernah mendengar, kalau wajah laki-laki dan perempuan itu sama namun tak sedarah, bisa jadi itu jodoh. Husein mengepalkan tangannya, tak rela Rara berjodoh dengan Aldrik.
"Bukan urusanmu!" kata Husein meninggalkan Aldrik. Ia harus menemukan Rara segera. Ia akan memberikan pelajaran yang akan terus diingat gadis itu.
Rara berjalan menuju jembatan sungai yang airnya sangat deras. Ia duduk dengan kaki menjuntai kebawah. Sial sekali nasibnya. Sudah tak diakui orang tuanya, tidak bisa melakukan apapun dengan benar, dan selalu berurusan dengan Husein. Rara memejamkan matanya. Mengusap air matanya yang jatuh. Rara ingin segera pulang dan tidur. Tapi, ia tak tau dimana ia sekarang. Ia tak pernah keluar rumah hanya sekedar nongkrong dengan teman. Rara berfikir, Kalau bisa, ia berharap untuk tidur, namun tidak kembali bangun. Raga dan pikirannya sudah kelewat lelah. Ia bodoh dan tak berguna. Lalu kenapa ia masih hidup?lagi-lagi Rara menghapus air matanya. Ia iri pada Tiara yang pintar, cantik dan di sukai banyak orang. Sedangkan dirinya? sudah bodoh, banyak yang tak suka.
Rara memandang kearah bawah sungai. Pikiran negatif mulai berlomba-lomba merasuki Rara. Apa ia jatuh saja di sungai, biar dia tak selalu menanggung duka.Toh, percuma dia hidup kalau tak ada harga dirinya. Batin Rara.
"Oh disini ternyata? gadis kecilku yang nakal." sinis Husein di belakang Rara. Husein menatap meremehkan kearah Rara. "Jangan drama. Sini bangun!" titah Husein. Rara memejamkan matanya erat. Hatinya sudah kelewat remuk dengan ketidak adilan dunia. Husein selalu memerintahnya, mengaturnya ini itu, dan selalu memarahinya. Rara bagaikan kelinci yang siap di mangsa serigala seperti Husein. Rara lemah dalam segala hal. Membuatnya tak bisa berkutik ketika ditindas.
"Cepat bangun!" desis Husein sekali lagi.
Karena tak melihat pergerakan Rara. Husein menarik lengan Rara. Melihat wajah memerah Rara membuat hati Husein tercubit. Tanpa ba-bi-bu lagi, Husein menggendong tubuh Rara ke mobilnya. Meletakkan di kursi belakang dengan hati-hati. "Makanya jangan ceroboh! kalau tidak bisa kerja jangan kerja!" ucap Husein mengambil antiseptik yang selalu ia letakkan di dashboard mobilnya. Mengoleskan pada tangan Rara yang terkena pisau juga tumpahan air panas. Lagi-lagi, di depan Husein, Rara hanya bisa diam dan menunduk.
"Mana lagi yang sakit? aku obatin!" Rara menggeleng, yang sakit hatinya, hatinya selalu sakit mendengar penghinaan dari laki-laki di depannya. Tapi, ia bisa apa selain menunduk.
Husein mengambil sebungkus nasi rendang yang tadi ia beli. "Makan ini! kamu pasti lapar," titah Husein. Sedetik kemudian ia memalingkan wajahnya ke jendela. Ia tak suka melihat wajah sendu Rara. Sakit yang dirasa Rara selalu menular di hati Husein. Padahal Husein tau, kalau sumber rasa sakit Rara, salah satunya adalah ucapan pedas dari dirinya.
Rara memakan makanannya dengan lahap. Ia memang sudah sangat lapar. Uangnya tinggal lima ribu rupiah. Itupun, tertinggal dalam tas yang masih ada di Cafe. Dia melupakan tas nya begitu saja karena ketakutan dengan Husein.
Setelah selesai makan, Husein mengantar Rara pulang. Dalam perjalanan pun, tak ada yang berniat memecah keheningan. Husein dan Rara sibuk berperang dengan pemikiran masing-masing. Saat sampai di gerbang rumah Rara. Di sana sudah ada Aldrik yang menunggu sembari menenteng tas Rara. Emosi Husein yang mulanya sudah surut, kini bangkit kembali. Husein ingin menghajar wajah sok kegantengan dari Aldrik. Dengan tergesa-gesa, ia turun dari mobil. Berlari kearah Aldrik, dan menarik kerah baju remaja itu.
"Apa yang kak Husein lakuin?" jerit Rara kaget. Aldrik menatap sinis kearah tangan Husein yang mencengkram erat lehernya.
"Urusan kita belum selesai!" tekan Husein dengan tajam.
"Ayo kita selesaikan," jawab Aldrik tak kalah menantang.
"Kak Husein sudah. Mending kak Husein pulang. Ini udah sore, " ucap Rara melembutkan suaranya.
"Masalah ini harus diselesaikan sekarang juga," balas Husein.
"Apa yang mau diselesaikan? kenapa Kak Husein marah tanpa sebab kepada kak Aldrik?" tanya Rara melepas paksa cengkraman tangan Husein pada Aldrik. Husein menatap tajam Rara. Benar juga apa yang dikatakan Rara. Kenapa Husein marah ketika ada pria yang mendekati Rara? apa dia cemburu? cuihh, gak akan ada kata cemburu dalam kamus kehidupan Husein. Husein biasa menjadi dominan. Tak akan terjebak dalam kebucinan yang menurutnya gak akan ada gunanya.