1. Sengsara

1190 Kata
Part 1 BRUGH! Seorang pria berbadan besar dengan kepala plontos menabrak. Tubuhku yang lumayan kurus ini sampai harus terjungkal karenanya. Begitu juga dengan lelaki tersebut. Map yang tengah kupeluk jatuh berserakan. Berkas-berkas yang telah dipersiapkan untuk melamar pekerjaan berhamburan. Si lelaki pun mengalami hal yang serupa. Kulihat tas yang ia pegang terlempar akibat benturan. Anehnya kenapa tas itu seperti kepunyaan seorang wanita. "Jambrettt!" Tiba-tiba terdengar suara wanita berteriak. Pria plontos yang masih terengah-engah napasnya itu gegas bangkit. Lalu langsung menyambar tas kulit yang terlihat begitu mewah itu. Dan lari terbirit-b***t. "Jambrettt!" Wanita cantik dengan kaca mata hitam di atas kepalanya kembali berseru. Sekarang aku paham, pria plontos itu adalah berandal. Aku harus menolong perempuan itu. Lantas mata ini bergerak mencari alat untuk menghentikan laju. Kebetulan ada sebuah batu yang cukup besar. Lumayan jika digunakan untuk menimpuknya. Tanpa membuang waktu lagi kuraih batu tersebut. Lantas mulai melemparkan benda berat tersebut. Beruntung tepat sasaran. Si jambret itu tersentak kaget saat kepalanya terkena batu. Jambret itu membalikkan badan dengan wajah murka. Tentu saja nyaliku ciut melihatnya. Namun, sudah kepalang tanggung. Aku harus menghadapi. Kembali mata ini mencari-cari sesuatu untuk jaga-jaga. Sayangnya hanya sebuah batu pun sulit didapat. Akhirnya setelah bingung mencari senjata, sementara si jambret kian mendekat. Maka tanpa ragu lagi kulepas sepatu pantofel berhak lima centimeter ini. Tanganku langsung menolak sepatu hitam tersebut dan tepat sasaran. Sepatu itu mendarat mulus mengenai perut besar si bandit. "Kurang aj*r!" Si bandit berteriak marah. Sepatu di kaki sebelah kiri aku lepas. Lantas kugunakan lagi untuk menimpuk si kepala plontos. Pria itu menangkis serangan sepatuku dengan bahunya yang telah terlapisi jaket kulit itu. Selanjutnya si berandal berlari mendekat. Aku sekuat tenaga ingin menghindar. Namun, sudah kena tubruk terlebih dulu. Tubuhku terjerembab kembali. Dan si kepala plontos langsung menjambak. Dia menarik rambut yang kuikat kucir kuda ini ke atas tinggi-tinggi. Membuat mulutku memekik kesakitan. "Awww!" Aku menjerit sakit karena tidak hanya menjambak, si bandit sialan ini juga menampar pipiku kuat-kuat. Selain meninggalkan rasa panas dan sakit di pipi, telinga ini juga berdenging karenanya. Rasa asin terkecap di lidah. Sepertinya bibirku pecah lantas berdarah akibat gamparan tangan besar si berandal. Tidak sampai di situ, dia juga mengunci tubuhku. Di antara rasa sakit itu otak ini berjalan. Tenagaku tidak cukup kuat untuk melawan. Apalagi sejak tadi pagi perutku belum terisi makanan. Hanya segelas air teh untuk pengganjal ketika berangkat mencari pekerjaan. Tiba-tiba aku teringat jika seorang pria perkasa bisa bertekuk pasrah apabila keintimannya ditendang. Dan adegan seperti itu sering kutonton di sinetron. Tanpa membuang waktu lagi, kugigit keras tangan si bandit yang masih menarik rambut. "Arghhh!" Si bandit mengerang kesakitan. Cekalan pada rambut terlepas. Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Dengan segenap tenaga yang terkumpul kutendang kemaluan si bandit sekeras mungkin. "Aduuuhhh!" Mulut si bandit mengaduh kesakitan lagi. Pria tinggi besar itu sampai terbungkuk-bungkuk saking sakitnya barangkali. Lalu tiba-tiba dua petugas keamanan datang. Keduanya menyerang si bandit dengan pentungan. Akhirnya, kedua petugas keamanan itu berhasil meringkus sang penjahat. Lantas menggelandangnya ke kantor untuk dimintai pertanggungjawaban. Aku sendiri lekas memungut tas mewah bermerk brand terkenal dari negeri Napoleon itu. Sementara itu orang-orang yang tadi melihat saja kala aku menghajar bandit, mulai mendekat. Begitu juga dengan sang pemilik tas mahal tersebut. "Mbak, gak papa?" tanya wanita cantik berbaju bagus dengan ikat pinggang kecil di perut itu dengan lembut. Mata lentiknya yang berhias maskara menatapku perhatian. "Saya baik," jawabku memaksakan untuk tersenyum. Walau sebenarnya pipi dan rambut ini masih terasa sakit. "Ini tasnya. Silahkan diperiksa barang kali ada yang hilang." Kuserahkan tas kulit warna putih tersebut. Wanita cantik berkalung mutiara merah muda itu menerima tasnya. Lalu mulai memeriksa isinya. "Alhamdulillah ... isinya masih utuh," ujarnya disertai senyuman. "Syukurlah." Aku berucap lega. Selanjutnya kupunguti berkas-berkas yang tercecer. Wanita muda itu ikut membantu. Ketika kuambil sepatu bekas melempar si bandit, hati ini tergerus sedih. Sebab hanya itu sepatu satu-satunya yang ada. Dan kini kembali robek. Padahal beberapa hari lalu sudah kututup dengan lem super. Mungkin memang sebaiknya harus diganti dengan yang baru. Andai aku punya uang lebih. "Bibir Mbak berdarah, mari saya bawa berobat." Aku tersentak dari lamunan mendengar tawaran dari wanita cantik itu. Tawaran tulus dari perempuan umurnya terlihat lebih muda dariku. "Mari!" Aku tak kuasa menolak lagi. Saat tangannya terulur, ragu-ragu aku sambut. Benar-benar tangan yang halus bak kulit p****t bayi. Pastinya dia tidak pernah bekerja kasar. Mendadak aku jadi rendah diri. Telapak tangan ini penuh kapal di mana-mana. Pertanda diri ini memang seorang pekerja keras. Aku takut jika tangan halusnya lecet menggenggam telapak tangan kasar ini. Perempuan yang tinggi badannya lebih satu jengkal itu membawaku hingga mobilnya. Mobil sedan berwarna putih yang terlihat begitu mengkilat. Begitu masuk hawa sejuk dari mesin pendingin udara menusuk kulit. Masih dengan menyunggingkan senyum, wanita itu mulai melajukan mobil. "Kalo boleh tahu, namanya siapa Mbak?" Perempuan cantik itu bertanya dengan pandangan fokus ke depan. Sementara kaca mata hitam sudah di hidungnya. Menambah kesan anggun yang mendalam. "Nama saya Kira ... Shakira," jawabku sambil mengatupkan kedua tangan di d**a. "Saya Nina. Sandrina," balasnya dengan senyum yang menawan. Selanjutnya mobil yang kami tumpangi berhenti sebuah klinik. Seorang dokter memeriksa, lalu menutup luka di samping bibir ini dengan plester. Setelah itu Sandrina mengajakku ke suatu tempat. "Mbak Kira kerja di mana?" tanya Sandrina dalam perjalanan. "Saya baru kena PHK dua Minggu lalu. Hari ini rencananya keliling melamar pekerjaan." Aku menjawab jujur. "Kenapa di-PHK?" Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaan peduli dari gadis ini. "Saya karyawan kontrak dan masa kontrak saya sudah habis," jawabku menunduk menatapi map yang berada dalam pangkuan ini. "Mbak Kira sudah menikah?" Sandrina bertanya dengan sangat hati-hati. Mungkin takut jika pertanyaan yang ia lontarkan tidak berkenan di hati. "Saya single mom," balasku jujur. "Oh ... maaf," ucap Sandrina tampak tidak enak hati. "Gak papa." Aku tersenyum kecil. Sandrina membawaku ke sebuah mal. Gadis berambut hitam legam itu membelikanku sebuah sepatu. Bibirku ternganga melihat harga yang tertera di label. Bagiku itu cukup mahal. Sandrina juga membelanjakan aku beberapa buah kemeja dan tas. "Gak papa. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih karena Mbak Yumi sudah menolong saya," ujarnya saat kutolak pemberian darinya beserta beberapa lembar uang merah. "Menolong seseorang adalah kewajiban karena Allah ta'ala. Dan saya tidak ingin mendapatkan imbalan atas kewajiban yang harus dilakukan," ujarku saat Sandrina bersikeras memaksa. Sandrina tidak berkutik mendengar jawabanku. Gadis ramping itu mengembalikan baju-baju itu dan tas kembali ke tempatnya. Namun, sepatu pantofel hitam berhak sepuluh centimeter itu tetap ia sodorkan untukku. Dia beralasan jika sepatuku perlu diganti. Sandrina tidak hanya berhati baik. Akan tetapi, juga pengertian. Mengetahui perutku bernyanyi keroncongan, dia mengajak makan ke gerai ayam. Ketika sedang menunggu pesanan, Sandrina menelepon seseorang. "Tunangan saya baru saja membuka cabang distronya. Sepertinya dia butuh banyak karyawan. Semoga Mbak Kira bisa diterima," ujar Sandrina usai menutup ponsel. "Terima kasih." Aku terharu mendengarnya. Lima belas menit berlalu. Kami menikmati ayam goreng ini dengan saling bercerita. Sandrina selain cantik dan baik, dia juga ramah. Gadis itu tampak senang mendengar cerita putri semata wayangku. "Sudah lama, Sayang?" Aku mengenal suara itu. Suara yang dulu begitu kurindukan. Suara membuatku jatuh cinta hingga melayang ke udara. Namun, tidak lama terjungkal ke jurang keterpurukan. Dengan sekuat tenaga yang berhasil dihimpun, kutengok pemilik suara tersebut. Fix. Dialah ayah dari putri semata wayangku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN