"Kau yakin laporan ini layak aku terima?"
Elena melepas kacamata lalu memijat hidungnya pelan. Ia mengambil segelas kopi yang bertengger di mejanya lalu menyeruputnya perlahan. Matanya masih menatap Anggi dengan santai namun mengintimidasi.
"Kau sudah berapa lama bekerja di perusahaan ini? Kau menempatkan aset dan kewajiban pada kolom yang salah. Kau ingin membuat perusahaan ini bangkrut? Kau kira ini perusahaan kakekmu? Revisi lagi! Jam tiga laporan harus sudah ada di meja saya. Dan saya tidak menolerir kesalahan klasik seperti ini lagi."
Elena memakai kacamatanya kembali. "Kau boleh keluar!"
Elena melihat wajah Anggi memucat. Lalu tiba-tiba perempuan itu tertawa. "Mungkin Pak Gio akan berkata seperti itu kalau dia ada di sini sekarang. Revisi lagi. Aku tunggu sampai jam lima," kata Elena santai.
"Ya ampun. Kau benar-benar membuatku kaget tahu tidak? Aku kira kau sungguh marah padaku. Jantungku rasanya mau copot," ucap Anggi.
Elena tertawa. Akuntan yang baru masuk satu tahun yang lalu itu begitu polos dan Elena senang mengerjainya. Seperti tadi, Elena dapat melihat wajah Anggi yang memucat dan matanya yang sedikit memerah.
"Wajahmu lucu."
Anggi mengurucutkan bibirnya kesal. "Sudahlah, aku pergi."
Ketika Anggi keluar, Elena kembali menatap layar laptopnya dengan serius. Sebagai seorang asisten manajer, Elena harus menggantikan Gio, managernya yang sekarang sedang cuti. Sudah tiga satu bulan Elena menduduki posisi sebagai manager pengganti dan kini ia sudah mulai lelah dengan pekerjaan yang menumpuk dan deadline dari direksi yang seperti menerornya setiap menit.
Elena melihat jam laptopnya sudah menunjukkan pukul setengah satu. Ia baru saja akan membuka ponselnya untuk memesan makanan ketika pintu ruangannya tiba-tiba terbuka dan seorang perempuan dengan kemeja biru memasuki ruangannya.
"Ayo kita makan, El. Kau sudah lama tidak makan bersama anak-anak," ajak Ayumi, sahabat Elena sejak kuliah yang kini menjabat sebagai akuntan senior di kantornya.
"Mentang-mentang sudah naik pangkat, kau sekarang tidak pernah keluar untuk mengobrol dengan yang lain, bukan?" ucap Ayumi lagi saat Elena tak menjawab.
"Itu benar. Jadi tolong jangan buka pintu ruanganku dengan kurang ajar seperti tadi. Tolong jaga sopan santun Anda," Elena membuka kacamatanya lalu menatap Ayumi dengan senyum lebar.
"Si-al," umpatnya pada Elena. "Ayo! Yang lain sudah menunggu di kantin."
Elena merapikan rok span pendeknya yang sedikit tertekuk karena duduk terlalu lama lalu berjalan mendekati Ayumi.
Suasana kantin terlihat ramai seperti biasa. Elena mungkin tidak akan menemukan teman-temannya di lautan orang itu jika Nendra tidak mengangkat tangannya dan berteriak kepada mereka berdua.
Sungguh perbuatan yang tidak terpuji. Batin Elena.
"Hei, Ibu Elena. Lama tidak berjumpa. Darimana saja selama ini, Bu?" ucap Nendra ketika ia sampai di depannya.
"Tolong, orang sibuk jangan diganggu. Orang pinggiran ke laut saja," sahut Ayumi.
Elena hanya tersenyum kecil lalu duduk di sebelah Natha. Laki-laki itu sedang sibuk menikmati ayam bakarnya tanpa bereaksi dengan kedatangan Elena. Natha adalah seorang manager personalia yang baru diangkat lima bulan yang lalu. Mereka bertiga adalah teman dekat Ayumi di kantor. Elena hanya orang yang masuk ke dalam pertemanan mereka karena Ayumi sering mengajaknya pergi meskipun Elena selalu menolaknya dengan halus.
"Entah kenapa aku suka melihat kalian duduk berdampingan seperti ini. Bukan begitu, Nat?" Ucap Nendra lagi.
Temannya yang satu itu memang suka membuat suasana antara dirinya dan Natha menjadi canggung. Natha melayangkan tatapan tajam pada Nendra sedangkan Elena hanya tersenyum menanggapi perkataan laki-laki itu. Ia lebih fokus dengan nasi opornya yang telah dipesankan oleh Ayumi tadi.
Sekilas ia melihat Natha terlihat tampan seperti biasa. Laki-laki itu mengenakan kemeja hitam dan rambutnya yang di potong pendek disisir kebelakang dengan rapi. Matanya sedikit sipit, hidungnya mancung, dan ia mempunyai tahi lalat kecil di puncak hidungnya. Pasti banyak perempuan yang menyukai laki-laki itu di kantornya.
"Enak saja. Elena ingin aku kenalkan kepada sepupuku," ucap Amara, salah satu sahabat Ayumi sejak kuliah. Beberapa kali Elena bertemu dengan perempuan itu dan kadang-kadang mengobrol dengannya.
"Bagaimana, El? Mau tidak aku kenalkan dengan sepupuku? Daripada dia sibuk kerja di luar negeri tidak pulang-pulang, lebih baik langsung menikah saja."
"Kau yakin sepupumu itu tidak penyuka sesama jenis?" tanya Ayumi.
"Jangan berbicara sembarangan, dia pernah menjalin hubungan dengan perempuan."
"Asal kalian tahu, Elena sudah mempunyai kekasih sejak dulu," ucap Ayumi yang seketika mendapat tatapan tajam dari Elena.
Elena tidak lagi mendengarkan pembicaraan mereka lagi. Pikirannya kini kembali ke kejadian tujuh hari yang lalu. Sudah satu minggu Bara tidak menghubunginya. Laki-laki itu benar-benar meninggalkannya. Bahkan untuk mendengarkan suaranya pun Elena tidak mempunyai keberanian. Jujur, Elena merindukan Bara. Dia butuh Bara. Tapi dia tidak mau bersikap egois dan memaksa lelaki itu tetap di sisinya.
Elena tahu, ia hanya perlu mengatakan cinta pada lelaki itu agar Bara kembali padanya. Tapi, kenapa hal itu begitu susah? Elena tidak mau membohongi Bara dan dirinya sendiri dengan mengatakan cinta pada pria itu. Ia tahu itu akan membuat Bara lebih terluka.
"Kapan kalian akan menikah, El? Jangan menyembunyikannya dari kami lagi," tanya Ayumi.
Elena menatap Ayumi datar. "Hubungan kami sudah berakhir." Hatinya ikut teriris ketika mengatakan itu dengan mulutnya sendiri. "Dia sudah pergi."
Laki-laki itu sudah pergi. Tidak ada yang tersisa lagi di hidupnya. Semua orang meninggalkannya.
Inilah yang membuat aku takut selama ini. Inilah yang membuat aku takut makan siang dengan kalian, mengobrol dengan kalian, menjalin pertemanan dengan kalian. Karena aku tahu akhirnya kalian-pun akan pergi juga dari hidupku. Jadi, ijinkan aku bertingkah dalam semua kebingungan dan rasa takutku. Jangan terlalu mendekatiku.
Mata Elena memerah dan berkata, "Aku pergi dulu."
Tanpa mengatakan apapun lagi, perempuan itu meninggalkan teman-temannya dalam kebingungan.
Baru kali ini Ayumi melihat Elena hampir menangis. Bahkan di kantornya yang dulu, ketika ada bos tua yang memfitnah Elena telah merusak hubungannya dengan istrinya karena Elena menggodanya, perempuan itu tetap menegakkan badannya di depan pria belang itu tanpa menetaskan air mata sedikit pun.
Elena rela keluar dari pekerjaannya daripada mengemis maaf pada bosnya yang be-jat itu. Elena perempuan kuat. Ayumi tahu itu. Sejak bertemu dengan Elena di perpustakaan kampus dan mendengar ceritanya, Ayumi sangat kagum dengan cara Elena menghadapi dunia yang tidak pernah memihaknya.
Elena melangkahkan kakinya dengan cepat menuju toilet yang berada di belakang kantin. Menemukan toilet itu sepi membuatnya mendesah lega. Ia melihat pancaran dirinya di cermin dengan sedikit buram karena sekarang ia tidak memakai kacamatanya.
Tapi dengan segala ketidakjelasan itu, Elena masih dapat melihat dengan jelas bentuk tubuh dan rambutnya yang ia gerai dengan sempurna sejak tadi. Tubuh di cermin itu masih sama seperti dirinya yang dulu. Tidak banyak yang berubah. Semua masih berada pada tempatnya dan luka itu juga masih ada di sana.
Entah kenapa ia menjadi melankolis seperti ini, Elena pun tidak tahu. Elena mengangkat kepalanya ke atas lalu mengerjapkan matanya cepat. Mencegah air mata membasahi pipinya dan mengingkari janjinya kepada Bara untuk tidak menangis lagi. Selalu ada di saat Elena merasa sedih dan ketakutan yang berlebihan bahkan membuat dirinya serasa kehilangan kewarasannya sendiri. Dan kini, ia merasa kehilangan pegangannya. Ia merasa lepas dari di udara tanpa ada tali yang membawanya kembali menginjak tanah yang basah karena hujan.
Setelah cukup dengan segala pergolakan batinnya, Elena membasuh wajahnya dengan air lalu keluar dari toilet tersebut sebelum ia menjadi lemah dan menangis di toilet itu seharian. Seperti kejadiaan beberapa tahun yang lalu.
"Elena!"
Seseorang menepuk ringan bahu Elena. Elena menoleh dan mendapati Natha sedang menatapnya datar. Laki-laki itu membenarkan kacamatanya yang mulai turun lalu mengambil sapu tangan dari saku celananya.
"Untukmu. Basuh wajahmu yang basah dan air matamu."
Elena menerima sapu tangan itu dengan senyum yang ia paksakan. Memang harus seperti ini. Aku memang harus selalu mengukir senyum palsu seperti ini.
"Aku terima, tapi kau harus tahu, aku tidak menangis, Nat."
Natha tersenyum dengan hangat kepada Elena. Ini pertama kalinya Elena melihat laki-laki di depannya tersenyum manis seperti sekarang. Selama ini ia tak pernah memerhatikan Natha dengan serius, tapi melihat Natha menatapnya seperti ini membuat Elena takut lelaki itu telah terperangkap senyum palsu Elena dan menjadi korban dari keegoisannya lagi. Ia tidak mau memiliki Bara yang kedua.
"Aku tahu. Mungkin itu air hujan yang membasahi wajahmu."
Elena membasuh ujung-ujung wajahnya yang masih basah akibat air keran dengan sapu tangan milik Natha. "Terima kasih."
"Aku tidak tahu apa masalahmu dengan kekasihmu itu. Tapi jangan bersedih hanya karena kehilangannya. Laki-laki yang meninggalkanmu-lah yang harusnya menyesal, Elena," ucap Natha.
Melihat Yasmin hanya diam, laki-laki itu berkata lagi, "Aku hanya ingin bilang, aku bisa menjadi pendengar yang baik. Jadi berbagilah denganku jika kau tidak tahu harus pergi kemana."
Laki-laki itu mengambil sapu tangan yang berada di tangan Elena lalu pergi meninggalkan Elena sendiri dengan segala pemikiran yang berkecamuk di otaknya. Penawaran baru lagi. Tempat baru yang bisa ia naungi dengan nyaman. Tapi Natha terlalu baik untuknya.
Semua pria terlalu baik untuknya, karena sebelum ini, hidupnya hanya diwarnai laki-laki jahat yang tanpa ragu menorehkan luka di sekujur tubuhnya. Laki-laki jahat yang membuat hidupnya bak di neraka. Mengingat laki-laki itu membuat da-da Elena sesak seketika.
Elena berjalan dengan cepat, menyusuri dinding kaca yang membawanya ke ruangannya yang tak jauh dari kantin tempatnya makan. Hujan masih bertahan dengan kecepatannya yang tak tentu. Mengingatkan Elena pada suatu ketika di mana dirinya berdiri di tengah hujan sendiri. Melawan orang-orang yang berjalan menembus arahnya. Suara tawa, tangis, dan sakit melebur menjadi satu di kepalanya. Seperti alunan seruling yang menyesakkan dan berakhir pada nada yang paling tinggi yang pernah Elena dengar.