Sudah Seharusnya

1314 Kata
“Menikah?” Azkia bangkit dari posisi duduknya. Ia sedikit terlonjak saat orang tuanya mengatakan ada yang meminang dirinya. Gadis itu baru saja selesai menunaikan shalat isya saat orangtuanya memanggil dan menyuruhnya duduk di salah satu kursi di ruang tamu. Ibu dan ayah Azkia sama-sama mengangguk, meyakinkan putrinya tentang apa yang baru saja ia pertanyakan. Sebagai orangtua, mereka tahu yang terbaik untuk anaknya. Apalagi setelah diperhatikan, Azkia tak sedang menjalin hubungan apapun dengan lelaki mana pun, tepatnya setelah memutuskan tunangan dengan Haris setahun yang lalu. “Dengan siapa?” tanya Azkia setelah cukup tenang pikirannya. Ah, sebenarnya situasi seperti ini tak bisa menenangkan. Ini tentang hidup dan masa depannya, ia berhak menentukan sendiri siapa calon yang akan dinikahinya. Toh, ini bukan zaman Siti Nurbaya, di mana para perempuan tak bisa menolak untuk dijodohkan. Atau kalau pun Siti Nurbaya mengalami modernisasi, Azkia tak mau menjadi bagian dari hal itu. Mengerikan sekali! Bahkan membayangkan saja untuk hidup dengan lelaki yang tak ia cintai, Azkia tak sanggup. “Temannya Kak Nisa.” Ayah menjawab singkat. Sang ayah mengode ibu untuk bercerita detailnya. Lalu, ibu mulai bercerita. Bahwa tadi pagi, mereka kedatangan tamu yang tak lain adalah Rafa. Lelaki itu datang bersama Nisa karena memang mengajar di kampus yang sama dengan kakak sepupu Azkia itu. Sayang sekali Azkia dan Rafa tak sempat bertemu karena gadis itu pergi ke kampus bersama sahabatnya, Esyana, untuk mengambil kelengkapan wisuda. Ya, gadis berusia dua puluh tiga tahun itu, lusa akan resmi menjadi seorang sarjana lulusan Fakultas Bahasa Inggris dari salah satu kampus Islam di Lhokseumawe. “Kia belum siap menikah.” Azkia menggeleng, menegaskan keputusan bahwa dirinya memang belum siap menikah. Apalagi ia belum mengenal sosok Rafa seperti apa. “Terus kamu siapnya kapan?” tanya sang ayah mulai kesal dengan sikap putrinya. Ayah bukan memaksa, hanya saja ia menganggap bahwa Azkia terlalu memilih dalam hal pasangan, sehingga rumor-rumor buruk dan tak jelas sudah begitu menyebar di luar sana. Rumor itu membuat telinga sang ayah terasa panas, meskipun cerita itu ia dengar dari istrinya. Rasanya sang ibu ingin sekali membantah saat mendengar gosip tak enak itu, tapi nyatanya memang putrinya sudah pernah menolak beberapa lelaki yang datang melamar, bahkan pernah bertunangan lalu memutuskan sebelah pihak. Itu memalukan sekali. Mendengar putrinya menjadi buah bibir masyarakat sekitar. Pemilih Sok cantik Pemuja kesempurnaan Semoga jadi perawan tua Kalimat-kalimat itu sering diperdengarkan oleh orang-orang di sekitar, kadang saat ibu Azkia membeli sayur, atau ketika ada hajatan di rumah tetangga. Kejadian-kejadian itu Bu Siti ceritakan pada suaminya. Ia merasa tak tahan harus menanggung sendiri. Memang, perempuan berusia empat puluh tahun itu tak terlalu peduli dengan gosip miring itu. Namun, tetap saja hatinya teriris mengingat putrinya dibicarakan secara tak pantas. Lucu memang, saat ada orang-orang yang terlalu kepo dan terkesan mencampuri urusan orang lain. Padahal setiap orang berhak untuk memilih atau menolak, dan orang lain tak berhak menghakimi keputusan seseorang. Azkia diam. Kali ini ia juga tak tahu akan menjawab pertanyaan ayah dengan jawaban apa. Pun saat dulu ia pernah beralasan untuk menyelesaikan kuliah dulu, baru menikah. Gadis itu merasa termakan dengan omongannya sendiri, karena sekarang ia telah menyelesaikan kuliahnya, dan harusnya ia menunjukkan kebenaran dari jawabannya yang dulu-dulu saat ada yang melamar, dan ditolak. Sebuah alasan yang klise, padahal ia bisa bertunangan dulu dan akan menikah setelah lulus kuliah. Ya, hanya sebuah alasan yang dibuat-buat untuk menolak, karena alasan sesungguhnya bukanlah terganggu perkuliahan, melainkan hatinya tak bisa bergeser dari sebuah nama yang selalu ia sebut dalam doa panjangnya. “Mau alasan apalagi? Cari kerja? Atau harus bisa bangun rumah megah dulu baru akan menikah? Seharusnya kamu belajar banyak dari teman-temanmu.” Ayah Azkia kembali berbicara. Kali ini dengan nada dingin, tapi begitu menohok hati Azkia. Sementara sang ibu hanya diam, di samping suaminya. Perempuan itu lebih memilih untuk mendengarkan saja apa yang menjadi keputusan suaminya, selama itu baik. “Jangan sampai ayah berpikir untuk mengiyakan apa yang dikatakan orang-orang di luar sana.” “Bang ....” Ibu Azkia menatap lekat suaminya. Ia menggeleng mengisyaratkan agar suaminya jangan sampai lepas kendali. Jangan sampai menyumpahi putrinya dengan hal yang sama seperti yang dilakukan orang-orang. Azkia menunduk. Ia tak berani menatap wajah ayahnya saat sedang marah. Memang, ayahnya begitu menyayangi ia dan adiknya, Attar, tapi saat ayah sedang marah, jangan mencoba untuk menaikkan level emosinya. “Ayah cuma mau yang terbaik untukmu, Ki.” Nada bicara ayah mulai melemah. “Emangnya langsung besok disuruh nikah? Enggak! Ayah mau kalian kenalan dulu.” Ayah melanjutkan. “Ingat, Ki. Umur kamu makin bertambah, dan biasanya saat umur lanjut, seorang perempuan akan terlihat kurang menarik. Apalagi kamu banyak nolak lelaki, lama kelamaan mereka akan takut melamar karena ditolak terus.” Ibu menasehati putrinya. Memang benar, usia Azkia sekarang masih ideal untuk menikah, karena sang ibu juga tak setuju jika putrinya menikah muda. Azkia mendengkus pelan, dalam hati ia membantah nasehat ibunya. Bahwa seharusnya seseorang itu bisa menikah kapan saja, tak perlu terburu-buru dan termakan stigma tentang umur. “Atau kalau memang kamu punya calon sendiri, bawa ke hadapan ayah. Akan ayah pertimbangkan.” Kembali ayah berbicara tegas. Azkia membelalakkan mata. Bukan karena tak menyangka ayahnya akan berkata seperti itu, tapi ia hanya menyimpulkan bahwa saat ini ayah tak sedang mempertanyakan calonnya, tapi ayah sedang menekankan dirinya untuk segera menikah. Entah dari calon pilihan sendiri atau menuruti keinginan ayah. Gadis itu kembali tertunduk. Ia membayangkan bahwa nyatanya jika menolak permintaan ayah, tak ada lelaki yang bisa ia bawa. Azlan? Bahkan ia tak pernah tahu bagaimana perasaan Azkia untuknya. Dan, Azkia juga begitu malu jika harus menyampaikannya terlebih dahulu. Ziyad? Lelaki dari Fakultas Ekonomi Syariah itu pasti akan ditolak mentah-mentah oleh ayah Azkia. Lelaki dengan humor yang tinggi dan gaya berbicara tak kenal umur mungkin terlihat tidak sopan bagi ayah. Lebih lagi, Ziyad dan Azkia seumuran dan baru akan wisuda, belum mapan. Memikirkan temannya itu membuat Azkia merasa geli jika harus dipertemukan dengan ayah, mengingat ayahnya adalah seorang lelaki yang bersikap tegas dan berwibawa. “Minggu depan, Rafa akan kembali. Jadi, jangan buat janji dengan siapa pun. Atau malah kabur seperti dalam kisah sinetron.” Sang ayah menegaskan agar Azkia paham, karena tadi ia memang membuat perjanjian seperti itu dengan Rafa. Azkia hanya mengangguk. Kali ini tak ada lagi alibi yang bisa menyelamatkannya dari permintaan sang ayah. Sebenarnya ia juga merasa sudah sepatutnya membina rumah tangga, apalagi ia sendiri juga ikut mendengar rumor-rumor tak baik tentangnya. Kau pernah mendengar pamali? Ya, meskipun Azkia tak terlalu percaya pada itu semua, tapi di lubuk hati paling dalam, ia sendiri juga takut akan menjadi perawan tua. Kadang jodoh datang di saat kita belum benar-benar siap. Kadang juga ada orang yang begitu lelah menunggu, tapi seseorang tak kunjung datang. Seperti kata orang bahwa jodoh adalah misteri. Lalu, saat Azkia belum memiliki keinginan untuk menikah, apa harus memaksa diri untuk menerima? Atau menolak, tapi akan melukai banyak hati. * Azkia masuk ke kamar. Gadis itu meraih ponsel yang terletak asal di kasur dan melayangkan chat untuk Esyana. Sebagai sahabat, ia memang sering menceritakan apa pun padanya. ‘Gawat ... gawat ...!’ Disertai emot menangis guling-guling. ‘Gawat kenapa?’ ‘Ada orang yang mau melamarku.’ ‘Alhamdulillah, dong! Kok gawat?’ Emot ketawa ngakak dari Esyana. Bisa dibayangkan reaksi wajahnya sekarang. Esyana teman yang baik, tapi kadang ekspresi wajahnya berhasil membuat Azkia merengut. Apalagi kalau bahas masalah jodoh, karena Esyana tahu betul bagaimana Azkia selalu merasa tidak cocok dengan lelaki-lelaki yang melamarnya. Kadang terlalu agresif, kadang caper, kadang bikin ilfil, kadang entahlah. Setidaknya itu yang sering didengarkan Esyana dari sahabatnya. ‘Aku belum siap nikah Syana, aku masih muda.’ ‘Muda apanya? Kita udah 23 tahun, sudah melewati batas umur perkawinan yang ditetapkan negara.’ Emot tertawa lebar. ‘Ahh, buduu! Tidur sana! ‘Lho, kok ...?’ Sengaja Azkia membiarkan chat terakhir Esyana hanya tercentang biru tanpa balasan. Pikirannya malayang jauh menerawang memandangi langit-langit kamar. Banyak hal yang ia pikirkan, sebelum akhirnya mata itu terpejam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN