Nasib s**l Ardan

1662 Kata
"Atas nama siapa?" "Akhdan." "Apa? Ardan?" "Apaan?! Gue lagi dibawa-bawa!" Eeeh sang empunya nama muncul. Tiara terkikik saat melihat tampang kusut itu mendengus. Kasihan, pikirnya. Sepupunya yang satu ini, di mana-mana selalu di-bully. Tapi beneran deh, ia tak bermaksud mem-bully. Yang terdengar sama-sama ditelinganya yaaaa Ardan. Tiara berdeham-deham kemudian ia kembali fokus pada lembaran di atas mejanya. Abai kan saja Ardan, dia kan jomblo! "Siapa tadi namanya, Mas?" "Akh--" "Halaah bisa aja lo modusnya, Kak!" Ardan menimpal. Tiara langsung menoleh dengan tampang keki. Gak tahu apa ya kalau ia sedang melayani pembeli? Nih bocah bener-bener dah! Kalo belum pakek gamis begini, udah ia bantai sedari tadi! Sadar kalau Tiara berniat melempar sandalnya, ia segera kabur sambil terkikik-kikik, masuk ke dalam kantor kecil Tiara di dalam butik itu. Lalu gadis itu berdeham, mengabaikan kikikan Ardan yang membahana. Lagian mau ngapain dah tuh bocah ke sini? dumelnya senewen. Gak kerja apa ya tuh bocah? Kali ini ia geleng-geleng kepala. Heran saja karena kerjaannya cuma merusuhinya saja seriap hari. Sepupunya yang satu itu memang selalu bikin ngelus d**a deh. Lelaki di depannya berdeham-deham. Ia menatap agak canggung dan gugup pula. "Sudah, Mbak?" "O-oh maaf," ucapnya gelagapan. Lalu meringis geli ke arah lelaki di depannya. "Tadi sia--" "Akhdan," jawabnya kalem. Sejujurnya lelaki ini susah memalingkan wajahnya dari Tiara. Eaaak! Tiara menulis namanya dengan benar kali ini. Walau sambil terkekeh yang tanpa sadar kalau lelaki di depannya ini terbius dengan kekehan seindah itu. Wohooo! Ini baru kekehan loh. Belum yang lain! "Alamat sama nomor ponselnya?" Lelaki itu segera tersadar lantas berdeham, lalu menyebut alamat dan nomor ponselnya. "Kalau bisa, sampainya pas di tanggal 23 nanti ya, Mbak?" Tiara mengangguk sambil mengacungkan jempol. Hal yang lagi-lagi membuat lelaki itu ternganga, ia menyimak mata Tiara yang menyipit karena tawa. Aiih, gadis ini, pikirnya. Bikin pikirannya melayang saja. "Bayarnya mau cash atau debit?" Pertanyaan Tiara sekonyong-konyong menamparnya. Lelaki itu tersadar lalu berdeham-deham lagi. "Debit saja," tuturnya sambil gemetar mengeluarkan dompet dari sakunya. @@@ Tiara terpingkal-pingkal. Gak kuat menahan tawa apalagi saat matanya menatap tampang pias Ardan. Jadi, ceritanya, ia ke sini bermaksud mencari teman senasib sepenanggungan. Karena Talitha--gebetan yang menolaknya berkali-kali--sudah tunangan dengan pacarnya semalam. Bahkan bakalan menikah dua bulan lagi. Hahaha! Tiara tertawa makin lebar dan terdengar semakin kejam bagai ibu tiri. Puas sekali menetawai nasib sialnya Ardan! "Ketawa aja terus! Ketawaa!" sebalnya yang membuat Tiara nyengir seketika. Kemudian gadis itu berdeham-deham. Sadar kalau tawanya gak pantes untuk ukuran cewek. Hihihi! "Terus, acara yang lo bilang kemarin, ternyata acara tunangan? Hahahaahahaha!" Ia malah tertawa lagi. Ardan mendengus keki. Apalagi otaknya langsung menampilkan muka Dina yang mengakak puas saat ia pulang dari rumah Talitha semalam. Bahkan Dina sampai terkentut-kentut saking puasnya melihat nasib pedihnya. Soalnya, ia gak tahu kalau semalam itu adalah acara tunangannya si Talitha. Ia baru tahu saat tiba di sana. Sialnya, saudara kembarnya sendiri malah menjebaknya agar datang ke sana. Eh Mamanya juga deh. Kedua orang itu kompak sekali membuatnya menderita. Sepulangnya dari sana, ia mengomeli Dina habis-habisan. Tapi tuh bocah malah bilang begini, 'itu tuh supaya lo kuat! Supaya lo sadar kalau Talitha gak sedikit pun tertarik sama lo! Hahaha! Bukan semata-mata gak percaya kalau lo suka sama dia!'. Kata-kata itu sontak menusuk hati Ardan. Gimana enggak? Nyelekit euy! Tapi ia gak tahu kalau Dina bermaksud membuka matanya untuk berhenti membuat Talitha percaya akan perasaannya. Karena gak ada gunanya, sebab gadis itu sama sekali tak tertarik padanya. Kalau mata hati dan pikiran terbuka, Ardan bisa berhenti mengejar Talitha dan fokus ke yang lain. Mamanya juga menginginkan hal yang sama. Tapi mau bagaimana lagi? Namanya juga bukan jodoh. Tiara masih terbahak. Kini ia malah menggeleng geli sambil menatap Ardan yang masih keki. Tiara terkikik-kikik kecil. "Kenapa lo gak langsung pulang pas sampai di sana?" Ardan berdecak. Mana bisa ia pulang kalau Papanya Talitha malah merangkulnya semalaman. Mau pulang tapi gak enak hati.sama lelaki paruh baya itu, akhirnya ia cuma pasrah diketawain Mamanya yang juga datang. Rasanya hatinya pun ingin menangis tapi tak mungkin lah...ia kan lelaki. Ia masih punya gengsi! Eaak! "Dan....Dan....tapi kuat lo ya?!" ia malah memuji. Pujian yang langsung dibalas dengan dengusan. Kuat dari Hongkong? Ia sudah gak punya semangat begini. Bahkan tadi pagi, ia berniat izin dari kantor Papanya, eeeeh ternyata Papanya malah memberikan tiket liburan ke Eropa. Katanya biar senang-senang dulu padahal....ia yakin kalau Papanya mengasihaninya. Menilik Mamanya yang gak bisa menahan tawa sepagi tadi, Papanya pasti sudah tahu kabar berita yang menyedihkan itu. Beneran dah ini keluarganya, ia patah hati tapi gak ada yang prihatin padanya. Di-bully iya! Rasa kekeluargaannya manaa cobaaa? keluhnya dalam hati. "Kak, kalo lo cuma mau ngetawain gue, gue pulang nih?!" ancamnya yang membuat Tiara makin terpingkal-pingkal. "Maaf deh maaf," tuturnya sambil berupaya menghentikan tawa. Takut Ardan berniat pergi dengan tampang piasnya, disaat jarang-jarangnya ia datang ke sini. Walau yaah....sesekali ia terkikik geli. "Lo mau makan apa?" tawarnya. Yah...anggap aja sedekah buat orang patah hati. Kan lumayan bisa mendapat pahala. Kali-kali Ardan juga mendoakan kebaikannya. Tiara kan pernah mendengar kalau doa orang yang dizalimi itu biasanya lebih cepat terkabul. Naaah! "Ardan mau pulang aja ah, Kak." "Yah yah yah," Tiara berupaya menahan. Apalagi tangan Ardan udah siap bukain pintu. "Entar aja sih! Dari pada lo di rumah terus berniat bunuh diri gimana? Kan kasian Opa kalo cucunya yang gak waras udah tiada!" Ardan makin keki sementara ia puas terpingkal-pingkal. "Males ah gue sama lo, Kak!" cecarnya lalu tetap pada keputusannya untuk membuka pintu. Namun baru saja pintu itu terbuka, kepalanya langsung membentur kening Ferril yang baru saja akan masuk. Kejadian itu sekonyong-konyong membuat Tiara makin menggelepar di lantai. Gak kuaaat dengan tawa! Hahahaha! "Aish! Lo lagi!" keki Ardan. Ia hendak keluar tapi dihadang Ferril yang terkekeh. Keningnya sih sakit karena gak sengaja kejedot sama keningnya Ardan. Tapi ia gak tega mem-bully karena abang sepupunya ini yang sedang dalam mode galau. Takutnya nanti bunuh diri, lompat dari lantai paling atas mall ini kan brabe! "Minggir lo!" kecamnya yang jelas-jelas gak bikin Ferril takut. "Lo mau ke mana sih emangnya, bang? Sini aja udah! Gue beliin makan deh kalau lo laper!" tawarnya yang jelas-jelas Ardan melihat itu bukan karena ikhlas melainkan karena kasihan! Ia mendorong tubuh Ferril hingga ke samping, namun baru saja melangkah, Shakeera muncul di depannya sambil mengerem kaki takut khilaf nabrakin Ardan. Tangannya menyilang di depan d**a. Ferril terpingkal-pingkal melihat keduanya nyaris bertabrakan. Tiara? Udah terjengkang ke sana ke mari. Makin gak kuat kalau Ardan udah bertemu Shakeera. Tapi, omong-omong, kok dua orang itu cocok ya? "Eh eh eh jangan dekat-dekat ya! Bukan mahram!" sungutnya sambil mengibas-ibas Ardan agar menjauh lalu ia berjalan sok anggun melewati Ferril yang menggelengkan kepala melihatnya. Ardan memaki-maki dalam hati lalu berjalan kesal keluar dari butik. Ferril pamit pada Tiara lalu berlari menyusul Ardan. Sementara Shakeera malah menaruh martabak yang ia beli di restonya Farrel di lantai paling bawah tadi. "Bang Ardan kenapa sih? Itu kok mukanya bete banget? Mana jadi tambah jelek lagi!" tanyanya. Ia gak tahu aja kalau tampang Ardan tambah bete. Kenapa? Ya karena ketemu dia! Sementara Ferril malah terpingkal dengan kata-katanya. Tiara bangun dari lantai sambil terkekeh kecil. Ia masih gak kuat kalau ingat-ingat kejadian tadi. Ardan yang begini. Keera yang begitu. Kalau digabungin, ajaib dah masa depan. Hahaha! Ia gak bisa menebak sama sekali apa jadinya! Tambah hancur kalo dunia percintaan! Hihihi! "Ciyeee nanyain Ardan!" ia malah meledek. Keera mendengus seketika. Sebal karena di mana-mana, ia malah diledek dengan Ardan. Padahal kan ia gak suka! Ia sukanya itu sama.... Haah. Sudah-sudah, gumamnya lalu berdeham. "Lo ngapain ke sini?" tanya Tiara sambil mencomot martabak gratisan. Melihat ekspresi Keera yang berubah, membuatnya terkekeh kecil. "Kadang, kita perlu menjadi munafik di depan orang-orang," gumamnya lalu memasukan martabak ke dalam mulut. Keera mendongak lalu menatap gadis itu. Jika dulu, ia gak pernah akur sama gadis yang satu ini, maka berbeda ceritanya setelah Ando menikah. Gadis ini mendadak welcome walau awalnya ia mengira, itu karena kasihan. Tapi ternyata, gadis ini juga menyayanginya walau dengan cara yang berbeda. Ia sudah dianggap seperti adik sendiri oleh Tiara. "Tapi gimana caranya ikhlas, Kak?" tanyanya dengan sendu. Wajahnya langsung pias. "Keera gak bisa buat gak maki tiap lihat Kak Farras update di instagramnya. Entah meng-upload foto dengan Bang Ando atau enggak, Keera tetap patah hati. Hati Keera gak bisa buat gak memaki-maki," curhatnya yang membuat Tiara seperti bernostalgia. Dulu, saat mantannya menikah, ia juga begitu. Gak bisa berhenti mencibiri apapun yang mereka upload di i********:. Sakit hati ya wajar. Namun sangat sulit menahan amarah apalagi untuk tidak membenci. Terkadang ketika mencibir-cibiri, terlintas rasa sombong. Seolah-olah diri ini lebih baik dari pada yang dicibir-cibiri padahal belum tentu. "Kalau begitu, tutup medsos untuk sementara waktu," titahnya yang membuat Keera masih bergeming. Kemudian gadis itu menarik nafas. "Tapi tangan Keera suka gatal, Kak. Cuma ya gitu, kalau udah liat, patah hati sendiri." Tiara berdeham lalu berjalan mengambil dua gelas. "Ya memang begitu. Itu namanya ujian," tuturnya santai. Yaaa....karena ia telah lulus melewati masa-masa itu. Walau kadang masih suka merasa ada sesak-sesaknya ketika tak sengaja bertemu atau melihat foto mereka. Tapi mau bagaimana? Toh takdir tak berkehendak untuk menyatukan. Itu artinya, Allah punya orang lain yang lebih baik bukan? Seseorang pilihan-Nya bukan pilihannya. Seseorang yang ia rindukan dalam setiap doa. Walau belum pernah bertemu bahkan sekedar namanya pun, ia tak tahu. Karena Allah masih merahasiakan. Biar kelak jadi kejutan. Toh Tiara yakin, kelak lelaki itu akan datang menjemputnya. Ya kan? Kini di setiap harinya, ia hanya mampu berdoa. Wahai Allah....buah kan kesabaran untuknya dalam menanti cinta. Dimana pun kamu kini, aku hanya bisa menitip cinta dalam setiap doa. Menitip rindu pada-Nya. Biar lah Dia yang menyambungkan kita dalam puing-puing rindu tak bernama. Wahai pangeran surga-ku, aku rindu. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN