"Kalo ada orang yang gak terima sama kekurangan lo, ya udah, Ra. Berhenti. Ngapain ngurusin orang kayak gitu?"
Tiara menghela nafas tiap teringat kata-kata Arini. Ia memejamkan matanya sesaat. Tak bermaksud untuk membuka luka lama. Hanya saja, ia tak sengaja melihat nama mantan ada di janur kuning di pinggir jalan tadi. Memang hanya namanya sama dan orangnya jelas berbeda karena lelaki itu telah lama menikah. Beberapa tahun silam. Tiara tahu itu. Tapi melihat janur kuning itu membuat Tiara tiba-tiba teringat kejadian di mana ia hampir datang ke pernikahan lelaki itu dengan Arini. Tragis bukan? Andai Arini tak memarahinya habis-habisan kala itu, mungkin ia sudah mati di tempat pernikahan berlangsung. Sekalipun ia berlagak sok kuat, nyatanya ia sangat hancur kala itu. Dan sekarang?
Tiara menarik nafas panjang. Ia tidak selemah itu. Luka itu sudah lama tergores. Ah bahkan bukan tergores tapi tertusuk. Namun sudah diobati dan sudah lama sembuh. Meski bekasnya masih ada. Tapi Tiara tak mau membuatnya berlarut-larut. Yang lalu biar lah berlalu. Tiara perlu mengukir masa depan setelah menghadapi masa lalu.
"Apa kamu gak bisa anggun sedikit di hadapan Mama?"
Tanpa sadar, Tiara menggigit bibirnya hingga mengeratkan pegangan pada setiran mobilnya. Kemudian meminggirkan mobilnya seraya menenangkan diri. Ia menundukkan kepala lantas menutup mata. Bayangannya bertengkar di depan rumah sang mantan pun muncul sekelebat di dalam pikiran.
"Gimana Mama mau menerima kamu kalau tingkahmu kayak gini, Tiara!"
Suara itu bahkan terdengar semakin tinggi di telinganya. Hingga ia tak kuat dan menelungkupkan wajahnya disetiran mobil dan menangis. Penyesalan? Dulu Tiara menyebutnya begitu. Penyesalan terbodoh. Karena saat itu, gara-gara itu ia berupaya berubah. Tapi apa hasilnya?
"Suruh pulang perempuan itu Galang, Mama tak mau melihatnya. Lakukan kalau kamu masih sayang sama Mama!"
Tiara menarik nafas dalam dan kali ini ia semakin tergugu. Pahit ya? Ia datang baik-baik untuk mengantar makanan kala itu. Tapi kedatangannya mungkin disaat yang tidak tepat karena ada beberapa tamu Mamanya. Namun ia hanya datang sebentar dengan niat baik agar bisa menjalin hubungan dengan baik pada Mamanya lelaki itu sekaligus memohon agar bisa kembali pada Galang. Ya, Galang. Lelaki itu lah nama mantannya. Itu terjadi di dua tahun pacaran. Mereka dulu memang sering putus-nyambung. Penyebabnya? Ibunya lelaki itu. Walau dulu, Tiara tak pernah berani menyebutkan alasan itu secara gamblang. Terlebih, Galang pun tak pernah membelanya. Selalu membela ibunya dan membuatnya sebagai seorang terdakwa. Hingga kesalahan itu menjadi sangat Berta dan menggunung sehingga tak bisa dimaafkan lagi oleh lelaki itu juga ibunya. Bukan kah mereka seperti Tuhan?
Kali ini Tiara mendongakan wajahnya. Ia menghentikan tangisnya meski sesekali masih sesenggukan kemudian mengambil tissue di dalam dashbor dan mengelap habis air matanya. Dulu, ia merasa agak marah pada Allah karena tak mau menyatukannya dengan lelaki itu. Namun kini, ia bersyukur. Kenapa?
Karena mungkin ia akan menderita selama pernikahannya dengan lelaki itu. Bayang kan saja, setiap membuat sebuah kesalahan, ibunya lelaki itu hanya akan mengingat kesalahan itu tanpa mau melihat sisi baik darinya. Kesalahan itu akan selalu diungkit dan akan membuat perempuan itu selalu memarahinya. Akibatnya? Ia tidak hanya dimarahi oleh ibunya lelaki itu tapi juga lelaki yang mungkin menjadi suaminya jika pernikahan terjadi. Tak akan ada yang membelanya dan mungkin ia akan stress hidup dalam kondisi seperti itu. Karena apa? Karena lelaki yang ia pilih sebagai imam hidupnya ternyata tidak bisa melindunginya. Tidak bisa membuat ibunya menerimanya. Tapi selama mereka berpacaran, lelaki itu lah yang selalu memaksanya untuk berbuat sesuatu sendiri agar ibunya menyukainya. Namun yang Tiara kini sadari adalah yang bisa membolak-balik hati manusia itu hanya lah Allah bukan Tiara. Jadi mau sampai kiamat pun, hasilnya tetap sama.
Memang benar jika setiap musibah yang datang, disaat itu terjadi, kita tak pernah hikmah apa yang akan kita dapat kan saat itu. Namun setelah kejadian itu, entah bertahun-tahun kemudian sekalipun, mungkin ia baru tahu apa hikmahnya. Dan hikmah ini membuat Tiara memperbaiki dirinya meski ia juga butuh waktu yanh lama untuk mengerti hikmah dibalik semua peristiwa menyedihkan dalam hidupnya.
Belum lagi trauma masa kecil. Meski kini ia sudah tak terlalu memikirkan hal suram itu tapi sangat membekas. Ia semakin takut saja kalau nanti malah mati ditangan ibunya lelaki itu. Kita kan tak pernah tahu kapan setan lewat pada orang yang sedang emosi bukan?
Kini Tiara melajukan mobilnya lagi. Tak lama, ia sudah memasuki parkiran basement. Kemudian memarkirkan mobilnya dan segera melompat turun. Ia menenteng tasnya dengan santai kemudian menyeberangi jalan menuju lift. Kurang dari dua menit, ia sudah tiba di lantai dua dan dilanjutkan dengan naik eskalator ke lantai tiga di mana butiknya berada. Tiara menaiki eskalator sembari melirik suasana mall yang siang ini tampak begitu ramai. Ia memang baru datang menjelang siang seperti ini. Saat melirik ke kanan, ia tak sengaja melihat seorang perempuan tua berjalan dengan perempuan muda yang menggendong anak. Dengan cepat, Tiara menaiki eskalator. Kemudian tanpa sadar agak menyembunyikan tubuhnya. Karena ternyata kedua orang itu hendak menuruni eskalator. Untung saja, langkahnya begitu cepat hingga tak jadi berpapasan dengan kedua orang itu. Kalau itu terjadi....
Tiara memejamkan matanya sesaat. Teringat kejadian di mana...
"Loh, Tan?"
Ia menyapa ramah kala itu. Tapi malah dibalas dengusan dan perempuan itu mengabaikannya dengan jelas. Ia lebih memilih mengobrol dengan perempuan yang tampak seumuran dengannya kemudian berjalan pergi meninggalkan Tiara yang terpaku. Padahal Tiara baru saja mengulurkan tangan hendak menyalaminya tapi....
Sudah. Lupain Tiara. Ingatnya pada diri sendiri. Ia tak mau membuatnya berlarut, itu janjinya bukan?
Tiara menarik nafas dalam lantas berjalan menuju butiknya. Untung saja, perempuan itu tak pernah tahu di mana ia tinggal dan di mana ia bekerja. Kalau tahu, mungkin ia sudah diludahi jika tak sengaja bertemu. Dan melihat kehidupan perempuan itu juga anak dan menantunya, Tiara sudah tak mau perduli. Semua sudah selesai di masa lalu. Tak ada lagi hubungan di masa depan. Tiara juga sudah belajar melupakan sakit hatinya akan perlakuan mereka. Walau ia masih terus bertanya-tanya, apa salahnya hingga terlihat sangat dibenci dan tidak pantas dimanusiawikan sebagai manusia? Padahal mereka juga bukan Tuhan yang Maha Sempurna. Tapi aaah....
Lupakan. Batinnya bernyanyi. Ia pernah mendengar kata-kata, jika ingin hidupmu tenang maka hidup lah dengan hati ikhlas dalam memaafkan. Biar kan apa yang sudah terjadi karena apa? Allah telah menjadi saksi. Akan ada balasan atas setiap perbuatan. Dan tak akan ada perbuatan yang luput dari penglihatan-Nya.
Tiara membuka pintu buktinya. Ia menghela nafas lega ketika berada di dalam. Walau kemudian satu kata-kata lagi terngiang-ngiang dikepalanya.
"Apa kamu gak bisa jauhin suami orang?"
Itu kalimat sapaan yang sangat manis. Padahal baru sebulan keduanya menikah dan ia tak pernah mengusik keduanya. Tapi kenapa perempuan itu datang padanya lantas memohon sekaligus memaki seperti itu? Tahu kenapa? Alasannya datang seminggu setelah perempuan itu datang. Tiara ingat persis kejadiannya karena kedua kejadian itu terjadi di dekat pintu butiknya.
"Aku mencintaimu, Ra."
Sinting. Hanya itu kalian yang bisa Tiara lontar kan. Meski bodohnya, ia masih percaya kala itu.
@@@
Tiara baru saja membuka pintu mobil, namun suara tawa begitu mengundang tanya. Ia heran kenapa suara tawa itu begitu familiar, hingga saat ia menoleh, ia membeku. Pun orang yang tertawa tadi, menghentikan langkah. Terpaku.
"Hei! Kamu yang tadi kan?"
Lelaki yang dibelakangi oleh Tiara menegur. Tiara membalik badan, lalu melihat lelaki yang akan membuka pintu mobil di sebelah kanan mobilnya.
"Yang di butik. Ingat?" kejarnya.
Tiara mengerutkan kening. Tak ingat sama sekali karena pengunjung butiknya begitu banyak.
Paham karena Tiara tak ingat, lelaki itu melempar senyum malu. Kemarin, saat ia di butik Tiara, ia terlalu malu hingga tak sempat mengajaknya berkenalan.
"Akhdan," ia menyebut namanya seraya berdoa dalam hati agar Tiara mengingatnya.
Seketika Tiara langsung sok ingat. Padahal ia tak ingat sama sekali.
"Oh iya," gumamnya lalu tersenyum tipis. Lelaki itu melempar tanya lewat matanya. Tiara yang paham kode itu, memperkenalkan diri. "Tiara," tuturnya.
"Oh ya, itu Galang. Abang sepupu saya," kenalnya. "Maaf kalau kami begitu berisik," lanjutnya dengan senyum ganteng. Tapi mood Tiara langsung hancur. Ternyata setelah sekian lama tak bertemu, rasa sakit itu masih ada walau hanya tinggal sedikit.
Tiara enggan menoleh pada Galang yang berdeham-deham. Ia malah melempar senyum tipis pada Akhdan yang kini malah garuk-garuk kepala. Salah tingkah.
"Udah kenal kok. Dia dosenku waktu kuliah," tuturnya lalu hendak membalik badan.
"Oh! Berarti kita sekampus dong!" Akhdan girang. Ia enggan memutuskan obrolan. Tiara menolehkan tatapannya sedikit.
"Bisa dibilang begitu," dinginnya lalu dengan cepat masuk ke dalam mobil.
"Eung, Tiara!" ia memanggil. Tiara hanya menoleh tanpa mau membuka kaca mobilnya lalu menghiduplan mesin mobilnya. "Kalau saya memesan kemeja untuk staf-staf saya, bisa?" ia sampai berteriak.
Tiara malah memundurkan mobil lalu memutar ke kanan dan membuka kaca mobilnya.
"Boleh," tuturnya dengan senyuman tipis lalu pamit sambil mengucap salam.
Salam itu dibalas Akhdan dengan mengelus d**a. Lelaki itu terkekeh.
"Subhanallah," pujinya gak habis-habis. Bahkan sampai mobil Tiara tak terlihat pun, ia masih menatap ke sana.
Galang berdeham-deham lalu membuka pintu mobil. "Lo gak mau balik?"
Akhdan cengengesan. Lalu ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di depan kemudi. "Dari kemarin, gue pengen nanya namanya tapi gak berani, bang," curhatnya yang entah kenapa membuat Galang agak-agak sesak. "Moga jodoh ya Allaaaah!" serunya lalu terbahak. Mengabaikan deheman keras milik Galang.
@@@