Beberapa hari kemudian, Aurora dan Jasmin sedang merapikan pakaian dan peralatan yang akan digunakan selama di Bogor. Rencana pembuatan konten terbaru mereka akan dilakukan dalam tiga hari ke depan.
“Ra, hati-hati selama di Bogor. Papa masih dikasih kesempatan untuk bekerja di CV Tunggal Sejati. Terima kasih untuk doa dari kalian. Papa berangkat ke kantor, ya,” ucapnya sembari menerima jabatan tangan dari Aurora dan Jasmin secara bergantian.
“Iya, Pa. Alhamdulillah, ya, Pa.”
Aurora melihat Bram yang tengah tersenyum lalu berjalan keluar dari kamar Aurora. Tidak lama kemudian, Aurora dan Jasmin keluar dari kamar untuk menikmati hidangan sarapan yang telah disediakan oleh Nilam.
“Ma, pagi ini masak apa?” tanya Aurora sembari mendudukkan dirinya di kursi yang tersedia di ruang makan.
“Masak apa, ya? Lihat sendiri saja, ya. Mama tadi sudah sarapan, jadi sekarang Mama mau merawat tanaman dulu. Tanaman Mama juga butuh nutrisi,” katanya sembari tertawa tipis.
Nilam beranjak ke halaman depan untuk menyiram tanamannya. Sedangkan, Aurora dan Jasmin sedang menikmati sayur tomat campur bakso dan sosis. Ditambah daging ayam bakar sebagai lauk yang melengkapi satu porsi nasi. Setelah seisi piringnya habis disantap, Aurora dan Jasmin meminum segelas air putih untuk melarutkan makanan ke perut.
“Ra, berangkat kapan?” tanya Jasmin setelah selesai meneguk air minumnya.
“Tunggu, sopir, dulu.” Aurora berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Tiba-tiba dirinya mendapatkan panggilan alam yang tidak bisa ditundanya lagi.
Jasmin mengambil ponselnya yang berada di atas meja makan. Hatinya terasa tersayat-sayat kala membaca jadwal konser idolanya. Matanya tak terasa berair kala membaca beberapa pesan dari teman sesama fans dari idolanya yang telah mempersiapkan kuota agar bisa turut menyaksikannya. Rasanya, Jasmin tidak ingin melewatkan konser boy band asal Korea Selatan itu.
“Jas, lu menangis? Kenapa?” tanya Aurora yang baru saja kembali dari kamar mandi.
Jasmin memberikan ponselnya kepada Aurora. Di layar ponselnya memperlihatkan jadwal dan berbagai pesan tentang konser yang akan diselenggarakan sore nanti. Aurora yang tidak mengerti dengan konser itu pun hanya berdiam diri. Pasalnya, Aurora bukan seorang perempuan yang menggilai sesama manusia. Sebab, untuk mencintai dan menghargai nabinya pun Aurora belum setulus jiwa dan raganya. Tapi, Aurora tidak bisa menyalahkan Jasmin yang begitu mengagumkan penyanyi itu.
“Oh, lu ingin menyaksikan konser itu?” Aurora memegang bahu Jasmin. Telapak tangan kanannya berangsur menghapus air mata yang berjatuhan di pipi sahabatnya. Tak berlama-lama, Aurora memeluknya dengan erat. “Kalau lu ingin menyaksikannya, ya, tontonlah. Tidak perlu cengeng seperti ini, Jas!”
“Tapi, bukankah kita hari ini pergi ke Bogor?” tanya Jasmin. Jasmin mengelap pipinya dari sisa-sisa air mata yang tadi menggenang di sana. Tatapannya tajam ke arah Aurora untuk memastikan bahwa dia akan mengundurkan keberangkatan ke Bogor. Tapi, tidak perlu banyak berharap, keputusan Aurora selalu mutlak tidak bisa diubah.
“Iya, tapi, tenang saja, di sana juga bisa menonton konsernya, kan, Jas?”
“Iya, sih, tapi sudah sejak lama gue menantikan hari ini. Takutnya, di sana tidak ada jaringan yang mendukung.”
Aurora pergi dari ruang makan untuk mengambil koper yang telah diisi dengan perabotannya. Tangan kenannya menyeret koper tersebut dengan tangan kiri yang memegang ponselnya. Pikirannya sejak lima menit yang lalu tidak bisa fokus dengan agendanya. Pikirannya melayang ke konser yang akan tayang sore nanti. Sebelum menuruni tangga, Jasmin memastikan kepada pemilik vila dengan adanya fasilitas Wi-Fi. Setalah semuanya terasa aman, Aurora mengajak Jasmin untuk segera mengambil barang-barangnya.
Langkah kaki Jasmin yang terasa berat pun diketahui oleh Aurora. Bukan menegur atau memarahinya, Aurora membiarkan sahabatnya yang masih terasa lesu dan pilu hanya karena tak bisa menonton konser yang telah dinantikannya. Padahal, Jasmin saja yang tidak tahu betapa baiknya Aurora yang telah menyiapkan segala sesuatunya agar bisa menyaksikan konser virtual itu.
“Dah, Ra ... berangkat,” katanya dengan lesu. Kedua kakinya berjalan seakan kaki monster yang menggetarkan seisi ruangan. Perasaannya masih kesal dengan sikap Aurora yang terasa egois dengan pendapatnya sendiri.
Mata Aurora membelalak ketika memandang ke arah luar rumah. Tiba-tiba kakinya merasa lemas dan ingin terjatuh bersimpuh di lantai. Sebuah rasa penantian yang cukup lama, kini hadir di depan matanya. Aurora terkaget kala ada sebuah tangan yang memegang pundaknya dengan pelan. Ternyata, hanya Jasmin yang tengah berdiri di belakang gadis berusia 16 tahun itu.
“Ra, kenapa? Bukannya sopir sudah datang, ya?”
Bibirnya tak mampu berucap saking bahagianya Aurora menemukan sebuah ruang untuk mengakhiri penantiannya. Matanya menghadap lurus ke arah laki-laki yang sedang bercanda dengan Nilam di halaman sana. Berangsur dengan Jasmin yang mengikuti arah sorot mata sahabatnya. Seketika, Jasmin berteriak menyebut namanya.
Laki-laki itu berjalan dengan santai ke arah Aurora dan Jasmin yang berdiri di ambang pintu. Ia meneteskan air mata kerinduan yang mendalam kepada kedua sahabatnya. Mereka berpelukan untuk menyalurkan rasa rindu yang telah lama menggebu.
“Mario, gue rindu sekali sama lu. Gue harap, lu baik-baik terus, ya!” kata Aurora bersamaan dengan gugurnya air dari kelopak matanya yang indah itu.
“Hey, jangan cengeng!”
“Tahu lu, Ra! Tadi ngatain gue cengeng, eh, sekarang lu juga yang nangis,” ujar Jasmin.
Mereka berjalan ke arah ruang tamu. Mereka duduk bersama ditemani es teh hangat dan camilan berupa tempe mendoan hasil karya Nilam dua menit yang lalu.
“Mario, apa kesehatanmu sudah pulih?” tanya Nilam yang duduk di samping Aurora.
“Alhamdulillah, Tante,” jawabnya sembari membenarkan kerah bajunya yang belum terpasang dengan rapi, “Oh, iya, Ra, Jasmin, kalian mau ke mana?” tanyanya sembari menatap dua koper di samping kanannya.
“Main ke hati lu, aja, boleh gak? Kalau pergi sama Aurora, mah, ngeselin,” jawab Jasmin sembari tersenyum dan memberikan tatapan genitnya ke arah Mario.
“Boleh, sih, tapi ada syaratnya, bagaimana?” jawab Mario dengan tersenyum miring.
Jasmin merasakan denyut nadinya seakan ingin berhenti. Jantungnya tak berdetak, dan hatinya yang dikelilingi bunga-bunga serta kupu-kupu yang mampu membuatnya bahagia tak terhingga. Tapi, di dalam pikirannya tak begitu senang karena harus memenuhi sebuah persyaratan. Sebuah syarat yang sama sekali belum diketahuinya. Di samping Jasmin terdapat Aurora yang tengah menertawakan Jasmin untuk meledeknya.
“Sudah-sudah, pembicaraan kalian sudah ngalor-ngidul. Mama mau melanjutkan untuk menyiram tanaman.”
“Iya, Ma, hati-hati, ya, Ma. Semoga bukan Mama yang tersiram air selang,” jawab Aurora.
“Eh, kamu ... anak satu doang, tapi kenapa, sih, dikasihnya model begini.” Nilam berhenti di ambang pintu. Tangannya memegang dahinya yang tidak panas. Ia hanya sedang mengeluh dengan sikap anaknya yang terkadang membuatnya kesal.
“Wah, terima kasih, sudah mendoakan Aurora menjadi model, Ma.” Aurora tertawa sembari mengangkat kedua tangannya untuk bersimpuh ke hadapan Allah. Ia meminta bahwa ucapannya menjadi kenyataan suatu saat nanti. Walaupun, bukan menjadi cita-citanya.
“Mama tidak mendoakan kamu, selama kamu masih anak durhaka seperti itu.” Nilam melanjutkan langkah kakinya menuju halaman rumah. Tangannya yang lihai dalam mengurus tanaman, telah menciptakan karya yang bermanfaat untuk masyarakat. Tanaman-tanaman yang Nilam rawat, setidaknya memberikan suplai oksigen, walaupun—mungkin—tidak terlalu banyak jumlahnya.
Aurora buru-buru mengikuti Nilam untuk meminta maaf kepadanya. Bagaimanapun, letak surganya berada di telapak kaki Nilam, sebagai ibunya. Sebuah kata yang keluar dari mulut Nilam membuat Aurora terdiam dan tangan yang bergetar. Aurora tidak ingin menjadi Malin Kundang yang terpaksa menjadi batu karena durhaka terhadap ibunya.
“Hai, Ra, ada apa? Kenapa harus berlutut di kaki Mama. Mama ini bukan Tuhan, Ra!”
Nilam kaget dengan sikap Aurora. Benar, hatinya terharu kala putri semata wayangnya takut dengan ancamannya. Benar, kalau dirinya merasa senang mendapatkan perlakuan seperti itu dari Aurora, artinya ia memiliki seorang anak yang berbakti kepadanya. Akan tetapi, ia juga merasa tidak pantas mendapatkan perlakuan itu. Sebab, seorang anak merupakan cerminan dari orang tuanya. Mungkin, sikap Aurora yang terkadang melupakan sopan-santunnya karena meniru kebiasaannya ketika Nilam masih remaja.
“Siapa juga yang bilang kalau Mama itu Tuhan, Aurora hanya tidak ingin Mama menyulap Aurora menjadi batu atau wujud lainnya, gara-gara Mama menyumpahiku dengan kata-kata durhaka,” jawabnya santai.
“Dasar, sudah sana kembali, temui Mario dan Jasmin.”
“Siap, tapi, cabut dulu kata ‘durhaka’ yang sempat terucap,” kata Aurora sembari menangkupkan kedua tangannya.
“Iya, Mama tidak bakal menarik yang sudah keluar dari mulut Mama, tapi Mama selalu berdoa supaya kamu menjadi anak yang salihah.”
“Ma, tarik, dong,” rengeknya.
“Bagaimana cara menariknya, orang kata yang sudah terlontar bukan benda yang sudah dibuang terus bisa dipungut. Makanya, kamu kalai berbicara sama orang tua itu jangan seenak bibirmu. Kalau orang tua sudah mengeluarkan kata-kata yang bukan seharusnya, ya, sudah tamat saja riwayatmu.”
“Mama juga, dong, jangan seenak sendiri menyumpahi anaknya. Mama harus ingat, loh, dulu Mama kaya apa pas masih remaja.”
Waktu semakin berjalan. Tak terasa telah menghabiskan waktu selama dua jam hanya untuk bersenda gurau bersama. Aurora dan Jasmin berpamitan dengan Nilam untuk segera berangkat menuju Bogor. Aurora memasukkan koper-koper miliknya ke bagasi. Sedangkan, dengan songongnya Jasmin duduk di dalam mobil sembari menyenderkan badannya di badan mobil. Tangannya pun tak berhenti untuk mencari foto-foto pacar halusinasinya.
“Ra, gue ikut, boleh, ya?” tanya Mario sembari mengangkat satu koper terakhir untuk di masukkan ke dalam bagasi.
“Tapi, lu sudah sehat?” tanya Aurora dengan perasaan yang cemas, jika kesehatan Mario akan kembali memburuk nantinya.
“Sudah, dong.” Mario menutup pintu bagasi lalu mendekat ke arah Nilam untuk menitipkan mobilnya.
Aurora merasa bahagia karena telah mendapatkan sebuah ruang untuk mencurahkan keluh-kesahnya selama menanti kehadiran Mario kembali di tengah-tengah aktivitasnya. Aktivitas sebagai pelajar atau konten kreator. Baginya, seorang Mario adalah sahabat terbaik yang pernah ia temui. Sama halnya, dengan Jasmin yang selalu ia rindukan kala tak bertemu walau hanya sehari saja.
Mobil telah berjalan dengan dikendarai seorang sopir perempuan yang digaji oleh Bram. Seorang wanita yang diberikan kepercayaan untuk menjaga putrinya. Mobil telah melalui ke sebuah jalanan yang menghubungkan ke vila. Sebuah vila yang telah dipesan oleh Aurora untuk singgah selama beberapa hari di sana. Hari juga sudah menunjukkan pukul dua siang.
Jasmin yang mengetahui waktu telah sore pun bergegas masuk ke dalam vila tanpa mengangkut barang-barangnya. Di dalam vila, Jasmin bergegas menyalakan Wi-Fi yang dijanjikan oleh Aurora pagi tadi. Perasaannya begitu bahagia ketika masih mendapatkan sedikit waktu untuk menonton konser tersebut. Jemarinya yang sigap dalam melakukan pertunjukan tarian di atas layar benda pipih itu pun membuka sebuah aplikasi yang digunakan sang idolanya melakukan konser virtual. Namun, lagi-lagi hatinya harus terluka kembali. Jasmin bersedih ketika membaca peringatan tentang selesainya konser lima detik yang lalu.
“Jas, sudah puas dengan konser itu?” tanya Aurora yang dengan kuatnya menyeret dua koper sekaligus.
“Puas banget, Ra, sampai terlambat lima detik.” Jasmin keluar untuk mengambil koper dan segala perlengkapan yang masih tertinggal. “Mario, biar gue saja. Lu istirahat. Jangan sampai kelelahan dan nanti merepotkan.” Jasmin mengambil alih koper berwarna ungu miliknya dan satu tas perlengkapan untuk membuat konten nantinya.
“Oke,” jawabnya sembari berjalan membawa satu tas berwarna hitam miliknya. Sebuah tas yang hanya berisi satu laptop dan perlengkapannya. Di dalam tasnya, sama sekali tidak terdapat pakaian atau peralatan pribadinya. Sebuah acara dadakan yang membuatnya seperti orang hilang. Pergi sejauh itu tanpa membawa pakaian ganti.
Jasmin dan Mario berjalan untuk masuk ke dalam vila yang sudah bersih. Mereka duduk di ruang depan untuk sekadar istirahat. Mereka menyelonjorkan kaki untuk mencari sebuah kenyamanan. Kaki mereka terasa lelah ketika menempuh perjalanan tadi.
“Ra, Jasmin, maaf kalau semisalnya sekarang, besok, atau nanti, gue bikin repot kalian. Gue cuma ingin menikmati udara segar di Puncak. Selama di Yogyakarta, gue hanya bisa menghirup udara kamar pasien.”
“Mario, santai saja, terpenting, kan, sekarang lu sudah sehat. Maaf, tadi omongan gue kalau menyakiti. Ya, gimana, ya, gue lagi kesel sama Aurora yang ngotot enggak mau tunda perjalanan ini. Akhirnya, gue gak bisa nonton konser.”
“Wah ... Gue ngakak, sih, Jas. Oh, iya, Ra, bagaimana lu sudah mendapatkan informasi mengenai akun itu?”
“Anjim sia mah.” Jasmin merebahkan dirinya si sofa panjang untuk membahagiakan tubuhnya yang merasa pegal-pegal.
“Ya, karena gue hacker profesional, jadi, belum bisa menetapkan siapa pemilik akun itu. Kalau suatu saat nanti sudah bertemu, gue bakal laporkan ke pihak berwenang sebagai kasus pencemaran nama baik. Gue juga sudah ada bukti berupa screenshoot-an komentarnya di konten gue.”
“Hati-hati, Ra. Biasanya, semakin mengulik seseorang akan menumbuhkan benih-benih cinta. Oh iya, Mario ... apa syarat yang lu ajukan untuk aku bisa jalan-jalan di hati lu itu?” Jasmin kembali duduk karena merasa tidak nyaman dengan tatapan mata Mario yang persis dengan mata burung elang yang tengah melotot.
“Syaratnya .... “
Kalimat Mario terpaksa karena ada sebuah keributan dari luar vila. Ternyata, hampir seluruh penghuni vila bersamaan datang ke depan vila yang ditempati oleh Aurora. Mereka memakai masker dengan rapi. Melihat mereka yang sedang membuat kericuhan di luar sana, mengharuskan Aurora untuk menghampiri mereka. Sebelum keluar dari dalam vila, Aurora memakai maskernya terlebih dahulu.
“Kami tidak mau ada keresahan di wilayah ini,” kata salah satu penghuni vila yang berdiri di samping kanan vila yang disewa Aurora.