Pesta

2004 Kata
Siapa yang tidak senang dan berbangga hati bisa diundang dalam acara yang bergengsi. Ya, salah satu teman Aurora yang terkenal kaya raya itu sedang mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Aurora salah satu siswi yang diundang untuk hadir ke acara itu. Aurora hadir bersama sahabatnya, yaitu Jasmin. Mereka berangkat menggunakan mobil pribadi milik ayah Aurora. Akan tetapi, tanpa izin mereka membawa pergi mobil itu. “Ra, seriusan?” tanya Jasmin ketika melihat Aurora mengendap-endap keluar dari ruang dapur ke garansi mobilnya. “Iya, diam saja. Kalau kita minta izin, ya, siap-siap saja kena ceramah super panjang berasa ikut pengajian di acara khataman Al-Quran pesantren sebelah.” Aurora membuka pintu mobil. Dengan pelan-pelan ia menyalakan mesin mobilnya. Karena keadaan yang gelap, tanpa sengaja ia menubruk tembok rumah. Seketika lampu garansi menyala dengan terangnya. Bahkan, di ambang pintu terdapat sosok pria bertubuh besar dengan kedua tangan terlipat di d**a mengenakan sarung motif kotak-kotak. Pria itu bergerak mendekat ke arah Jasmin dan Aurora. “Neng teh mau ke mana?” tanyanya. “Eh, Papa, Aurora ... mau pergi ke pesta ulang tahun. Emm, Papa izinkan, ya, kan perginya sama Jasmin.” “Keluar dari mobil!” teriaknya dengan ekspresi wajah yang menyeramkan. Dengan perasaan yang takut, mereka keluar dari mobil. Ayah Aurora masuk ke mobil dan mengeluarkan kendaraan roda empat itu dari garansi. Setelah terhenti di jalan, ia keluar. “Silakan tuan putri ... Mobil telah siap mengantar tuan putri ke pesta.” Aurora berhamburan ke d**a bidang ayahnya. Dengan memberikan seulas senyuman yang meneduhkan jiwanya. “Pap, makasih. Aurora sayang sama Papa.” “Kamu mah bisanya rayu-rayu terus, ihs,” ucapnya sembari mencubit pelan dagu anaknya. Aurora dan Jasmin berpamitan dengan mencium punggung tangan ayah lalu melenggang pergi dari rumah. Mereka berangkat sekitar pukul delapan malam. Artinya, tinggal ada waktu sekitar tiga puluh menit untuk mereka gunakan dalam perjalanan. “Sia teh ngeselin, Ra!” “Apaan?” jawab Aurora. “Tahu dibolehin mah, tadi tidak perlu kek maling mobil.” Aurora tertawa dengan mata masih fokus menyetir. “Sudahlah, perutku begah, pipi juga keram, yang penting, kita bisa sampai di tempat.” “Heh, Warna, awas itu ada katak!” teriak Jasmin ketika melihat ada sesuatu yang meloncat di depan mobilnya. “Halah, cuman katak bukan manusia,” jawab Aurora remeh. “Heh, katak juga bernyawa. Kalau lu tabrak, lu juga pembunuh. Pembunuh hewan ... Emang lu mau didatangi arwah katak?” jawab Jasmin sembari menyisir rambut dan membuat alis dengan pensil alis berwarna hitam. Aurora memilih untuk tidak menanggapi. Ia memilih untuk fokus menyetir dengan menaikkan kecepatan. Sampai akhirnya, ia terkejut di depannya ada seorang perempuan paruh baya hendak menyeberang jalan. Aurora mengerem mendadak yang mengakibatkan Jasmin kesal. Alis yang sedang ia gambar melenceng jauh dari yang seharusnya. “Warna, bukankah sudah gue bilang, jangan main kebut. Tadi, katak sekarang manusia beneran kan? Untung saja yang rusak alis gue bukan ibu-ibu itu yang jadi korban.” Beruntung, Aurora bisa menghindari tubuh ibu-ibu itu. Itulah pentingnya mengendarai kendaraan dengan kecepatan yang sedang atau sesuai dengan standar. Sebab, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di jalan. Entah tiba-tiba ada orang, tiba-tiba melalui jalan berlubang, atau lainnya yang akhirnya merugikan diri sendiri. Selalu mematuhi aturan tata tertib berlalu lintas agar selamat dari bahaya dan penjaringan polisi lalu lintas. “Iye-iye, gak perlu parno.” Aurora menurunkan kecepatannya. Setelah banyak drama yang terjadi di dalam perjalanan, akhirnya mereka sampai di hotel yang digunakan untuk acara pesta. Di sana, suasana telah ramai oleh siswa dan siswi serta ada beberapa orang yang belum dikenali. Dengan menunjukkan undangan, Aurora dan Jasmin berjalan masuk ke tempat. Mereka memberikan kado kepada Kalista serta mengucapkan selamat ulang tahun. Setelah itu, mereka berdua berjalan mengambil air minum. Pesta ulang tahunnya bertema standing party. “Ra, wih, makanannya enak-enak. Ini ada kentang goreng sama sambal tomat kesukaan gue. Lumayan, buat makanan pembuka.” Jasmin mengambil piring kecil untuk wadah kentang goreng itu. “Ra, gue tantang lu. Jadi, lu makan kentang goreng ini dengan sambal dua kali lipat dari yang gue ambil. Setuju gak?” “Siap, siapa takut. Aurora bukan pecundang yang menolak tantangan.” Aurora mengambil kentang dengan porsi yang sama dengan Jasmin, hanya saja, untuk sambal ia mengambil dua kali lipatnya. Padahal, Jasmin mengambil sambal sebanyak empat sendok. Mereka berjalan mencari tempat yang longgar agar bisa menikmati makanan tanpa berdesakan atau terganggu oleh orang lain. “Gimana?” tanya Jasmin dengan tatapan yang meremehkan. “Tenang, gue bakal habisin ini kentang!” teriak Aurora dengan nada angkuhnya. Pada saat suapan yang pertama, mulutnya masih biasa saja. Perutnya pun tidak bereaksi. Hal itu bertahan sampai pada suapan ke sepuluh. Tiba-tiba, Aurora merasakan tanda-tanda aneh pada saat melihat Langit yang berdiri di dekat pintu ujung ruangan dengan keadaan menguap. Telinga panas seakan keluar asap, pipi merah, dan pinggang terasa sesak. Aurora mengerti dengan kondisi tubuhnya, ia segera berlari dengan menjatuhkan piring yang masih terdapat kentang goreng dan sambal yang masih terlihat penuh, pecah berkeping-keping yang suaranya menimbulkan perhatian dari seluruh tamu undangan. Aurora berlari mencari toilet yang ada di ujung paling belakang hotel. Ia takut jika akan ada orang yang melihatnya dalam keadaan yang aneh. Pinggangnya benar-benar telah membesar. Perutnya juga membuncit dan napasnya yang panas. Beruntung, ia menggunakan rok berwarna denim untuk mengikuti pesta ini. Rok denim itu yang menyelamatkan dirinya di saat celana panjangnya telah robek akibat pelebaran pinggangnya. “Ra, lu kenapa dah?” teriak Jasmin dari luar toilet. Rupanya, ia mengikuti Aurora. Seketika, Aurora yang masih bingung dengan perubahan dirinya pun merasa panik dengan kemunculan suara dari Jasmin. Aurora takut jika Jasmin tiba-tiba mendobrak pintu dan mengetahui semua yang terjadi. “Hey, kamu ngapain di sini? Bukannya di sebelah kosong, ya?” tanya Langit yang membuat Aurora semakin panik. “Eh, iya, gue nunggu temen. Kamu sendiri ngapain?” tanya Jasmin dengan suara kerasnya. “Kalau orang pergi ke toilet, sudah pasti karena panggilan alam, ya, kali panggilan hati. By the way, kamu Jasmin temennya Aurora yang aneh itu, kan?” “Aneh?” tanya Jasmin. “Sudahlah lupakan.” Langit masuk ke toilet pria yang kebetulan letaknya hanya bersebelahan. Aurora duduk di belakang pintu toilet yang sudah ia kunci. Ia memikirkan cara agar tubuhnya kembali normal. Akan tetapi, semakin berpikir, rasanya kepalanya seakan meledak. Sebab, ia sendiri tidak tahu menahu mengenai penyebab tubuhnya yang berubah mendadak hanya karena kepedasan dan melihat orang lain menguap. “Dasar gak jelas jadi cowok!” teriak Jasmin ke Langit yang telah pergi dari tempat. “Ra ... Aurora?” teriaknya sembari menggedor pintu pelan, “Ra, lu kenapa dah?” sambungnya. “Jasmin, lu kembali aja dulu ke pesta. Gue lagi b***k!” teriak Aurora dengan suara yang tidak terlalu keras. Ia berbohong karena kejadian itu tidak ingin ada orang yang mengetahui. Akhirnya, ia mendengar suara langkah kaki Jasmin yang pergi dari luar toilet. Tubuhnya pun berangsur kembali. Rasanya lega bisa kembali mengikuti pesta yang belum selesai. Masih terdengar suara disko dan beberapa kali nyanyian dari ruangan pesta. Aurora membenarkan pakaiannya yang berantakan. Tapi, dirinya merasa tidak nyaman memakai celana yang telah robek. Ia memaksakan diri untuk keluar hanya mengenakan rok denim. Pada saat Aurora hendak keluar, tiba-tiba ada suara langkah kaki dari luar. Aurora memutuskan untuk menunda membuka pintu. “Heh, lu kenapa? Lu sudah berapa jam di dalam?” katanya dengan sedikit teriak, suara khas laki-laki yang dikenali oleh Aurora. “Bukan juga urusan lu kali!” jawab Aurora dari dalam toilet. “Lu butuh daster lagi?” tanya Langit dengan lirih. Ia tidak ingin orang lain mendengar perkataannya. Bagaimanapun ia tidak ingin Aurora merasa malu. “Hah? Apaan daster? Ngawur aja lu!” “Loh, bukannya waktu malam-malam itu lu pakai daster kan?” jawabnya dengan sedikit tertawa, “Lu cantik kok pakai daster, daripada pakai gaun pesta yang mengumbar aurat.” “Pergi saja deh sana. Jangan ganggu gue.” “Halah, nanti juga nyari Langit, kan?” jawabnya masih berdiri di depan pintu toilet. Aurora merasa kesal. Ia memaksakan diri untuk tetap keluar dari toilet. Betapa terkejutnya Aurora melihat Langit yang berdiri bersandar pada tembok dengan membawa satu kantong plastik berwarna merah muda. “Ini buat lu. Gue tahu lu bakal butuhin ini.” Langit pergi meninggalkan Aurora. Aurora membuka plastik. “Hah, kok bisa tahu gue butuh celana?” Aurora bergegas masuk ke toilet untuk memakai celana itu. Setelah selesai, ia kembali mengikuti pesta. “Ra ... Lu b***k lama amat.” Jasmin masih fokus mengikuti alunan lagu disko. Ia menggoyangkan tubuhnya. “Bodo amat. Lu kek ular tahu. Gak pantas ih joget kaya gitu.” Aurora mengambil handphone untuk membalas pesan dari ayahnya. Ternyata, melalui pesan singkat, ayahnya telah menghubunginya berkali-kali untuk menyuruhnya pulang. Ternyata, waktu telah menunjukkan pukul dua puluh empat. “Jasmin, lu mau pulang atau mau dapat cupang?” tanya Aurora sembari memegang pundak kanan Jasmin. Tapi, Jasmin tidak menggubrisnya malah sibuk bergerak tanpa aturan. “Jas hujan ... gue tinggal, ya!” teriak Aurora tepat di telinga temannya. Akhirnya, Jasmin berhenti dari gerak aktifnya untuk ikut pulang bersama Aurora. Waktu berjalan sampai di tempat parkir, tiba-tiba ada Langit yang berdiri di depan mobilnya. “Kalian mau pulang?” “Ya iyalah, masa mau tidur sama lu!” teriak Jasmin. “Dasar cewek bar-bar!” ledek Langit, “Ra, gue anter aja, ya. Sudah tengah malam. Takutnya, ada sesuatu di jalanan.” “Gue gak takut sama setan. Apalagi, setannya cowok kaya diri lu itu.” Aurora masuk ke mobilnya bersama Jasmin. Mereka meninggalkan halaman hotel. Sedangkan, Langit segera mungkin tancap gas motor gedenya mengikuti mobil Aurora dari belakang. Aurora telah sampai di rumahnya. Ia melihat Langit yang berhenti pada jarak seratus meter dari rumahnya. “Sebenarnya, lu perhatian juga, Ngit. Lu juga cakep ...,” batinnya, “Ih, apaan dah, Ra,” lirihnya. “Ra, kenapa?” tanya Jasmin yang mendengar perkataannya. Aurora hanya menatap Jasmin lalu melenggang pergi masuk ke rumahnya. Ia yakin orang tuanya telah terlelap dalam tidurnya. Mereka dengan songongnya masuk tanpa salam. Tiba-tiba lampu ruang tamu menyala. Di sebelah kenan pintu ada ayah Aurora yang berdiri tegak memberikan wajah seramnya. “Ra, mana oleh-oleh buat Papa?” katanya. Aurora dan Jasmin berpandangan lalu mengelus dadanya. “Oleh-oleh? ... Om kira kita habis jalan-jalan ke pasar, ya?” jawab Jasmin. “Gak ada ya? Ya sudah Papa saja yang kasih kalian oleh-oleh. Mari duduk di sana,” ucapnya menunjuk sofa yang ada di ruang tamu. Aurora dan Jasmin mengikuti langkah kaki ayahnya untuk duduk di sofa. Mereka duduk di waktu tengah malam. “Kalian itu anak perempuan, seharusnya kalian berada di rumah kala tengah malam. Sudahlah Papa tidak jadi kasih oleh-oleh. Kalian kelelahan gitu sih. Tidurlah dengan nyenyak, ya.” Ayah Aurora berjalan mengunci pintu rumah lalu kembali ke kamarnya. Sedangkan, Aurora dan Jasmin berlarian ke lantai dua untuk menjemput alam mimpi juga. “Gue sudah deg-deg ser, takut Papa lu marah.” Aurora yang diajak bicara telah terlelap dalam tidurnya. Jasmin menghela napas karena ditinggal tidur oleh Aurora. Seketika, Jasmin berdiri dan berjalan ke meja belajar milik Aurora. Ia tidak bisa memejamkan matanya. Ia membuka laptop milik Aurora lalu mengecek e-mail. Ternyata, ada beberapa e-mail dari orang lain untuk mengajaknya kerja sama dan kolaborasi. Jasmin tidak bisa membalasnya tanpa persetujuan Aurora. Akhirnya, ia menutup kembali e-mail dan melanjutkan mengedit video kolaborasi bersama Isabel. “Jasmin, lu kaga tidur?” tanya Aurora yang sedang duduk bersandar kepala ranjang sembari menguap karena terbangun dari tidurnya. “Enggak, gue gak bisa tidur. Lagian, sekarang sudah jam tiga.” Jasmin berdiri sembari menggulung lengan baju tidurnya yang sempat ia ganti sejak dua jam yang lalu. Tepatnya, setelah pulang dari pesta. Jasmin masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari najis. Setelah itu, ia rapi dengan mukena warna biru muda berbahan parasit yang selalu ada di dalam tasnya. “Ra, tahajud!” Aurora menggeliat lalu mengambil air wudu dan turut serta salat tahajud bersama Jasmin. Mereka melaksanakan salat sunah sebanyak empat rakaat. Setelah selesai, mereka membaca Al-Quran dan berdoa agar diberi kesehatan dan dijauhkan dari virus yang tidak kasat mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN