Mentari pagi bersembunyi di balik mega mendung pagi ini, enggan menampakan diri seolah turut menghukumku. Tak sudi berbagi sedikit bias cahayanya.
Tubuhku terasa berat, lebih berat dari biasanya mungkin karena beban mental yang ku rasa, juga beban dosa.
Ku seret kaki ke arah kamar mandi, ku lihat mbak Miranti dan ibu sedang menyiapkan sarapan di dapur, ku hentikan langkah sekedar memandangi dua sosok wanita yang kusayangi sedang berbincang lirih sesekali ibu mengusap air mata yang mengaliri pipinya yang sudah mulai keriput, air mata itu mengalir karena aku.
Mbak Miranti menengok dan mendapatiku tengah melakukan hal yang sama dengan ibu, mengusap air mata. Segera dia berpaling tanpa senyuman terukir di wajahnya, ini benar-benar hukuman untukku yang telah lalai menjaga diri.
Sadar kehadiranku tidak di inginkan di sini segera ku lanjutkan langkah ke kamar mandi, membasuh diri berharap hal itu bisa meringankan semua beban beratku.
Segar terasa, tapi nyatanya membersihkan raga tidak mampu membuat kesalahanku juga bersih.
Rasanya perutku mual mencium aroma masakan ibu, memang aneh padahal selama ini aroma masakan ibu selalu mampu membangkitkan selera makanku.
Keluar dari kamar mandi ku dapati bapak, ibu dan mbak Miranti sudah duduk di meja bersiap untuk sarapan, tetapi seolah mereka tidak melihatku jangankan menyapa, memintaku sarapan bersama seperti biasanya, melihatku saja tidak. Aku benar-benar kehilangan kehangatan keluargaku sendiri.
"Cepat kamu siap-siap, kita ke rumah juragan Prayoga sekarang."
Suara serak bapak terdengar sesaat sebelum aku memasuki kamar.
"Iya pak."
Hanya itu yang terucap dari bibirku, dan hatiku di penuhi ketakutan.
Ragu.
Satu persatu ku titi anak tangga menuju teras rumah megah itu, rumah pria yang selama bertahun-tahun merajai hatiku, lalu dalam sekejap mata membuangku seperti sampah.
Berada di depan rumah yang ukurannya berkali lipat rumahku ini membuat aku sadar, pantas saja mereka menganggapku hanya kerikil yang tidak pantas bersanding dengan anaknya yang bagai berlian.
Dan bodohnya aku telah mempercayai perkataan Zaki kalau cintanya yang akan membuat aku bisa berada di sisinya.
Bapak terlihat ragu ketika akan menekan bel yang terpasang di dinding bercat putih bersih itu, sekali lagi menarik tangannya dan meremas jemari sendiri, wajahnya menyiratkan ketakutan yang besar.
Sekali lagi mengulurkan tangannya berupaya menekan tombol merah bergambarkan lonceng hitam di tengahnya, di iringi hembusan napas berat akhirnya, Ting ... Tong ... Suara itu terdengar di dalam rumah mewah ini, detik kemudian seorang perempuan paruh baya bertubuh gempal tergopoh membukakan pintu.
"Cari siapa pak?"
Tanya asisten rumah tangga itu dengan sopan.
"Saya mau bertemu juragan Prayoga."
"Oh, juragan lagi sarapan, silahkan masuk dulu."
"Iya terima kasih."
Wanita itu segera memberitahu pada majikannya kalau ada tamu, setelah mempersilahkan kami duduk.
Setelah menunggu beberapa menit dengan saling diam rasanya aku begitu takut bahkan hanya untuk memulai pembicaraan dengan bapakku sendiri, akhirnya juragan Prayoga keluar menemui kami, di temani bu Hanifah istrinya dan beberapa langkah di belakang mereka ku lihat Zaki, wajahnya tampak biasa saja seolah tidak ada rasa bersalah sedikitpun dan tidak ada lagi pancaran cinta yang selama ini memabukkanku.
"Pak Handoyo... silahkan duduk lagi."
Sapa juragan Prayoga setelah kami berdiri untuk sekedar menyalami mereka.
"Terima kasih."
Jawab bapakku sekenanya.
"Ada perlu apa pak Handoyo datang kemari? Bukankah waktu panen belum tiba?"
Bapakku memang biasanya menemui juragan Prayoga untuk membicarakan pembagian hasil panen.
"Mmm anu pak ... Eehhh ini... Jadi ..."
Ucap bapakku terbata-bata. Perkataannya seolah tercekat di tenggorokan, wajahnya bingung tak tau harus berkata apa.
"Pasti kalian kesini buat ngasih tau tentang kehamilan Kinan kan!"
Zaki berkata lantang, sontak membuat pandangan kami tertuju padanya, tidak ada ekspresi terkejut di wajah orang tuanya. Sepertinya mereka memang sudah tau.
"Iya benar juragan, kami kesini meminta nak Zaki bertanggung jawab atas perbuatannya."
Tegas bapak, memberanikan diri mengangkat kepala memandang wajah juragannya, aku tertegun melihatnya, bapak yang awalnya begitu takut kini membusungkan d**a mencari keadilan untukku.
Oohhh bapak begitu besar kasih sayangmu, di saat aku telah mencoreng kotoran ke wajahmu pun kau tetap membelaku, berusaha memberikan yang terbaik untukku, aku menyesal maafkan aku.
"Kalian pikir kalian siapa? Kalian sama sekali tidak pantas menuntut apapun dari kami... Kalian ini tau malu apa tidak sih?"
Bu Hanifah berkata dengan sinis, pandangannya seolah mengucilkan kami.
"Pak Handoyo... Sudahlah masalah ini tidak perlu di besar-besarkan, mereka kan pacaran sudah lama, melakukan itu juga suka sama suka. Kalau sekarang Zaki meninggalkannya ya mungkin Zaki sudah bosen sama Kinanti."
juragan Prayoga dengan ringan menimpali perkataan istrinya dengan sebuah tawa penuh ejekan, tawa yang menginjak-injak harga diri kami.
"Tapi sekarang Kinanti hamil!"
"Ya terus kenapa kalau Kinanti hamil? Apa ada jaminan kalau itu anakku? Bisa saja kan Kinanti bermain dengan lelaki lain! Kalau sama aku aja mau, di juga pasti mau sama orang lain."
Tega sekali Zaki menuduhku seperti itu, padahal dia tau benar kalau aku selalu menjaga kesetiaan padanya. Dia begitu berubah dalam sekejap padahal selama bertahun-tahun kami pacaran dia selalu jadi sosok malaikat untukku, dan sekarang dia menjadi iblis karena bayi yang ku kandung padahal bayi ini adalah darah dagingnya.
"Zaki, jahat sekali kamu... Tega kamu berkata seperti itu..."
Rasanya lemas sekali tubuhku ini, untuk mengucapkan kata itu saja rasanya lidahku berat hanya deraian air mata yang ringan sekali mengaliri pipiku.
Terlihat bapakku mengepalkan tangan tanda menahan amarah yang sudah membuncah di d**a, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, lagi-lagi kemiskinan membuat kami harus pasrah menerima kejamnya kehidupan.
"Kalian tau, kalian hanya mempermalukan diri sendiri... Dengan datang ke rumah ini, meminta tanggung jawab, kalian tau diri dong, kalian tuh siapa! Kalau bukan karena belas kasihan kami, hidup kalian akan lebih susah, sadar pak Handoyo kamu bisa membesarkan anak-anakmu menyekolahkan mereka karena apa? Karena sawah dan kebun pemberian kami."
Bu Hanifah terus saja nyerocos mengeluarkan semua perkataan yang sangat menyakitkan bagi kami sementara suami dan anaknya hanya tersenyum membenarkan.
"Sudah! Kalian sudah keterlaluan, apa karena kalian kaya dan kami miskin... Kalian bisa seenaknya menginjak-injak harga diri kami, apa karena kami hidup dari sawah kalian lantas anak kalian berhak menghancurkan hidup anak saya!"
Bapak menyela perkataan bu Hanifah.
"Tunggu pak. Jangan seenaknya ya! Kurang ajar sekali bapak bicara tentang anak saya Zaki. Kami tidak menginjak harga diri kalian, tapi anak Bapaklah yang tidak punya harga diri, mau-maunya ditiduri padahal belum dinikahi!"
Menyakitkan, semua yang ku dengar dari mereka adalah hal yang menyakitkan.
"Tapi Zaki bilang dia akan bertanggung jawab kalau aku hamil bu... Zaki, kamu sendiri kan yang bilang akan bertanggung jawab!"
Pandanganku kabur tertutup air mata tetapi ku coba pertegas agar Zaki tau aku sedang menuntutnya.
"Baik, kami akan bertanggung jawab!"
Bu Hanifah berdiri, lalu berjalan meninggalkan kami.
Aku dan bapak saling berpandangan, ada sedikit kelegaan mendengar perkataannya.
Kami dalam keheningan larut dalam fikiran masing-masing juragan Prayoga bersandar di sofa kebesarannya tampak angkuh, kesombongannya tak terbantahkan sorot matanya tajam terarah padaku seolah menegaskan bahwa aku tak layak berada di sini.
Zaki sama sekali tidak memandangku, pandangannya tertuju hanya pada layar gawai yang ia mainkan, duduk santai bertopang kaki pada satu kaki yang lainnya.
Tak lama kemudian bu Hanifah keluar dari kamar, langkah kakinya terdengar penuh kepongahan, kini dia berdiri tepat di hadapanku.
"Kamu hamil dan mengaku kalau anak itu adalah anak Zaki hah? Tidak ada satu bukti pun kan! Kalau kami mau, kami bisa memutar balikkan fakta, berkata kepada semua orang agar kamu mendapatkan lebih banyak hinaan."
"Tapi ini benar-benar anak Zaki, Bu."
"Tidak ada yang tau, hanya kamu yang tau itu anak Zaki.
Kamu mau kami bertanggung jawab atas kehamilan kamu kan... Ini... Ambil uang ini dan gugurkan kandunganmu! Dan jangan pernah menampakkan batang hidungmu di hadapan kami lagi!"
Bu Hanifah memberikan sepuluh lembar uang merah muda padaku, karena tanganku tak mau menerima maka ditaruhnya dengan kasar di pangkuanku.
"Baik kalau itu mau kalian ... Ayo pak kita pulang!"
Aku melangkah cepat dengan menggenggam uang yang semula berada di pangkuanku, tak hiraukan bapak yang masih terpaku lalu melangkah mengekoriku.
Sayup aku mendengar bu Hanifah berkata pada suaminya.
"Tuh benerkan aku bilang pak, orang miskin kayak mereka tuh cuma pengen uang ... Di kasih uang segitu aja udah beres urusan kita..."
Sepanjang perjalanan pulang aku dan bapak hanya diam tanpa saling mengeja aksara, mungkin bapak hanya sedang berkonsentrasi dengan sepeda motor yang di kendarainya sedangkan aku yang duduk di boncengan, larut dalam lamunan, lirih tapi pasti hati kecilku berkata.
"Aku bersumpah. Anakku sendiri yang akan mengembalikan sepuluh lembar uang merah muda kepada mereka yang berusaha membunuhnya."
Di halaman rumah sudah terparkir dua sepeda motor milik kedua kakak lelakiku sedang kakak perempuanku biasa datang kesini dengan berjalan kaki.
Kalau ada pilihan lain aku lebih memilih tidak masuk ke rumah, aku takut menemui mereka, bagaimana nanti perlakuan mereka padaku, apa yang akan mereka lakukan untuk menghukumku. Aku sangat takut.