Lima tahun sudah berlalu sejak pertama kuinjakkan kaki di kota metropolitan ini, jika dulu aku datang penuh dengan airmata dan derita, kini hidupku bahagia.
Aku kembali meniti karier hingga kesuksesan sudah dalam gengganam, menduduki posisi yang lumayan bergengsi di sebuah bank besar.
Hidupku terasa lengkap, walaupun banyak ruang kosong yang sepertinya sulit terisi, aku pernah menjanjikan cinta, tapi aku sendiri ragu untuk kembali mengungkitnya.
Ku abdikan hari demi hari, bulan demi bulan bahkan tahun demi tahun hanya untuk buah hatiku, berdiri sendiri tanpa sandaran, aku mampu menjadi seorang ibu sekaligus ayah baginya Queenza Alexandra. Bayi mungil yang empat setengah tahun lalu aku lahirkan.
Kini dia tumbuh menjadi gadis kecil yang cerdas, pintar, energik, dan berbakat. Satu lagi yang tidak bisa dipungkiri jika melihat anakku, dia cantik wajahnya sangat mirip dengan eyang utinya, Bu Hanifah, seorang wanita yang memintaku membunuhnya lima tahun lalu, bahkan sebelum Queen lahir.
Kebahagiaanku memiliki Queen, nyatanya tidak bisa memadamkan api dendamku pada keluarga juragan Prayoga, justru semakin aku berusaha melupakan, kobaran apinya semakin besar.
Aku tetap memantau kehidupan mereka semua, kehidupan bapak dan ibuku, juga kehidupan keluarga juragan Prayoga. Aira sahabatku yang dengan suka rela menjadi mata-mataku.
Bapak dan ibu, sudah lebih melunak, benar kata pepatah sekeras-kerasnya batu pasti akan berlubang jua bila di tetesi air terus menerus, mereka sudah berkali-kali memintaku pulang. Namun, ini belum waktu yang tepat bagiku pulang.
Sedangkan keluarga juragan Prayoga, entah aku harus bercerita bagaimana. Benar adanya karma itu nyata, tanpa perlu aku menghukum mereka, mereka sudah mendapatkan hukumannya, Bu Hanifah mengidap kanker rahim, sudah habis sebagian harta benda mereka untuk berobat, bahkan sampai ke negeri seberang.
☘️☘️☘️
"Mah, aku dibeliin boneka dong sama Tanye Azkya."
Celoteh putri kecilku saat aku menemaninya belajar, dia memang cerdas, minat belajarnya besar sudah menjadi murid di sebuah bimba sejak dua tahun yang lalu, dan sejak setahun lalu dia sekolah akting, karena dia bercita-cita menjadi seorang aktris. Sudah berkali-kali juga ia menjadi model untuk majalah parenting.
"Oh ya, kapan? Kok mama nggak tau?" tanyaku.
"Tadi siang Tante Azkya ke sini," jawabnya.
Queen menengok sekilas padaku, melihat aku yang hanya manggut-manggut akhirnya dia melanjutkan kegiatannya.
Azkya, kepalaku hampir pecah memikirkannya. Bingung aku di buatnya.
Dia gadis yang cantik, berkulit sawo matang, bertubuh mungil, dan berambut keriting. Manis.
Dia juga gadis yang gigih, setidaknya itu yang aku lihat dari caranya mengejar cinta Bang Ricko, sementara lelaki yang dia cintai tidak pernah memberikan rasa yang sama.
Dia selalu perhatian pada Bang Ricko, bahkan padaku dan Queen yang dia tau kami adalah sepupu Bang Ricko. Kadang aku merasa bersalah padanya.
Sedangkan Bang Ricko, dia tidak pernah membahas soal lamarannya padaku lagi, tapi sikapnya selalu sama penuh kasih sayang dan perhatian pada kami, terlebih pada Queen bahkan banyak yang mengira Bang Ricko adalah ayahnya.
[Bang, ada yang mau aku omongin.] Send.
Read.
[Nanti malem Abang kerumah.] Balasnya.
Sejak aku berkerja dan punya dapat rumah dinas. Aku sudah tidak tinggal di rumah Bang Ricko, pindah ke rumah dinasku dengan mendapuk Mbak Ijah sebagai pengasuh Queen.
☘️☘️☘️
Malam hari
Sekitar jam sembilan malam, Bang Ricko baru datang membawa berbagai makanan ringan kesukaan Queen.
"Dimana my little Queen?"
"Dia baru aja tidur." jawabku sembari duduk di sofa ruang tamu, duduk bersebelahan dengan Bang Ricko.
"Ada apa? Katanya mau ngomong sesuatu?"
"Aku mau ngomong soal Azkya," serius.
"Kenapa lagi tuh anak?"
"Bang, ini hal yang serius. Kamu PHP in anak orang bertahun-tahun!"
"Siapa yang PHP in dia sih Nan, 'kan kamu tau sendiri, aku udah berkali-kali nolak dia dan bilang dia harus cari cowok lain."
"Tapi sepertinya dia cinta mati ke Abang."
"Terus? Abang harus gimana?"
"Ya Abang pura-pura cinta kek, kasian tau dia."
"Kasihan? Bukannya dulu kamu yang bilang sebuah hubungan nggak bisa hanya berlandaskan kasihan?"
Aku tergagap, ternyata Abang masih ingat dan kini membalikkan kata-kataku.
"Ah Abang tau!" wajahnya berbinar seperti ada sebuah lampu yang menyala di kepalanya.
"Apa?"
"Kamu cemburu, ada orang lain yang mengharap cinta Abang 'kan!"
"Ih GR! Udah sana pulang udah malem." aku mendorong tubuhnya.
"Hah, jadi kamu manggil Abang cuma buat ngomongin ini terus ngusir Abang gitu aja?"
"Ya abisnya pembicaraan kita tuh percuma, nggak ada solusi juga tentang Azkya."
"Solusi? Emang selama ini Azkya sebuah masalah ya bagi kamu?"
"Ya nggak gitu Bang, aku pernah memelihara cinta selama bertahun-tahun tapi ternyata aku mencintai orang yang salah. Dan itu menyakitkan Bang. Aku tau perasaan Azkya."
"Semboyannya Azkya tuh sebelum janur kuning melengkung Abang masih bisa di harapkan Nan, tapi nanti Abang coba bicara lagi sama dia."
Aku tersenyum lega, aku tidak marah padanya, tapi entah kenapa perhatiannya pada Bang Ricko membuat aku merasa tidak nyaman, apa benar kata Abang, aku cemburu?
"Ya udah Abang pulang ya, nanti akhir pekan Abang ke sini mau ajak Queen jalan-jalan."
Pamitnya, lalu ke luar rumah meninggalkan aku sendiri yang masih betah duduk di sofa, menelaah perasaanku sendiri.
"Nan kok malah bengong?" tanya Bang Ricko yang kembali mengambil kunci mobil yang tertinggal di meja.
"Eh nggak, yuk Kinan anter." aku lalu mengantarnya sampai teras hingga mobilnya melesat tak lagi terlihat.
Mengunci pintu gerbang kulanjutkan mengunci pintu rumah, hendak menuju kamar saat kulihat layar gawaiku masih menyala tanda telah berbunyi sesaat yang lalu.
Sebuah pesan masuk dari Aira.
[Nan, bulan depan Zaky menikah.]
Tanpa tersadar genggaman tanganku mengeras, kuremas benda pipih berharga belasan juta yang tak bersalah tersebut.