Aku tidak mau terlihat mengenaskan meskipun keadaanku memang semenyedihkan ini.
Ku angkat kepalaku berjalan seolah tidak terjadi apapun, aku tidak mau terlihat lemah atau orang akan lebih menginjakku. Aku tegar, aku kuat, aku hanyalah orang yang pernah berbuat salah bukankah setiap orang pernah berbuat salah.
Aku akan memperbaiki segala yang salah demi masa depan yang lebih baik.
Keluar dari lobi kantor pandanganku langsung tertuju pada sebuah mobil berwarna silver yang terparkir, sang empu bersandar pada pintu tersenyum melihat kedatanganku.
"Abang? Kok di sini, mau nabung?" kuberondong dia dengan pertanyaan yang tersulut rasa ingin tauku.
"Enggak, Abang jemput kamu," jawabnya sambil membukakan pintu untukku.
"Kok Abang bisa tau aku mau pulang?" tanyaku setelah duduk di kursi samping kemudi.
"Iya tadi Aira yang telpon Abang," jawabnya lalu mobil pun melaju pelan.
"Oh," aku merespon sekenanya lalu membuang pandangan ke luar jendela.
"Nan."
"Hem ...."
"Makan es krim yuk."
"Boleh."
Lalu mobil berbelok pelan ke parkiran sebuah kedai es krim yang mulai ramai di hari yang terik ini meskipun matahari belum terlalu tinggi.
Dua mangkuk es krim sudah terletak di meja kami, choco vanilla rasa yang sama, yang Bang Ricko pesan.
"Bang," panggilku membuatnya yang sudah siap menyuap sesendok es krim terhenti dan menatap wajahku.
"Berhentilah menuruti Aira untuk baik padaku."
"Maksudnya?"
"Abang terlalu baik, aku tau itu cuma karena permintaan Aira, aku merasa jadi pecundang."
"Kamu yang harus berhenti, mengutuk diri sendiri Nan."
Aku menatapnya, tidak mengerti.
"Kamu merasa bersalah, hingga merasa tidak pantas disayang, begitu kan!"
Aku tertunduk, dia memang benar aku merasa kotor, terlalu kotor hingga takut orang-orang di sekitarku ikut terkena kotoran dariku.
"Kamu harus yakini bahwa kamu orang baik, hanya saja pernah melakukan kesalahan. Jangan terlalu berat menghukum diri sendiri untuk kesalahan yang bukan sepenuhnya kesalahan kamu. Kamu hanya korban dari laki-laki j*****m yang memanfaatkan cinta tulus kamu, seharusnya dia yang menerima hukuman."
Tanpa bisa ku hentikan kini airmataku kembali beranak sungai deras di pipiku.
"Memulai hidup baru harus dimulai dengan memaafkan diri sendiri Nan. Dan membiarkan orang lain menyayangi kamu, karena kamu berhak untuk itu."
Aku hanya mengangguk pelan mengiyakan yang Abang katakan.
"Berapa usia kandunganmu?"
"19 minggu,"
"Oh udah keliatan gede perut kamu, udah ngerasain dia gerak?
Bang Ricko bertanya dengan antusias, tapi sepertinya ada sebuah pisau tajam yang menggores hatiku. Seharusnya perhatian dari Zaki yang kudapat. Ah sial! Kenapa aku harus teringat pria b******k itu, yang kebrengsekannya seketika merubah cintaku menjadi benci.
"Udah, ayo Bang anter aku pulang. Aku mau istirahat."
"Pulang ke rumah mama aja ya."
"Nggak, makasih tapi aku mau pulang ke kontrakan aja."
"Tapi janji nanti kalo sendirian jangan nangis lagi!"
Kami pulang dengan meninggalkan semangkuk es krim yang telah mencair.
***
Baru saja sampai di depan kontrakan yang berjajar rapi beberapa pintu, pemilik kontrakan menyapaku berkata ada hal serius yang ingin dia bicarakan, hal itu mengurungkan Bang Ricko yang berniat langsung pulang setelah mengantarku.
"Mbak Kinan, sebelumnya saya minta maaf," nada bicara ibu pemilik kontrakan tidak sehangat biasanya.
Aku dan Bang Ricko sekilas berpandangan, menerka-nerka kemana arah bicaranya nanti. Perasaanku mulai tidak enak.
"Mbak Kinan sekarang sedang hamil? Tapi nggak punya suami!" mata wanita yang sudah sepuh itu melotot, entah darimana dia tau hal itu, aku tidak berniat menanyakannya.
"Iya bu," jawabku singkat.
"Kalo begitu, saya dan tetangga-tetangga sini nggak bisa nerima kamu disini! Kecuali, mbak Kinan dan mas ini menikah dulu!" dia melirik sekilas pada Bang Ricko yang tengah menggaruk kepalanya tanpa sebab.
"Nggak, Bu. Bukan dia yang harus bertanggung jawab. Dan tidak akan ada pernikahan. Kalau saya nggak boleh tinggal di sini saya akan pergi."
"Eh ya udah, tapi uang kontrakannya nggak bisa balik semua ya, saya cuma bisa balikin separuh, ntar saya kesini lagi saya ambil dulu duitnya," ujarnya sambil ngeloyor pergi.
Aku dan Bang Ricko masuk untuk mengemasi barang-barang yang baru beberapa minggu tertata di rumah kecil ini.
Tanpa mengeja aksara, hanya tangan yang melakukan tugasnya tanpa terasa kembali bulir-bulir bening berjatuhan membasahi pakaian yang siap masuk sebuah tas besar.
Dengan mata di penuhi kaca-kaca, ku lihat Bang Ricko menyandarkan tubuhnya di dinding kamar ini, kedua netra hitamnya memandangku penuh iba, meskipun hatiku berontak untuk menerima rasa kasihnya. Aku tidak perlu di kasihani, semua ini salahku. Lalu kembali terngiang kata-katanya, aju harus berhenti menyalahkan diriku sendiri, aku harus memulai hidup baruku dengan memaafkan diri sendiri.
Bang Ricko kian mendekat padaku, membelai lembut rambut panjangku lalu membenamkan kepalaku dalam pelukannya, ingin rasanya berontak, tapi hati, jiwa dan ragaku terlalu rapuh. Aku perlu sandaran.
Kini aku luruh dalam pelukannya, pundakku mulai naik turun seirama isakan yang tidak dapat kukendalikan. Hingga mulai lelah menangis, dan terasa desiran halus dalam hatiku entah apa namanya.
Mungkin namanya malu, hingga segera kulepaskan pelukanku, dan mendorong cepat tubuhnya menjauh.
Bang Ricko tertawa kecil menerima perlakuanku, "kalo nyaman terusin aja nggak apa-apa kok."
Aku menunduk, mungkin pipiku merah seperti kepiting rebus saat ini, entah karena malu atau karena terlalu sering mengusap airmata.
"Udahkan beres-beresnya? Barang yang lain udah Abang masukin mobil. Ayo pulang ke rumah mama."
"Bang."
Dia menghentikan langkah, tangan kanannya membawa tas pakaianku, dan tangan kirinya menggenggam tangan kananku.
"Iya?"
"Makasih ya."
"Buat?"
"Semuanya."
"Pelukannya?"
"Ih apaan sih!" aku menarik kasar tanganku dari genggamannya, dia tertawa ringan lalu melanjutkan langkah. Aku mengekor.
Ibu pemilik kontrakan sudah menunggu di teras, memberikan uang yang dia janjikan.
"Ini uangnya." Hanya itu yang ia katakan sambil menyodorkan uang padaku, lalu mengunci pintu rumah ini.
***
"bbbeeebbb ... Kamu disini lagi ... Ih seneng deh."
Aira berhambur memelukku, begitu melihatku sedang bercengkrama di ruang tengah dengan Tante Sofia dan Bang Ricko.
"Mulai deh ... Kayak gak pernah ketemu berabad-abad aja!"
Bang Ricko berkomentar tentang sikap adik semata wayangnya sambil menyomot kacang rebus yang Tante Sofia sediakan di meja.
"Dih ... Mulai deh siriknya! Bilang aja pengen di peluk juga."
Aira menjawab sambil menjulurkan lidahnya, meledek.
"Tadi ud ...." Bang Ricko memenggal perkataannya setelah melihat mataku melotot padanya.
"Ud? Apa ayo ...?" Aira mengacungkan jari telunjuknya, gaya khas orang yang menuntut penjelasan.
"Nggak apa-apa," Bang Ricko berkilah, mengambil gelas berisi teh hangat dan meminumnya hanya untuk menutupi kegugupannya.
"Ai, aku boleh nginep di kamar kamu lagi 'kan!"
Cepat kulemparkan pertanyaan agar Aira tidak terus mencecar jawaban dari sang kakak.
"Ya boleh banget dong beb," jawabnya sambil mengunyah kacang.
"Kamu tinggal di sini terus aja ya nak." Tante Sofia menyarankan.
"Kinan nggak bisa Tante."
"Lho kenapa?"
"Kalo tetangga di rumah kontrakan Kinan aja nggak bisa nerima keberadaan Kinan, berarti tetangga di sini juga. Kinan nggak mau memberikan aib yang sama buat keluarga Tante, kalian terlalu baik."
"Tapi nak ...." Perkataan Tante Sofia tersela Bang Ricko yang bicara dengan nada serius.
"Tetangga di sini nggak akan nolak kamu kalau kita menikah Kinan." sontak pernyataan Bang Ricko membuat ketiga pasang mata kami membulat sempurna dan terarah padanya.
"Menikah?" kompak, kata itu juga terucap oleh kami bersamaan.