DL - 1
Tring!
Sepeda tua milik Ronie lewat setiap pukul 4 pagi di depan rumah papan yang tak lagi sekuat dulu. Kuat seperti sekitar 35 tahun yang lalu, ketika baru dibangun oleh pria tua berkumis tebal, senang memakai topi berwarna coklat penny dan selalu menggantung cerutu di bibirnya meski ada atau tiada api yang membumbung tinggi di depan wajahnya.
Sekarang, di sisi kiri bangunan; dekat dengan ruang dapurnya, bahkan sudah mulai keropos dimakan rayap. Bagian belakangnya juga telah habis dicakar-cakar hewan buas ketika malam menjelang hingga berganti pagi. Suaranya membuat gigi ngilu, kuku tajam itu dipaksa menembus dinding kulit kayu yang sel-selnya telah mati serta mengering. Meninggalkan jejak kejahatannya esok hari. Mungkin jahat. Mungkin atau dia sedang mencari serangga pengganti daging segar untuk santapan makan malamnya.
Bel sepeda milik pria tua itu menjadi alarm terbaik untuknya. Setiap kali terdengar, matanya pasti langsung terbuka. Jelas harus terbuka, sebab dia tidak mau ketinggalan mengantar surat para pengguna jasa pengiriman terkenal saat ini, ekspedisi Eskudo.
Seorang pria yang terbangun itu, tersenyum singkat menatap ke arah jendela sontak menarik sendi tubuhnya dan meregangkan semua hingga bunyi mewakili rasa pegal karena kerja kerasnya semalam.
Pergerakannya membangunkan wanita yang tengah terlelap di sampingnya. "Pagi, Pustin!" ucapnya tanpa membuka mata, nada suaranya masih parau.
"Selamat pagi, Sayang!" sahut pria itu tanpa kecupan atau pelukan pagi, "Tidur saja dulu, masih ada waktu sekitar satu jam sebelum kau bangun dan menyiapkan sarapan untuk ibu, aku dan Rian," lanjutnya.
"Oke, kau mau aku buatkan sarapan apa?" tanya wanita itu.
"Apa pun itu kecuali nasi goreng. Perutku bisa meledak jika memakan banyak minyak."
"Baiklah, hati-hati diperjalanan, Sayang!"
"Ya."
Pustin segera masuk ke kamar mandi, melihat wajahnya di cermin. Tangannya meraih batang sikat gigi yang ada di dalam gelas plastik berwarna hitam dan sebuah odol rasa mint. Ketika Pustin mengeluarkan isinya yang sudah sekarat tersebut, cairan hijau muda itu malah muncrat ke wastafel dan sepertinya tidak ada lagi bersisa di dalam kemasan.
Sial! Pustin harus mencolek odol di dinding wastafel tadi kemudian menaruhnya di atas sikat dan mulai menggosok giginya. Setelah selesai, wajahnya dibasuh kemudian segera dikeringkan. Pustin membuka pakaiannya, memasukkan ke dalam keranjang. Memakai parfum ke arah leher dan rambutnya. Setidaknya dia bisa wangi seperti orang yang sudah mandi meski sebenarnya belum.
Pustin tidak pernah tahan mandi pukul 4 pagi, air panas mereka tidak menyala otomatis seperti orang kaya yang tinggal di kota itu. Mereka harus memasaknya dulu di kompor kayu baru ditambahkan ke bak mandi. Butuh waktu lama untuk memberikan sensasi suhu yang pas, Pustin tidak sempat melakukan itu sendirian.
Tanpa berleha-leha, Pustin sudah siap untuk pergi mengantar surat pagi ini. Dia keluar dari rumah dengan pakaian kemeja krem yang berlapis gasper hitam garis, disangkutkannya di sisi depan serta belakang celana kain berwarna coklat tua. Topi tua bergaya topi rata, warisan dari sang ayah selalu ia kenakan sebagai pendorong semangatnya.
Pustin mengambil sepeda miliknya di dalam gudang kemudian mengayuhnya dengan santai. Pustin melihat tetangganya ada di halaman rumah berjarak sekitar 10 meter dari rumah orang tuanya, dengan cepat disapanya dan tersenyum ramah. Orang itu adalah Nyonya Moon, janda dari kolektor mobil mewah.
Sesampainya di kantor pengiriman surat. Suasana sudah ramai dan banyak orang mengepak sejumlah surat yang akan mereka antar. Pilihannya beragam, ada yang menggunakan sepeda, becak dan jalan kaki.
Kehidupan setiap orang berbeda-beda. Sesuai kemampuan, tapi mereka tak pernah saling menghina. Sebab, yang bekerja pasti orang tak mampu. Mereka yang tingkat kehidupannya di atas rata-rata, akan lebih banyak menghabiskan waktu di atas tempat tidur atau di bar elit sampai matahari hampir terbit bahkan siang hari.
Pria tersebut menghampiri meja di sudut kanan depan toko menyerupai ruko berlantai dua.
"Pustin! Di dalam ini ada surat untuk Nyonya Claire, kau harus hati-hati pada hewan peliharaannya," ujar seorang wanita yang penampilannya berantakan, rambut hanya dijepit sembarang ke belakang, bajunya lusuh dan senang minum anggur tanpa tau waktu.
"Haha, tenanglah! Hewan itu yang harusnya takut padaku," jawab Pustin.
"Kau sangat percaya diri. Zurk sudah kena gigitan dari si hitam bertubuh besar itu."
"Doakan saja semoga aku bisa balik menggigitnya," sahutnya berniat melucu, Pustin bermain mata dan segera membawa surat-surat yang dijatah untuknya hari ini.
"Kau selalu punya alasan di balik kekhawatiran orang," sahut wanita itu setelah Pustin pergi. "Ya, kau memang berani," lanjutnya setelah selesai tertawa.
Beberapa menit setelah beranjak dari kantor. Pustin tiba di rumah pertama tujuan suratnya, yang terdekat dengan perusahaan jasa pengiriman surat.
Klining. Klining.
Suara sepeda Ontel miliknya selalu berbunyi saat tiba di depan rumah mereka. Pustin memasukkan surat itu ke dalam kotak yang dipasang di dekat pagar. Jika rumah mereka tak berpagar maka biasanya kotak surat itu ada di dinding dekat pintu masuk.
Pustin menggigil karena dingin, lupa pakai jaket karena buru-buru. Pria itu tiba di depan rumah juragan tepung yang selalu membuat dirinya mendengar gosip hangat setiap mengunjungi restoran setelah selesai mengantarkan surat.
Si Juragan Tepung pagi ini tampaknya sedang panas. Entah berapa wanita yang menjerit di dalam karena ulahnya. Pustin tersenyum saat memasukkan surat untuknya ke dalam kotak.
"Astaga!" ucapnya kaget ketika melihat istri pemilik rumah, ada di dekat jendela. "Selamat pagi, Nyonya!" sambung Pustin pada wanita yang bermurung durja itu.
Jangankan dibalas dengan kata-kata, senyuman setipis kulit bawang pun tiada diberikan.
Pustin hanya melihatnya tanpa ekspresi, dua bola mata saja yang menatap ke arahnya tanpa diikuti rasa semangat. Pustin memilih pergi karena tahu alasan dibalik kegundahannya. Sang suami sedang bermain dengan bunga lain sementara dirinya merenung dan dipaksa mendengar kegiatan suaminya. Pustin tak mau ikut campur dan melanjutkan perjalanan terakhir setelah tumpukan surat sudah semuanya dibagikan.
Rumah terakhir ini merupakan rumah si pemilik anjing menyeramkan, Dorome namanya. Tubuh hitamnya setinggi pinggang orang dewasa, wajahnya seram dan sedikit manis karena memiliki telinga coklat yang terkulai.
Pustin mengeluarkan sesuatu dari kantungnya. Roti isi daging! tentu hewan itu pasti menyukainya. Pustin melemparnya ke arah pepohonan kemudian si hitam mengejarnya dengan cepat. Pustin segera memasukkan surat itu ke dalam kotak dan segera pergi.
Setelah pekerjaan mengantar suratnya selesai, rutinitas pagi selanjutnya adalah berkumpul bersama keluarga kecilnya.
"Ma, apa kabar hari ini?" tanyanya pad seorang wanita yang terduduk di sofa, tangannya mengayun ke lain arah. Putranya duduk di kanan, tapi tangan mamanya ke kiri.
Pustin menuntun sang ibu untuk menyentuh wajahnya. Juanita, begitulah ia dipanggil sesuai nama yang tertera di kartu tanda pengenal yang kini sudah hampir tak terlihat fotonya.
Juanita mengusap wajah putranya. Mulai dari kening, hidung, bibir dan pipinya. "Kumismu tebal, kenapa tidak kau cukur?" tanyanya dengan senyuman lebar meski matanya tak lagi bisa melihat, tetapi sang ibu tetap ingin melihat dengan caranya.
"Karena pisau cukur milikku tumpul, Ma," jawabnya.
"Haha, Beli yang baru, kau sangat jelek ketika berkumis."
"Oya, seperti apa?"
"Seperti ikan lele," jawabnya.
Pustin sontak tertawa mendengarnya. "Tak ada lele setampan anakmu, Ma."
"Mmh, kau tampan seperti ayahmu."
Senyum Pustin selalu luntur kala ada orang yang membahas tentang ayahnya. "Ma, jangan bicara tentang ayah lagi, biarkan dia tenang di sana."
"Ayahmu cinta pertamaku, bagaimana bisa aku melupakannya?"
Pustin mengepalkan tangannya, tersenyum paksa dan meminta mamanya untuk duduk manis sampai sarapannya selesai dibuat oleh Salsa, istrinya. Pustin beranjak dari ruangan tersebut dan pergi dengan ekspresi marah. Wajahnya merah padam, kumisnya bergerak-gerak seiring pergerakan mulut yang mengerucut.
Salsa menatap wajah suaminya yang membara. Dia selalu melihat raut kemarahan setiap kali ada yang membahas tentang almarhum ayahnya. Salsa menghampiri mertuanya.
"Ada apa? Ke mana perginya Pustin?" tanya Junita.
"Ahaha, Pustin ingin mengecek sesuatu di gudang. Mama mau sarapan di sini atau di ruang makan?" tanya Salsa mengalihkan perhatian.
"Di sini saja."
Salsa mengangguk, segera mengambilkan sarapan Juanita, kembali ke dapur melihat suaminya masuk ke gudang. Terdengar suara barang-barang yang dibanting dengan paksa. Salsa menutup jendela agar lebih meredam getaran yang merambat melalui perantara udara. Tidak enak bila sampai ke telinga mertuanya.
Salsa tidak pernah tahu alasan suaminya marah segitu besarnya setiap mendengar kata ‘ayah’. Dulu, pernah coba ditanya dia tapi wanita itu dapat hadiah sebuah pengabaian sikap dari suaminya selama seminggu penuh tanpa alasan pasti. Sejak itu Salsa tidak pernah ingin mencari tahu tentang ayahnya bahkan pada ibu mertuanya sendiri pun dia enggan.
Pustin menghantam bola untuk latihan tinju yang dibuatnya dari besi dan karung yang diisi pasir. Gudang sudah berubah menjadi arena latihan diri untuk membuat tubuhnya kuat. Kuat untuk menghantam mereka yang telah menghabisi nyawa ayahnya. Hingga kini, pelakunya masih berkeliaran. Padahal kejadian itu sudah berlalu sangat lama sekali, saat dirinya masih kecil.