KEHILANGAN KEPERAWANAN

1080 Kata
Perih ... Febi terbangun dengan rasa sakit di selangkangannya. Kepalanya pusing dan berat. Dan ketika dia melihat ke arah tubuhnya yang hanya ditutupi selimut, rasanya Febi ingin berteriak.   Tubuh di balik selimut itu telanjang bulat tanpa sehelai benang pun. Dia melihat ke sekeliling. Pakaiannya berserakan dan bantal di sampingnya menunjukkan jika semalam ada seseorang yang tidur di sisinya. Febi berusaha mengingat apa yang telah terjadi semalam, tapi semakin dia mencoba ingat kepalanya semakin pusing dan berat. Ingatan terakhirnya adalah ketika Ervan menyuruhnya minum lagi segelas wine padahal dia sudah menolak karena merasa sedikit mabuk. Setelah itu ingatannya kabur. Febi tidak ingat bagaimana dia bisa pulang dan bagaimana dia bisa terbaring di sini tanpa pakaian?   Apa yang sudah terjadi semalam? Apa Ervan? Jangan-jangan Ervan ....   Ketukan di pintu mengejutkan Febi. Dia melonjak dan buru-buru menjawab ketukan itu.   “Ya?”   “Feb, kamu udah bangun? Mama mau ngomong sebentar, boleh Mama masuk?”   Febi gelagapan. Jika Mama sampai tahu kondisi kamarnya saat ini bisa-bisa darah tinggi Mama kumat. Buru-buru Febi menyambar baju tidur yang tersampir di kursi.   “Sebentar, Ma,” teriaknya sambil cepat-cepat berpakaian.   Dibereskannya pakaian yang berserakan di lantai dan dilempar begitu saja ke balik pintu. Ketika sedang mengibaskan selimut, dia melihat ada bercak darah di seprainya. Febi menutup mulut, berarti yang terjadi semalam adalah ....   “Feb, lagi apa, sih, kok lama banget?” Kembali Mama mengetuk pintu. Dengan tergesa Febi pun membuka pintu.   “Kirain Febi masih mimpi, Ma ada yang ngetuk pintu,” jawabnya asal ketika pintu terbuka.   “Mimpi apaan udah siang gini?” tanya Mama sambil melihat berkeliling ke kamar Febi. “Pulang jam berapa semalam?”   “Mmm, lupa. Abis ngantuk banget jadi langsung tidur. Nggak sempat cuci muka juga.”   “Sendirian?”   “Apanya?”   “Kamu pulang ke sini sendirian?”   “Maksud Mama gimana, nih. Emang Febi pulang sama siapa?” Febi mendadak sedikit bingung dengan pertanyaan Mama. Khawatir Mama mengetahui sesuatu tentang yang terjadi semalam.   “Barusan pas Mama mau ke luar, Mama lihat pintu depan nggak terkunci. Mama pikir kamu udah pergi tapi kamu masih di sini. Jadi kenapa pintu depan bisa nggak dikunci?”Mama bertanya heran.   Otak Febi berpikir cepat. Kenapa bisa, ya? Apa mungkin Ervan semalam menginap di sini dan pulang pagi-pagi sekali? Dia harus mencari tahu.   “Mungkin Febi lupa ngunci tadi malam, Ma.”   “Kamu mabuk?”   “Ap-apa?”   “Kamu bisa nggak ingat apa-apa gitu kayak orang mabuk aja. Emang semalam kamu pergi sama siapa dan pergi ke mana, sih, Feb?”   “Eh, cuma makan malam aja, kok, Ma. Tapi Febi udah seharian beraktivitas jadi baru terasa tadi malam cape banget.” Febi berusaha meyakinkan mamanya. “Udah, ya, Ma Febi harus mandi. Udah telat, nih. Harus ngecek ke sekolah lagi,” katanya sambil keluar kamar melewati Mama menuju kamar mandi.   Di kamar mandi ketika mengosongkan kandung kemihnya, baru terasa betapa perihnya alat kelaminnya itu. Setelah di cek, Febi juga melihat ada beberapa lebam baru di tubuhnya. Sebenarnya apa yang telah terjadi semalam?   ***   Sebelum pergi ke sekolah,  Febi mampir dulu ke tempat Ervan menginap. Dari tadi dia sudah menghubungi Ervan tapi nomernya mati. Mungkin Ervan belum bangun, pikir Febi. Seingatnya Ervan belum akan pulang hari ini. semalam lelaki itu bilang akan tinggal sehari lagi. Berarti besok dia baru akan ke Tangerang.   Febi tidak tahu nomor kamar Ervan, dia hanya menyebutkan nama Ervan dan fotonya. Resepsionis bilang, tidak ada orang dengan nama itu yang menginap di sana dan resepsionis yang bertugas tidak mengenali wajah Ervan. Entah resepsionis di shift yang lain.   Mendadak Febi menjadi kesal. Mengapa Ervan tiba-tiba menghilang begini? Dan mengapa dia berbohong tentang hotel tempatnya menginap? Apa dia tahu jika Febi bakal mencarinya dan dia sedang menghindar? Jika benar semalam Ervan sudah menidurinya, berarti dia sudah kehilangan keperawanannya. Dan apa Ervan pake pengaman? Bagaimana kalau dia hamil? Febi menghubungi nomer Ervan sekali lagi. Kali ini masuk.   “Van di mana kamu?” tanya Febi panik. Suara di seberang yang terdengar seperti orang baru bangun tidur, menyahut. Dia menyebutkan sebuah alamat.   Febi mencatat alamat itu dalam ingatannya dan bergegas menuju tempat yang telah disebutkan Ervan.   Setibanya di hotel, yang lebih kecil dari hotel yang didatangi Febi tadi, Febi langsung menuju kamar yang disebutkan Ervan. Dia tidak mau bertemu Ervan di lobby. Ada hal mendesak yang perlu dikonfirmasinya.      “Aku mau bicara,” kata Febi sambil menyerobot masuk ketika Ervan membuka pintu. Dia tidak menyadari jika Ervan baru saja mandi dan hanya berlilitkan handuk saja.   “Hai, Feb. Tepat sekali kamu datang sekarang,” sapa Ervan. Febi tersadar dengan kondisi Ervan dan entah kenapa dia merasa sangat berdebar-debar. Apa lagi saat ini dia hanya berdua dengan Ervan dan di kamar yang tertutup rapat. Perlahan Febi berjalan mundur ketika Ervan mulai mendekatinya.   “Apa kamu ingat yang terjadi semalam? Untuk seseorang yang tidak berpengalaman sama sekali, kamu bergerak cukup liar. Suaramu juga, ya ampun seksi sekali, Feb. Aku sampai harus menciummu kuat-kuat agar tidak sampai kedengaran mamamu.”   “Ap-apa yang terjadi semalam, Van?”   “Kamu tidak ingat sama sekali?” tanya Ervan heran. Febi menggeleng.   “Wah, sulit kalau begitu. Aku jadi merasa bersalah.”   “Apa yang terjadi, Van?” desak Febi.   “Sebelumnya aku minta maaf, tapi sungguh kulakukan itu karena kamu yang merayuku duluan. Jadi kupikir kita melakukannya karena suka sama suka. Kalau aku tahu kamu tidak sadar diri aku pasti tidak akan melakukannya.” Ervan menjelaskan panjang lebar, sementara tubuh Febi kaku dan dia tidak bisa berjalan mundur karena langkahnya tertahan tempat tidur.   “Jadi benar jika semalam kita ..., kita ....” Febi menatap mata Ervan mencari kepastian. Ervan mengangguk. Febi menutup mulutnya dan menahan napas.   Sebenarnya ini sesuai keinginannya. Namun bukan begini jalan ceritanya. Dia ingin melakukannya dalam keadaan sadar. Bukan karena mabuk. Dan apa kata Ervan, dia mengeluarkan suara-suara yang seksi? Apa itu artinya dia bertingkah konyol? Ah, Febi malu sekali. Dia jatuh terduduk di tepi tempat tidur.   “Feb, kamu menyesal? Tolong maafkan aku. Kupikir karena hubungan kita berjalan lancar dan cepat atau lambat kita juga akan mengarah ke sana, jadi kupikir tidak masalah melakukannya sekarang atau nanti.” Ervan mendekati Febi lambat-lambat, tangannya terulur dan menyentuh pipi Febi.   Benar juga. Hanya saja dia merasa malu karena pengalaman pertamanya justru seperti ini. Ervan mengelus pipinya lalu rambutnya.   “Kamu baru pertama kali melakukan itu?” tanyanya lembut. Febi menengadahkan wajahnya dan mengangguk. “Tapi lumayan untuk pemula. Mau aku ajari?”   Febi menatap Ervan serba salah, dia tidak tahu harus menjawab apa. Setengah hatinya menginginkannya, setengahnya lagi bilang kalau dia harus menjaga harga dirinya.   Ah, persetan. Dia sudah dewasa sekarang dan jika sampai dia hamil itu lebih baik. Mau tidak mau, Mama akan menyetujui hubungan mereka.   Febi mengangguk, mengiyakan pertanyaan Ervan. Lalu Ervan pun membuka handuk yang melilit tubuhnya. Terlihat k*********a yang teracung ke wajah Febi, membuatnya menahan napas. Aroma kejantanan menguar, menyusup masuk ke hidung Febi. dia menelan ludah, ini pengalaman baru untuknya dan entah mengapa dia begitu menginginkan benda kenyal itu di mulutnya.   “Buka mulutmu, Sayang. Aku akan membimbingmu. Percayalah, kamu akan menyukainya.” Febi pun menurut, dia melakukan yang disuruh Ervan. ©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN