Cammo Industrial Park, Batam
E-mail dari Febi lagi.
Sudah bertahun-tahun temannya itu rajin mengirimi e-mail. Minimal satu tahun sekali Febi mengucapkan Selamat Idul Fitri kepadanya. Sudah bertahun-tahun pula ia tak membalas satu pun pesannya. Berapa tahun tepatnya? Dua puluh tahun?
Ternyata sudah selama itu. Tapi rasa sakit itu belum juga mau pergi. Rasa kehilangan itu. Rasa kesepian itu. Dan rasa-rasa menyakitkan yang lain. Padahal kini ia telah memiliki keluarga yang baru. Suami yang baik dan sangat mencintainya, juga anak-anak yang lucu dan membanggakan.
Hidupnya sempurna. Suaminya seorang engineer di perusahaan terkemuka di Batam, sedang ia sendiri seorang staf admin di perusahaan makanan beku dengan gaji di atas UMK dan jam kantor yang teratur. Tidak ada overtime setelah jam kantor usai atau pada akhir pekan. Waktu yang tersisa, sangat cukup untuk sebuah quality time dengan kedua putrinya.
Ia menarik napas lalu mengembuskannya cepat. Satu hal yang ia sadari, selama apa pun waktu yang diberikan, tidak akan pernah cukup untuk menyembuhkan luka hati yang ia rasakan.
Apa sebenarnya masalahnya? Apa ia masih belum menerima jika telah dicampakkan? Setelah ia belajar menerima cinta yang tak mungkin itu, setelah ia mengikatkan hatinya begitu erat pada sang pemilik cinta, setelah janji-janji menunggu ditunaikan, pada saat itu juga semua perasaan yang ia miliki dikembalikan dan dilempar begitu saja ke mukanya. Apa itu masalahnya? Apa itu penyebab rasa sakit menahun ini?
Tidak. Bukan itu.
Tidak ada perbuatan yang tidak memiliki alasan. Begitu pun kejadian dua puluh tahun itu. Ia percaya, seseorang di masa lalu itu memiliki alasan khusus sehingga harus mengambil keputusan yang begitu berat, mencampakkan dirinya. Tapi selama dua puluh tahun ini, ia tak pernah mencari tahu apa alasannya. Tepatnya, ia tak berani mencari tahu.
Ya, ia takut! Takut jika alasan itu ternyata begitu menyakitkan dan seperti yang ia bayangkan selama ini. Sesungguhnya ketakutan itu tidak beralasan dan akibatnya, rasa sakitnya tidak pernah sembuh.
"Bu Shila lembur?" teguran OB membuatnya terkejut.
"Oh! Eh, Pak Pri? Enggak, kok, Pak. Saya nggak lembur. Cuma mau nyalin e-mail sebentar buat dibaca di rumah. Pak Pri belum pulang?" tanyaku balik.
"Sehabis nyapu ruangan ini saya langsung pulang, Bu."
"O, gitu. Sebentar, ya, Pak." Buru-buru dibereskannya barang-barang yang berserakan di atas meja.
Tepat sewaktu ia menggerakkan kursor hendak mematikan laptop, pemberitahuan itu datang. Ada e-mail masuk lagi. Dan yang membuatnya termangu sebelum akhirnya meng-klik tombol shut down adalah judul e-mail tersebut.
Kenapa? Kenapa judulnya harus itu? Apa sengaja supaya ia baca?
Dua puluh tahun lamanya ia berusaha mengubur satu nama, dua puluh tahun lamanya ia masih menggunakan alamat e-mail yang sama, dua puluh tahun lamanya ia menunggu satu nama mengiriminya e-mail. Dan setelah itu terjadi, apa kelanjutannya?
Hatinya gundah. Pikirannya penuh dengan pertanyaan dan juga rencana-rencana. Ia sudah tak sabar ingin pulang dan membuka e-mail itu.
E-mail dengan subject "Adhitya Dharmawan."
***
The City Tower, Jakarta
Tuhan akhirnya begitu baik padaku!
Hastuti mengepalkan tangan di mulut dan menggigiti buku-buku jarinya. Matanya lekat memandangi note book merah marun di hadapannya. Ia tidak menyangka, setelah beberapa kali gagal mengunjungi almamaternya, akhirnya kesempatan itu tiba. Kesempatan untuk membalas perlakuan mereka padanya semasa di sekolah menengah dulu.
Ia tidak mau melepaskan kesempatan emas ini. Ini saat terbaik! Ketika orang-orang yang dia benci berkumpul dan ia bisa menjaring mereka seperti sekumpulan ikan teri. Hastuti harus memastikan, bahwa mereka-mereka yang membayangi pikirannya selama dua puluh tahun ini, akan datang. Kecuali mereka itu telah mati. Dan ia tahu pasti jika mereka masih hidup.
Hastuti membulatkan tekad. Sebesar apapun kontrak pekerjaannya pada tanggal 6 Juni, harus ia batalkan. Kesempatan ini tak bisa diukur dengan rupiah, dollar bahkan surat obligasi sekalipun. Kesempatan ini tak datang berkali-kali. Mungkin hanya sekali. Selagi mereka-mereka itu masih hidup, Hastuti ingin melihat ke dalam mata mereka saat dendamnya terbalaskan.
Perlahan tapi mantap, Hastuti menggerakan kursor pada titik-titik yang harus diisi. Keputusan sudah bulat. Ia akan datang ke perayaan dua puluh tahun almamaternya.
E-mail balasan pun ia kirimkan, wajahnya semringah, pikirannya berencana. Pembalasan itu harus lebih menyakitkan dari perbuatan mereka di masa lalu.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan di pintu menghilangkan seringai dari wajahnya.
"Bu, ini jadwal bulan Juni di cancel semua?" tanya sekretarisnya. Hastuti mengangguk.
"Tapi, Bu ..., proyek besar ini dapetin tendernya aja susah, lho kemarin."
"Sub-con saja. Atau kalau kamu sanggup kamu handle saja sendiri. Fee-nya untuk kamu semua," ucap Hastuti. Senyum terbaik tersungging dari bibirnya, membuat sekretarisnya itu ternganga. Atasannya itu jarang bermurah hati memberi senyuman.
"Tap--tapi, Bu ...."
"Sanggup tidak? Kalau sanggup kerjakan kalau tidak tinggalkan."
"Saya sanggup, Bu."
"Bagus, sekarang tinggalkan saya sendiri. Ada hal yang harus saya kerjakan," ujarnya.
Sekretarisnya mengangguk dan keluar ruangan. Setelah pintu tertutup, Hastuti memandangi langit-langit ruangan dan mulai mengingat satu per satu wajah mangsanya, juga perbuatan-perbuatan mereka yang tak terlupakan.
***
Wisma HSBC, Semarang.
Aku merasakan sesuatu mulai naik ke pangkal paha. Jari-jari yang menggelitik, kulit yang halus, dan napas beraroma mint di telingaku. Aku terkikik geli ketika dia membisikkan pertanyaan itu di telinga.
Apa kamu mau yang lebih?, bisiknya lembut.
Apa yang berani kamu lakukan di tempat umum seperti ini?, tantangku.
Sesuatu yang membuatmu enak dan akan membuatmu meminta yang lain, jawabnya. Aku makin terkikik. Kurasakan jarinya makin naik dan mulai menyelusup ke balik g-string yang kukenakan. Ia bermain-main di sana. Dan sepertinya katanya, aku mulai merasa sedikit relaks.
Aku menggigit bibir dan menatap matanya.
Bagaimana jika aku keluar di sini?, desahku. Dia lantas berbisik lagi di telinga, kamu membuat aku b*******h, Sayang.
Kupandangi sepotong red velvet dan sepotong tiramisu yang masih utuh di atas meja. Suasana kafe masih sepi, ini belum waktunya makan siang. Hanya ada seorang pelayan berjaga di dekat kasir yang sebentar-sebentar melirik kami penuh rasa ingin tahu. Dari posisinya berdiri, tubuhku terhalang punggung lelaki yang kini begitu dekat menempel padaku.
Aku semakin menggigit bibir lebih keras ketika ia, yang mengaku klienku, memasukkan jarinya lebih dalam padaku. Kupejamkan mata dan menunggu sensasi itu datang.
Apa yang kulakukan ini salah? Aku perempuan tiga puluh tahunan yang sedang berada di puncak gairah. Meski anakku sudah empat, tidak membuat gairahku surut. Sebaliknya, keinginan ini rasanya tak pernah tuntas. Apa lagi sejak suamiku yang tua mulai sakit-sakitan dan tak bisa menunaikan kewajibannya.
Kemana harus kucari jika bukan pada lelaki yang mendatangiku seperti kumbang jantan penghisap madu?
Aku masih muda! Aku berhak bersenang-senang. Dan suamiku, ia terlalu lelah. ia tahu itu. Tapi, aku tidak menuntut. Bukankah aku anak baik? Aku istri yang sangat pengertian. Walau sebenarnya tidak!
Aku puas menikah dengan suamiku. Harta melimpah. Derajatku naik. Sebenarnya aku juga tidak perlu bekerja lagi. Tinggal gesek, gesek, gesek, semua kebutuhanku tercukupi. Tanpa limit! Kuakui dia sangat memanjakanku. Mungkin dia pikir itu bisa membungkam gairahku. Atau mungkin semua kemewahan ini untuk mengalihkanku? Agar aku tidak menuntutnya. Tidak, tidak. Dia salah. Sudah kukatakan aku bukan orang yang mudah dipuaskan. Itulah alasanku bekerja. Agar kesempatanku di luar rumah lebih banyak dan aku bisa memangsa laki-laki yang kuinginkan.
Kulirik ponselku yang bergetar di atas meja. Sebuah e-mail masuk. Agar pelayan tidak terlalu curiga pada kami, kuraih ponselku sambil menahan sensasi yang makin menggelegak.
E-mail dari panitia reuni angkatanku di SMA.
Sebuah perasaan rindu muncul ke permukaan. Perasaan yang terlupakan bersama pemilik hati yang menghilang pergi. Debaran dadaku semakin kencang mengingat masa-masa SMA yang menantang.
Apakah dia akan datang? Lelaki itu, lelaki yang bisa meredakan dahagaku dengan permainan-permainannya. Aku sedang bermain judi jika aku memutuskan hadir ke reuni itu. Tapi jika kupikir ulang, anggap saja ini hadiah untukku karena telah menjadi istri dan ibu yang baik.
Jika lelaki itu tidak datang ke reuni, aku bisa mencari laki-laki lain sekehendak hati. Tak perlu takut ketahuan suami. Senyumku mengembang, bersama rasa menggelegak yang menuju puncak.
Kupandangi bibir lelaki di hadapanku ini. Ah, rasanya sayang jika kulewatkan begitu saja.
"Lebih cepat, Sayang," desahku sambil melumat bibirnya. Tak peduli pada pandangan terkejut pelayan yang berdiri tegak sendirian di dekat meja kasir.
Kupastikan pelayan itu akan mendapat tips yang lumayan dariku.
***
Gumilir, Cilacap.
Sebuah tulisan tercetak tebal di laptop Febi. Daftar peserta reuni angkatan 1996.
Ia menggerakkan ke bawah kursor laptopnya dan berhenti pada angka 180. Jumlah siswa seangkatannya seharusnya ada 320 siswa. Baru setengah lebih yang berhasil ia kumpulkan. Sisanya masih ia telusuri.
Buka hal yang mudah mengumpulkan siswa sebanyak itu sendirian. Bekerja selama lima tahun di SMA almamaternya tidak memberikan kemampuan penelusuran yang cukup baik. Yang ia miliki hanya daftar alamat mereka sewaktu masih bersekolah di SMA Harapan Bangsa. Sedangkan kini, alamat itu sudah berubah. Jangankan alamat, wajah mereka pun sudah banyak berubah. Febi menelusuri nama teman-temannya melalui media social. f*******:, i********:, twitter, dan path. Tapi tidak semuanya bisa ia kumpulkan. Sekali lagi, wajah mereka sudah berubah. Namanya pun berubah. Ada yang menggunakan nama anaknya, ada juga yang menggunakan nama suami atau istrinya di akun media sosial mereka. Mereka yang berhasil ia telusuri dikumpulkan dalam satu grup w******p. Dan ia meminta teman-teman di grup untuk membantunya menelusuri teman yang lainnya.
Setahun sejak grup WA dibentuk, wacana tentang reuni besar sering diembuskan. Dari grup itu jugalah terbentuk panitia kecil yang beranggotakan para alumni yang tinggal di Cilacap, termasuk dirinya.
Sebelum mengajar di HB, Febi pernah bekerja pada perusahaan asing di Papua dan bergabung dalam perusahaan akuntan publik di Jakarta. Setelah ayahnya meninggal, ia memutuskan pulang ke Cilacap untuk menemani ibunya dan menjadi guru honorer di SMA negeri.
Setelah bertahun-tahun mengabdi, kesempatan pengangkatan belum juga menghampiri. Padahal beban kerja yang ia terima sama dengan guru dengan status PNS. Kadang justru lebih besar. Dengan alasan, ia masih lajang. Akhirnya ia pun melamar di SMA HB dan diterima sebagai guru akuntansi.
Febi tidak menyesali keputusannya untuk tetap mempertahankan status lajangnya. Tahun depan usianya sudah kepala 4, tapi ia tidak risau. Orang tuanya pun sudah berhenti berharap. Ia percaya akan cinta sejatinya. Cinta sejati yang selalu ia jaga kesegarannya seperti tetes air di daun. Febi percaya, suatu saat cintanya akan berlabuh. Tak peduli berapa lama ia harus menunggu, ia akan tetap setia menanti saat itu tiba. Saat cinta sejatinya datang dan mereka berdua akan bahagia.
Ia tahu, cinta sejatinya akan datang ke acara reuni SMA mereka. Konfirmasi kehadirannya sudah ia terima. Febi juga mendengar kabar yang berembus bahwa cinta sejatinya itu sudah tidak menyandang status suami lagi. Cinta sejatinya sudah meninggalkan pasangannya. Febi percaya jika semua itu adalah takdir.
Semesta berpihak padanya. Dan masa depannya yang bahagia tak lama lagi akan datang. Penantian panjangnya segera berakhir. Kulit pucat Febi bersemu. Ia tersenyum bahagia. ©