PUKUL TIGA DINI HARI

1515 Kata
Adhit memandangi gantungan kunci di tangannya. Gantungan kunci perak yang rajin dia bersihkan sehingga tetap berkilat meski di makan usia. Hiasan timbul sulur-sulur memenuhi permukaannya yang berbentuk oval. Gantungan kunci itu sebenarnya liontin tempat menyimpan foto. Dulu Shila memberikannya sebagai hadiah ulang tahun. Di dalamnya, Adhit meletakkan foto Shila yang dia gunting dari foto yang dia ambil ketika mereka sedang mengadakan bazar sekolah dalam rangka HUT RI. Adhit ingat sekali bagaimana cemburunya Shila pada hari itu melihat tumpukan bunga dan kado di mejanya. Pemberian penggemar Adhit karena hari itu dia ulang tahun. Sedangkan Shila, pacar resminya, tidak memberi kado apa-apa. Bahkan dia lupa kalau hari itu Adhit ulang tahun. Sudah ada perjanjian di antara mereka berdua kalau tidak perlu ada perayaan apa-apa untuk acara khusus. Sebenarnya bukan keinginan Adhit, tapi keinginan Shila karena dia tidak ingin Adhit selalu memberikannya hadia-hadiah yang mahal. Shila memang berbeda dengan gadis lain. Di saat gadis lain mengharapkan banyak pemberian dari pacarnya, Shila sebaliknya. Setiap pemberian Adhit membuat gadis itu merasa tak enak karena tidak bisa membalas hal yang sama. Akhirnya disepakati jika Adhit boleh membelikannya hadiah hanya dari uang yang dia hasilkan sendiri. Bukan uang orang tuanya. Tidak masalah bagi Adhit, karena otaknya encer, dia memberi les privat pada adik-adik kelasnya. Sedangkan Shila, dari hobi berkebunnya, dia bisa menjual bunga dari kebun kecilnya di rumah. Bunga dalam pot maupun bunga segar. Seperti pada hari itu, ketika bazar sekolah. Shila menjual bunga mawar merah yang dibungkus plastik transparan dan diberi kartu ucapan. Ironisnya, pembeli mawar merah itu malah memberikan bunganya untuk Adhit. “Kalau tahu bakal gini, nggak akan, deh aku jualan bunga segar,” gerutunya ketika melihat tumpukan bunganya ada di meja Adhit. (1) “Kita makan mi ayam, yuk. Aku yang traktir. Biar mood-mu balik lagi,” kata Adhit sambil mengusap kepalanya. Namun Shila menolak. Dia memilih menghilang bersama Febi, sahabatnya sekaligus teman sebangkunya. Dan ketika Adhit bisa menemukan mereka berdua, Shila memberinya gantungan kunci ini. Hadiah pertama dan terakhir yang dia terima dari gadis itu. Ketukan lembut di pintu membuat Adhit sedikit kaget. Diliriknya jam weker di atas nakas. Pukul 3 dini hari. Apa dia sudah melakukan sesuatu yang membuat Mamah terbangun? Adhit berjalan ke pintu dan membukanya. Dia melemparkan gantungan kunci yang dia pegang ke atas sofa. Di depan kamar Mamah berdiri membawa nampan dengan s**u hangat di atasnya. Uap susunya mengepul di udara dan langsung tercium oleh hidung Adhit. “Mamah kebangun? Apa Adhit ngigau lagi?” tanyanya sambil mengambil nampan dari tangan Mamah. Mamah menggeleng. “Hari ini kamu nggak ngigau atau berteriak. Tapi Mamah merasa kalau kamu pasti terbangun. Setiap hari, selama belasan tahun, di jam yang sama. Apa kamu yakin tidak perlu ke psikiater lagi?” tanya Mamah khawatir. Adhit menggeleng dan mundur sedikit. Memberi isyarat pada Mamah untuk masuk ke dalam kamar. “Adhit nggak papa, kok, Ma,” katanya sambil meletakkan s**u di samping weker. “Tapi Mamah ngerasa nggak tenang, Dhit.” Mamah duduk di sofa yang terletak berseberangan dengan tempat tidur. Matanya memandang gantungan kunci yang terbuka. Diraihnya gantungan itu dan diamatinya foto yang ada di dalamnya. Adhit memandangi kelakuan Mamah dengan d**a sedikit berdebar. “Kamu menemukan gantungan kunci ini?” tanya Mamah. Dia ingat ketika istri Adhit membuang gantungan tersebut karena kesal tidak dipedulikan oleh suaminya. Di tengah hujan lebat, Adhit mencari-cari gantungan tersebut. Tidak jelas apakah dia menemukan gantungan tersebut atau tidak, yang jelas Adhit masuk dalam keadaan kuyup dan mengunci diri di kamar selama berhari-hari. Mamah yang memang tinggal serumah dengan Adhit dan istrinya harus membujuknya dengan susah payah agar Adhit mau membuka pintu untuk makan. “Harus Adhit temukan, Mah. Hanya itu satu-satunya benda pemberian Shila,” jawabnya sambil meraih s**u dan meneguknya habis. “Sudah puluhan tahun dan kamu masih belum bisa melupakan dia.” “Mahh, tolong. Jangan mulai lagi.” “Kamu harus hidup normal dan bahagia, Dhit. Kamu nggak bisa menyiksa diri seperti ini terus-terusan!” “Adhit bahagia, kok, Mah. Selama tidak ada yang mengusik kenangan tentang Shila, Adhit bahagia. Biarkan Adhit hidup dengan cara Adhit, Mah.” “Apa dia akan datang hari ini?” tanya Mamah hati-hati. Pandangannya menunduk. Dia tak sanggup melihat kesakitan yang selalu muncul di mata putranya ketika berbicara tentang Shila. Adhit menghela napas panjang dan duduk di samping Mamah. “Adhit nggak tau, Mah. Jika dia datang Adhit berjanji akan menyelesaikan masalah yang seharusnya diselesaikan puluhan tahun lalu. Jika dia nggak datang, Adhit akan tetap berusaha mencarinya. Tidak untuk mengusik dia, hanya untuk memberikan sesuatu yang menjadi miliknya. Bukan begitu, kan, Mah?” Adhit menyentuhkan bahunya ke bahu Mamah. Dia tidak bisa membuat perempuan yang selalu berada di sisinya ini khawatir. Semenjak Papah meninggal lima tahun lalu, Mamah menghabiskan waktunya hanya untuk mengkhawatirkan Adhit. Shila, kamu di mana? Izinkan aku untuk menemuimu sekali saja. *** Shila terbangun pagi ini dengan kepala sakit. Semalaman dia hampir tidak bisa memejamkan mata. Hatinya berdebar mengingat yang mungkin akan terjadi pagi ini. Semalam dia tidak bisa menghubungi Febi. Entah di mana sahabatnya itu pada saat dia sangat membutuhkannya. Pagi ini, Febi berjanji akan menjemputnya ke tempat reuni. Namun sepertinya dia harus pergi sendiri. Pesan WA yang dia kirimkan dari semalam, belum juga dibaca. Entah apa yang terjadi pada ponselnya. Apakah habis batre atau hilang. Febi tidak seperti Febi yang biasanya. Febi yang dia kenal. Febi yang selalu mendengarkan keluh kesahnya tentang Adhit sewaktu di SMA. Febi yang selalu mendukung dan menyemangatinya waktu hubungannya dengan Adhit putus nyambung. Febi yang sekarang sedikit tidak peduli. Mungkin Febi bosan dengan segala sesuatu tentang dia dan Adhit. Mungkin bahkan Febi hanya berpura-pura rindu padanya selama dia di sini. Yang sebenarnya terjadi, Febi ingin menjauh darinya. Entahlah, Shila sadar jika selama ini dia egois. Febi selalu mendengarkan dia, tapi apa Shila pernah mendengarkan Febi? Shila bahkan tidak tahu jika selama SMA Febi punya seseorang yang disukai. Febi hanya menunjukkan ketertarikan pada buku dan tugas-tugas sekolah. Setahu Shila, dia dulu ingin menjadi dokter. “Aku hanya mengubah tujuanku, Shil. Jadi dokter tidak terlalu menyenangkan. Aku lebih suka berkutat dengan angka-angka.” Begitu jawaban Febi saat ditanya kenapa dia tidak menjadi dokter seperti cita-citanya dulu. “Jadi apa pun itu, kalau kamu, sih pasti bisa. Kamu jenius, sih,” kata Shila. Itu benar. Febi gadis paling pintar di sekolah. Dan gadis paling pintar sekalipun, bisa menjadi bodoh jika menyangkut hubungan dengan lawan jenis. “Siapa, ya anak SMA yang saat ini sedang dekat sama Febi? Dilihat dari cara Febi nyembunyiin dariku, kayaknya aku kenal orangnya. Malah bagus, kan kalau aku kenal. Tapi kenapa Febi malah nggak mau ketauan?” Shila mengucek rambutnya. Dering telepon membuyarkan pikirannya. Shila meraih ponselnya dan tersenyum melihat siapa yang meneleponnya pagi-pagi. “Hallo, Sayang,” sahutnya. Lalu suara berebut terdengar ramai di ujung telepon. Dua putrinya sedang berebut berbicara dengannya. Intinya mereka rindu dan menanyakan kapan Shila pulang. [Masakan Papa nggak enak. Gorengannya gosong. Terus mie rebusnya juga besar-besar tapi nggak ada kuahnya.] Si bungsu berceloteh melaporkan segala kejadian yang ada di rumah. Selama dia di Cilacap, mereka selalu meneleponnya pagi-pagi. [Kamu sehat, kan, Ma?] Suaminya mengambil alih ponsel setelah kedua putrinya selesai bercerita. “Sehat, Pa. Sedikit capek saja karena jalan ke sana kemari.” [Jaga kesehatan dan jangan kelewat batas] “Apa yang mau dilewatin, Pa? Tujuan Mama ke sini, kan sudah jelas. Reuni itu cuma sampingan aja.” [Papa percaya. Tapi sebenarnya, kan bisa menunggu sampai kita punya cukup uang untuk pulang bareng. Sekalian nengokin orang tuamu.] Suaminya masih menyesali keputusan Shila untuk bepergian sendirian. “Ya, tapi momennya nggak pas kalau gitu. Ini tepat banget. Pas hari ulang tahunnya. Lagian Mama nggak pengen ditemani siapa pun buat menghadapi saat ini. Papa, kan udah tahu masalahnya gimana.” [Ya udahlah. Cepat pulang. Papa kangen.] Panggilan berakhir. Shila melihat jam pada ponselnya. Masih banyak waktu untuknya bersiap-siap. Sambil berjalan ke kamar mandi, dia mengingat kembali kejadian kemarin sore sewaktu dia berkeliling sendirian dengan motor sewaan. Ketika hendak masuk ke Pasaraya Rita, dia melihat sosok yang sangat dia kenal sedang berdiri di depan kasir. Walau puluhan tahun berlalu, dia tidak mungkin bisa lupa dengan mudah sosok itu. Walau kini penampilannnya sedikit berubah, dia masih saja menunjukkan kharisma yang sama seperti dua puluh tahun yang lalu. Dan sialnya, hatinya mengenali sosok itu. Dan sialnya lagi perasaan itu masih ada. Perasaan yang Shila pikir telah dia kubur dalam-dalam. “Baru ngeliat dia dari jauh aja udah aku udah deg-degan, gimana dengan hari ini? Betul kata Febi, seharusnya aku melatih mimik di depan cermin supaya nggak kelihatan bodoh ketika ketemu dia,” kata Shila dalam hati sambil mengamati mukanya di dalam cermin yang sedang menggosok gigi. Shila mendesah. Apa akan lebih baik untuk hari ini jika kemarin dia tidak putar balik dan memilih untuk bertemu muka di Rita? Jika kemarin mereka bertemu, mungkin hari ini dia tidak perlu menghadiri reuni. Mungkin hari ini dia bisa langsung pulang setelah menyelesaikan urusannya dengan Adhit. Namun Shila tidak pernah tahu tentang masa depan. Seandainya dia tahu apa yang akan terjadi di masa depan, mungkin dia memilih tidak datang ke reuni. © (1) Cerita tentang Adhit dan Shila bisa dibaca dibuku "Rain to You"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN