Citra membuka mata, langit-langit kamar yang putih adalah hal yang pertama dilihat. Citra yakin bukan berada di dalam kamarnya.
Citra menoleh, ia melihat Bi Sulis duduk di sofa.
"Bi," panggil Citra.
"Citra!" Bi Sulis bangkit dari duduknya. Didekati tempat pembaringan Citra.
"Syukurlah kamu sudah sadar." Bi Sulis mengusap lembut kepala Citra.
"Apa yang terjadi, Bi?" Tanya Citra. Yang diingat hanya rasa sakit diperutnya saja, setelah jatuh terduduk akibat didorong Tami.
"Kamu hampir keguguran, Citra," jawab Bi Sulis pelan.
"Keguguran? Aku hamil, Bi?" Mata Citra melebar menatap Bi Sulis.
"Iya. Kamu tidak sadar kalau hamil ya?"
"Aku tidak tahu, Bi." Kepala Citra menggeleng. Ia benar-benar tidak tahu kalau sudah hamil.
"Untung calon bayimu tidak apa-apa. Tapi kamu harus istirahat total di rumah sakit selama beberapa hari."
"Oh ...." Citra yang masih merasa terkejut hanya mengangguk saja.
"Nyonya Tami memang keterlaluan. Hampir saja kamu kehilangan bayi karena dia. Tuan juga, kenapa sampai lupa kembali ke kamar nyonya. Huh, ada-ada saja," gerutu Bi Sulis.
"Sudahlah, Bi. Yang penting dia selamat." Citra mengusap perutnya.
"Semoga kehamilanku lancar, melahirkan selamat, agar perjanjian ini ...."
Suara Citra tersendat. Jika perjanjian berakhir, maka dirinya harus rela terpisah dari darah dagingnya. Buah hati yang bukan berasal dari buah cinta sepasang suami istri.
"Citra ...." Bibi mengusap lengan Citra. Citra mengusap matanya yang basah, sebelum air mata membasahi sudut matanya. Ditarik dalam nafas, dihembuskan dengan perlahan. Citra tahu, ini konsekuensi atas pilihannya. Bukan pilihan, karena sebenarnya berada di posisi dirinya sekarang, bukanlah sebuah pilihan. Namun sesuatu yang harus ia lakukan, mengorbankan diri demi masa depan anak-anak pamannya.
Suara ketukan di pintu mengagetkan Citra, dan Bi Sulis. Bi Sulis membuka pintu. Melangkah masuk ibu Cakra bersama Cakra. Citra berusaha bangkit dari berbaring, tapi tangan ibu Cakra menahan bahunya.
"Kamu harus istirahat total, Citra. Nasib anakmu ada pada dirimu. Jaga dia dengan baik. Aku juga akan bicara pada Tami, agar dia lebih bisa menahan diri," ucap ibunya Cakra.
"Terima kasih, Nyonya besar."
"Dengar, Cakra. Kamu tidak boleh memantik amarah Tami. Kalau Tami marah, itu berbahaya bagi kandungan Citra. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi." Ibunya memandang tajam ke arah Cakra.
"Ibu saja yang bicara pada Tami, agar dia tidak berusaha mengganggu dia." Cakra menunjuk Citra dengan jari, tanpa menatap Citra.
"Kamu itu suaminya. Kamu harus bisa mengatasi Tami!" Ibunya Cakra tampak kesal pada putranya.
"Hhh ... baiklah, Bu." Cakra tidak lagi membantah, atau berusaha berdebat dengan ibunya.
"Cinta istri itu wajib, Cakra. Tapi bukan berarti kamu diam, dan menerima saja diperlakukan seenaknya oleh Tami." Ibunya Cakra belum puas menceramahi putranya.
"Iya, Bu, iya. Sudah ya, tidak usah membahas Tami lagi di sini," bujuk Cakra.
"Citra, Sulis yang akan menjagamu. Kalau kamu perlu sesuatu, katakan saja pada Bi Sulis. Aku tidak ingin cucuku ngeces nanti, karena keinginannya tidak dituruti. Sulis, kamu mendengar apa yang saya katakan?" Ibunya Cakra memanggil Bi Sulis yang diam saja.
"Iya, Nyonya." Bi Sulis menganggukkan kepala.
"Kamu harus istirahat dulu di sini. Kalaupun nanti diijinkan pulang, kamu harus istirahat juga di rumah. Tidak perlu ikut mengerjakan pekerjaan rumah."
"Baik, Nyonya," sahut Citra.
"Cakra, karena Citra sudah hamil, kamu tidak perlu lagi tidur dengan dia."
"Aku tahu, Bu."
Citra menatap Cakra. Sejak masuk ke ruang perawatannya, Cakra tidak sedikitpun menatap, apa lagi bicara padanya.
"Ya sudah, kami pulang, Citra. Sulis jaga Citra dengan baik."
"Iya, Nyonya."
Citra menatap kepergian suami, dan ibu mertuanya. Sikap Cakra masih saja dingin kepadanya. Meski kini telah tumbuh darah daging Cakra di dalam tubuhnya. Citra tahu, ia tidak boleh berharap apapun. Dirinya ada di rumah Cakra, hanya dipinjam rahimnya, untuk hamil darah daging Cakra. Bukan menjadi istri seperti seharusnya.
*
Siang hari, Tami yang datang dengan ibunya menemui Citra. Tanpa basa basi, Tami langsung berusaha mengintimidasi Citra.
"Jangan karena sudah hamil, kamu pikir bisa bertingkah seenaknya. Jangan berpikir kamu bisa menarik perhatian Mas Cakra. Mulai dari sekarang, haram bagi Mas Cakra menginjakkan kaki di kamarmu. Kamu dengar itu!" Telunjuk Tami menuding ke arah Citra.
"Tuan datang, atau tidak ke kamar saya, bukan masalah buat saya, Nyonya. Nyonya salah kalau mengancam saya, harusnya beritahu suami Nyonya, agar jangan masuk ke kamar saya. Kalau Tuan datang, dan meminta saya melayaninya, saya tidak akan menolak, karena dia suami saya." Citra membalas tatapan Tami.
"Dasar wanita kampung kurang ajar, berani sekali kamu bicara begitu!" Bu Cindy, ibunya Tami menatap Citra dengan mata menyorotkan rasa marah.
"Saya hanya tidak ingin, Tuan datang ke kamar saya, tapi saya yang kalian maki. Jadi, silakan Nyonya peringatkan tuan, supaya tidak datang ke kamar saya." Citra menantang tatapan Bu Cindy.
"Ibu nanti yang akan bicara dengan. Cakra. Dia pasti tidak berani melanggar larangan dari Ibu."
"Cih, wanita ini memang ingin mengambil kesempatan. Dia pasti berniat menguasai Mas Cakra, dan harta kami, lewat anak yang dia lahirkan!" Telunjuk Tami bergetar menunjuk Citra, karena amarah yang memuncak di kepala.
"Saya tidak punya niat seburuk itu. Saya hanya ingin menyelesaikan perjanjian dengan baik. Tapi tidak ada gunanya saya jelaskan pada Nyonya. Karena tidak akan masuk ke otak Nyonya yang dipenuhi pikiran negatif," sahut Citra yang naik juga emosinya karena dituduh semena-mena.
"Kamu semakin berani ya!"
"Saya hanya bicara fakta, Nyonya. Kalau tidak ada lagi yang ingin Nyonya sampaikan sebaiknya Nyonya pergi. Kalau Nyonya berdua terus mengganggu saya, saya akan mengadu pada Nyonya besar, ibunya Tuan Cakra," ancam Citra.
"Kamu ...."
Tami benar-benar kesal pada Citra. Namun kalau sudah menyangkut ibu Cakra, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Ayo kita pulang, Tami. Cakra pasti senang, tidak perlu tidur dengan perempuan kampung ini lagi!" Bu Cindy menarik tangan Tami, untuk segera pergi meninggalkan ruang perawatan Citra. Setelah ibu, dan anak itu ke luar dengan membawa amarah. Bi Sulis menutup pintu. Citra memejamkan mata, dua bulir bening mengalir di kedua sudut matanya.
"Citra ...." panggil Bi Sulis pelan.
Citra membuka mata, diusap sudut matanya.
"Apa tidak sebaiknya kamu pergi saja."
"Tidak, Bi. Aku ingin menyelesaikan perjanjian ini. Aku akan pergi, kalau orang tuan Tuan Cakra yang meminta aku pergi," ucap Citra.
"Aku tidak bisa membantu. Aku hanya bisa berdoa, semoga kamu tabah menjalani ini semua. Aku tahu, ini tidak mudah bagimu. Tapi kamu sudah memilih untuk bertahan."
"Terima kasih, Bi."
"Istirahat, Citra. Jangan banyak pikiran, tenangkan perasaan. Karena apapun yang terjadi pada jiwa, dan ragamu, akan dirasakan juga oleh calon bayimu."
"Aku mengerti, Bi. Terima kasih."
"Aku istirahat di sofa ya."
"Iya, Bi."
Bi Sulis duduk di sofa. Citra berusaha memejamkan mata. Satu hal yang sangat mengganggu pikirannya. Bagaimana nanti nasib anaknya. Harus tumbuh dibawah kebencian Tami, dan keluarganya. Dua bulir bening kembali meleleh di sudut mata Citra. Membayangkan hidup anaknya akan kekurangan kasih sayang, karena diasuh oleh seorang yang bukan ibu kandungnya. Seseorang yang sangat membenci ibunya.
*
Sore hari.
Cakra datang sendirian, membawa buah-buahan, dan makan malam untuk Bi Sulis. Cakra masih mengenakan pakaian kerja, itu artinya Cakra belum pulang ke rumah. Citra pura-pura tidur. Ia berbaring memunggungi Bi Sulis, dan Cakra.
"Bi, jika dia butuh sesuatu, hubungi aku. Seperti yang dikatakan ibu. Aku juga tidak ingin anakku ngeces nanti." Citra bisa mendengar apa yang Cakra ucapkan.
"Baik, Tuan."
"Apa Tami ada ke sini?"
"Ada, datang dengan ibu nyonya."
"Apa yang dia katakan.'
"Nyonya mengatakan, dari sekarang, Tuan tidak boleh lagi masuk ke kamar Citra. Tuan tidak boleh lagi tidur dengan Citra, karena Citra sudah hamil anak Tuan."
"Oh, begitu."
"Ya, Tuan."
"Ya sudah, aku pulang dulu. Jaga dia ya, Bi. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada calon bayiku. Karena aku tidak ingin jika harus mengulang tidur dengan dia lagi."
"Baik, Tuan."
Cakra ke luar dari dalam ruang perawatan Citra. Bi Sulis hanya bisa menghela nafas. Sedang Citra hanya bisa menahan sakit hati. Karena merasa Cakra sudah melecehkan dirinya. Seakan dirinya seonggok sampah bau, sehingga Cakra tak lagi ingin menyentuhnya.
'Sabar, Citra. Tidak lama lagi, kamu akan terbebas dari perjanjian ini. Lepas dari perjanjian, apakah aku akan lepas dari sakit hati. Berpisah dengan anakku, tidak pasti anakku akan diasuh dengan baik, lalu apa arti kebebasanku."
Citra mengusap air mata, lalu meremas dadanya yang terasa sangat sesak. Ingin direnggut yang menggumpal di d**a. Ingin dilepas beban yang menghimpit terasa. Namun, tak semudah itu melakukannya.
'Ikhlas, Citra ... ikhlas. Allah tidak akan memberi cobaan lebih dari kemampuan hambaNya.'
Citra berusaha menguatkan dirinya sendiri. Agar ia bisa tegar menjalani masa perjanjian hingga akhir.
*
Hanya beberapa hari di rumah sakit, Citra sudah kembali ke rumah. Ia tidak diijinkan ke luar dari kamar oleh ibu Cakra. Citra tidak berusaha membantah, dan melanggar aturan yang dibuat ibu Cakra. Agar tidak terjadi sesuatu hal buruk pada kehamilannya.
Dengan begitu, ia juga tidak perlu bertemu Tami, dan ibunya. Ibu Cakra sudah melarang Tami menemui Citra di kamarnya, tampaknya Tami juga tidak berani membantah perintah ibu mertuanya.
Yang jadi masalah kini adalah Cakra. Setelah lebih satu bulan sejak kejadian itu. Malam ini Cakra masuk ke dalam kamar Citra. Citra memang tidak mengunci pintu, atas perintah ibu Cakra. Takut terjadi sesuatu pada Citra, dan bibi tidak mendengar panggilan Citra.
Cakra sekarang sudah berdiri di hadapan Citra yang duduk di tepi ranjang. Citra bangkit dari duduknya.
"Tuan ingin apa? Bukankah haram bagi Tuan menginjakkan kaki di kamar saya. Itu yang dikatakan Nyonya Tami. Tuan juga sudah dilarang Nyonya besar untuk menemui saya. Jadi ... hmpp!" Mata Citra melotot, karena Cakra menciumnya. Citra berusaha berontak. Namun ia takluk atas keinginan perasaannya. Rasa ingin disentuh Cakra yang selama ini terpendam, tak bisa ia abaikan lagi sekarang.
Citra merespon serangan Cakra, meski hatinya berkata ini akan jadi masalah nantinya. Namun sentuhan Cakra yang terasa berbeda kali ini, melambungkan rasa hatinya. Membangkitkan sesuatu yang berusaha ia pendam. Cakra tidak sedingin biasanya. Sentuhannya tidak tergesa, seakan dinikmati dengan tulus momen kebersamaan mereka.
Citra terbuai, terlena, terhanyut, dalam kelembutan sentuhan yang Cakra beri untuknya. Semua yang menyesakkan d**a, seakan sirna. Baru kali ini, Citra benar-benar bisa menerima sentuhan Cakra dengan rasa ikhlas, dan baru kali ini, Citra merasa sentuhan Cakra juga ikhlas.
Cakra sendiri merasa heran dengan dirinya. Dorongan untuk menemui Citra begitu kuat. Tidak bisa ia tahan, membuat gelisah perasaannya. Dan tidak tenang pikirannya. Lebih satu bulan ia berusaha bertahan, tapi malam ini. Saat memiliki kesempatan, dirinya tak lagi Ingin menahan sesuatu dari dalam dirinya, yang harus dituntaskan.
Cakra berani datang ke kamar Citra, karena Tami tidak ada. Tami pergi menemani ibunya untuk menjenguk teman ibunya yang sakit. Namun, Cakra tidak berani berlama-lama di kamar Citra. Setelah tersungkur di atas tubuh Citra. Cakra mengecup kening Citra atas dorongan hatinya. Lalu ia segera turun dari atas tempat tidur. Membersihkan diri sesaat di kamar mandi, kemudian pergi dari kamar Citra, tanpa bicara apa-apa.
Citra sendiri tertidur lelap. Tidur paling lelap sepanjang dirinya tinggal di rumah Cakra. Rasa puas ia dapatkan, rasa bahagia ia rasakan. Tidak peduli jika semua hanya semu belaka. Tidak peduli jika saat terbangun ia kembali didera derita, karena sikap Tami yang membencinya. Tidak juga peduli, jika Cakra kembali bersikap dingin padanya. Citra ingin menikmati rasa yang tersisa, dari pertemuannya dengan Cakra malam ini. Citra terbuai mimpi indah tentang sebuah keluarga bahagia.
*