PART. 4 AKU HARUS KUAT

1522 Kata
Citra ke dapur, untuk membantu pekerjaan Bibi. "Citra, kenapa ke sini. Lebih baik kamu istirahat saja di kamar," sambut Bi Sulis. "Biarkan aku membantu pekerjaan Bibi. Tidak enak kalau di kamar saja," ujar Citra dengan suara lembut. "Nanti kamu dimarahi nyonya lagi." Bi Sulis berbicara sangat pelan, nyaris berbisik. "Kalau saya tidak berbuat salah, pasti tidak akan dimarahi, Bi." Citra berusaha menghapus kecemasan bibi. Padahal dirinya sendiri tidak yakin dengan ucapannya. "Mohon maaf ya, Citra. Bibi merasa nyonya justru sedang mencari-cari kesalahan kamu. Entah kenapa, perasaan Bibi mengatakan, kalau dia tidak suka kamu." Bi Sulis kembali bicara dengan suara nyaris berbisik pada Citra. "Itu memang benar, Bi. Baru saja nyonya mengomel di depanku." Citra juga bicara berbisik. "Sabar ya, Citra. Kamu bukan pelakor, bukan kamu yang ingin ada di posisi ini. Tapi ini atas permintaan Nyonya besar." Bi Sulis membesarkan perasaan Citra. "Iya, Bi. Aku tidak apa-apa. Akan aku jalani sampai tugasku selesai." Citra tersenyum untuk mengusir rasa cemas yang kembali terdengar dari suara Bi Sulis. Bi Sulis mengusap punggung Citra lembut. "Ini aku harus bantu apa, Bi?" Tanya Citra, mengalihkan pembicaraan. "Kupas bawang saja, dan membersihkan sayur, sambil duduk di situ. Aku membersihkan ikan dulu." Bi Sulis menunjuk sayur, dan bawang yang ada di atas meja. "Baik, Bi." Citra duduk di kursi dapur. Membersihkan bawang, dan sayuran yang akan di masak. Citra yakin, ia bisa melewati semua ini, meski tentu tidak akan mudah baginya. Tidak akan gampang merubah pandangan Tami padanya. Tidak akan gampang membuat hubungannya dengan Cakra untuk sedikit mencair. Citra tidak berharap banyak pada Cakra, ia hanya ingin Cakra, dan Tami tidak menunjukkan rasa tidak suka padanya secara terang-terangan, karena apa yang terjadi adalah atas persetujuan Cakra, dan Tami juga * Hari baru menjelang sore, saat Cakra pulang dari kantor. Cakra pulang lebih awal dari biasanya. Citra yang membukakan pintu depan. Cakra melangkah melewati Citra, tanpa menatap apa lagi bicara. Setelah menutup, dan mengunci pintu, Citra mengikuti langkah Cakra masuk ke ruang tengah. Di sana mereka bertemu Bi Lulu. Citra mendengar mereka bicara. "Tami sudah pulang?" Tanya Cakra pada Bi Lulu. Karena tadi pagi Tami mengatakan ingin pergi ke rumah temannya. "Belum, Tuan. Tuan ingin dibuatkan sesuatu?" "Aku kurang enak badan, tolong buatkan teh hangat," sahut Cakra. "Baik, Tuan." "Antar ke kamar ya." "Baik, Tuan." Citra hanya berdiri di belakang Cakra, menyimak apa yang dibicarakan Cakra dengan Bi Lulu. Ditatap Cakra yang menaiki anak tangga, untuk menuju kamar tidurnya. Bi Lulu melangkah ke dapur diikuti Citra. Bi Sulis sedang istirahat di kamarnya. Bi Lulu membuatkan teh untuk Cakra. Citra duduk di kursi dapur, sambil makan kacang rebus. "Citra, tolong antar ke kamar tuan ya. Aku kebelet ini. Perutku mulas." Bi Lulu mengusap perut, wajahnya meringis. "Iya, Bi." Citra bangkit dari duduk. "Terima kasih." Bi Lulu bergegas ke kamar mandi. Di pintu dapur, Citra bertemu dengan Bi Sulis. "Untuk siapa, Citra?" Bi Sulis menunjuk nampan yang di atasnya ada cangkir berisi teh hangat untuk Cakra. "Tuan, Bi." "Jam segini tumben tuan sudah pulang." "Tidak enak badan katanya, tadi bilang begitu ke Bi Lulu. Ini minta buatkan teh hangat." "Oh, ya sudah. Cepat antar sana. Eh, Lulu mana?" "Di kamar mandi, mules katanya." "Oh ...." "Aku mengantar ini dulu ya, Bi." "Iya." Citra melangkah menaiki anak tangga. Tiba di depan pintu kamar Cakra, diketuk pintu perlahan. Hanya satu kali ketukan, pintu kamar Cakra terbuka, Cakra berdiri di hadapan Citra, mengenakan celana pendek, dan kaos oblong saja. Ia jelas terkejut melihat Citra yang mengantar minumannya. "Mana Bi Lulu?" Tanyanya tajam. Bukan hanya suaranya yang tajam, tapi tatapannya juga. "Bi Lulu sakit perut, Tuan." "Bi Sulis?" "Bi Sulis tadi di kamarnya, sedang istirahat sebentar." "Ini minuman siapa yang membuat?" "Bi Lulu." Cakra mengambil cangkir berisi teh hangat dari nampan yang Citra bawa. Tanpa ucapan terima kasih, atau basa basi lagi. Pintu tertutup di depan wajah Citra. Citra memejamkan mata. Menarik nafas sedalam-dalamnya. Lalu berbalik untuk menuruni anak tangga. Tak disangka, ia berpapasan dengan Tami, dan Bi Lulu di dasar tangga. "Darimana kamu!?" Mata Tami melotot dengan tatapan tajam pada Citra. "Mengantar teh untuk Tuan, Nyonya." "Kenapa tidak kamu yang mengantarkan?" Mata Tami melotot ke arah Bi Lulu. "Bi Lulu tadi ...." "Aku bertanya pada Lulu, bukan padamu!" Pelototan mata Tami beralih pada Citra. "Siapa yang membuat teh untuk Tuan!?" Tami menunjuk nampan yang dipegang Citra. "Saya, Nyonya," sahut Bi Lulu. "Kenapa tidak kamu sekalian yang mengantarkan? Kenapa harus dia!?" Tami menatap gusar pada Bi Lulu. "Maaf, Nyonya. Setelah membuat teh tadi, saya sakit perut. Jadi minta tolong Citra untuk mengantar teh tuan." Bi Lulu menjelaskan alasannya. "Ingat ya! Mulai saat ini, lantai atas terlarang untuk dia! Hanya kalian berdua yang boleh menginjak lantai atas." Tami menunjuk Citra dengan jari telunjuknya. Kebencian pada Citra tidak berusaha disembunyikan. "Baik, Nyonya." Bi Sulis, dan Bi Lulu menundukkan kepala mereka. "Kalian tidak bisa bohong ya. Karena ada CCTV yang akan memperlihatkan gerak gerik kalian!" Kali ini jari telunjuk Tami terarah pada kedua bibi. "Baik, Nyonya." "Lulu, buatkan aku teh hangat, bawakan ke kamar! Ini, sekalian kue ini potong, bawakan ke kamar juga!" Tami menyodorkan tas kertas berisi kue pada Bi Lulu. "Baik, Nyonya." "Kau, Citra! Jangan coba menggoda Mas Cakra. Jika kamu melakukannya, tahu sendiri akibatnya!" Jari Tami kembali menuding pada Citra. "Saya cukup tahu diri. Nyonya tidak perlu cemas," sahut Citra. Diterima tatapan menusuk Tami ke arahnya. Tami melengos, lalu melangkah menaiki anak tangga. Citra, hanya menatap dengan menghela nafas, untuk mengurai sesak yang terasa ada di dalam dadanya. "Sabar ya, Citra." Bi Sulis mengusap punggung Citra dengan lembut. "Iya, Bi." Tiga wanita itu melangkah ke dapur. "Lulu sudah istirahat. Aku juga sudah. Sebaiknya sekarang kamu istirahat, Citra," ujar Bi Sulis. "Iya, Citra. Nanti kamu kelelahan, tidak bisa melayani tuan saat malam," Bi Lulu menggoda Citra. "Hist, Lulu ini!" Bi Sulis mencubit lengan Bi Lulu. "Itu benar'kan. Nanti Citra dimarahi lagi, kalau tidak bisa hamil cepat." "Yaitu aneh, hamil seperti bisa diatur oleh manusia saja," gerutu Bi Sulis. "Sudah, jangan berdebat, Bi. Aku ke kamar dulu ya," pamit Citta. "Iya, istirahat. Jangan masukkan ke hati omongan nyonya tadi," kata Bi Sulis. "Iya, Bi. Aku tidak apa-apa. Aku permisi." Citra meninggalkan dapur, menuju kamar tidurnya. Diusap matanya yang basah. Tak bisa lagi ia menahan tangis. Tangis pecah sebelum tiba di dalam kamarnya. Citra membuka pintu, lalu masuk ke dalam kamar. Kemudian ia duduk di tepi tempat tidur. Diambil bantal, dipeluk bantal, wajahnya tenggelam di atas bantal. Citra membiarkan tangisnya pecah. Di dalam hati, ia memahami rasa cemburu, juga rasa sakit hati Tami, karena suaminya nikah lagi. Yang disesali Citra. Tami lupa, kalau keberadaan dirinya di rumah ini karena permintaan orang tua Cakra, itupun atas persetujuan Tami. Tatapan Tami padanya, dirasakan Citra seakan menuduh dirinya, sebagai seorang pelakor, yang mengancam keutuhan rumah tangga Tami, dan Cakra. Citra berpikir, bagaimana nanti nasib anaknya. Apakah Tami, dan Cakra bisa menyayangi, dan mencintai. Sedang ibu yang melahirkan anak itu mereka benci. 'Ya Tuhan ... aku tidak mungkin mundur dari perjanjian ini. Ada bibiku, pamanku, dan sepupu-sepupuku yang nasibnya harus aku pikirkan. Namun, jika aku maju, bagaimana nanti dengan nasib anakku. Oh ....' Citra meremas rambutnya. Ia tidak berpikir akan jadi serumit ini. Tapi, ia memang tidak punya pilihan. Mau tidak mau, ia harus menjalani hidup sebagai istri muda Cakra, dan madu bagi Tami. Citra berbaring di atas tempat tidur. Matanya terpejam, berusaha melupakan sejenak gelisah yang melanda jiwanya. * Malam harinya. Citra baru selesai membersihkan wajah, dengan pembersih yang murah saja harganya, tapi sangat cocok untuk kulitnya. Terdengar ketukan di pintu. Membuat jantung Citra berdetak lebih cepat. Perasaan berdebar melanda. Namun ia harus beranjak untuk segera membuka pintu. Citra yakin, yang mengetuk tanpa memanggil namanya pasti Cakra. Pintu dibuka perlahan. Tatapan tajam Cakra bak api yang menyambar bola matanya. Namun raut wajah Cakra tetap dingin. "Jangan kunci pintu, kalau aku belum masuk ke dalam kamar ini!" Suara dingin bernada tajam itu membuat telapak tangan Citra terasa dingin. "Baik, Tuan." Citra menganggukkan kepalanya. Cakra melangkah masuk. "Lakukan apa yang harus kamu lakukan!" Perintah Cakra. "Baik, Tuan." Hanya itu yang bisa Citra ucapkan. Citra meninggalkan Cakra yang menutup, dan mengunci pintu. Citra kembali ke kamar. Citra melakukan apa yang harus dilakukan seperti perintah Cakra. Meski rasa malu Citra rasa, tapi ia tidak ingin berlama-lama berada di dalam rumah ini. Citra tak ingin batinnya terus tersiksa. Citra ingin tujuannya berada di rumah ini bisa segera tercapai. Citra sudah berbaring di atas tempat tidur, menunggu Cakra. Citra menolehkan kepala. Saat Cakra melepas pakaian dengan posisi membelakangi dirinya. Namun, Citra segera menutup mata, saat Cakra berbalik ke arahnya. Citra bisa merasakan, Cakra naik ke atas tempat tidur, lalu tanpa basa basi mulai menyentuh kulit Citra. Rasa sesak menggumpal di dalam d**a Citra. Ia belum bisa ikhlas menerima pernikahannya. Apa lagi dengan sikap Cakra yang sedingin salju padanya. Lebih lagi sikap Tami yang tidak menyembunyikan rasa benci padanya. Apa daya, Citra hanya bisa pasrah, membiarkan Cakra menggaulinya, agar anak yang diinginkan bisa didapatkan, dan Citra bisa terbebas dari perjanjian. Bisa lepas dari tatapan Tami yang sarat akan kebencian. Citra sadar, saat ini dirinya tak mempunyai pilihan. Dibiarkan dirinya menjadi lilin yang harus terbakar, demi untuk masa depan sepupu-sepupunya. Citra merasa banyak berhutang pada paman, dan bibinya. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN