Bab 11: Fiance

1056 Kata
Bian tak mendapati Bulan di ruangannya. Sebelum menanyakannya ke perawat ia berlari ke atap takut kalau gadis itu nekat menjeburkan diri dari atap ke lantai dasar dan berdarah-darah lalu mati seketika. Membayangkannya saja membuat jantung Bian terus menerus terasa sakit, apalagi jika itu menjadi nyata? Ia mungkin akan pingsan, mungkin juga jantungan, mungkin juga mati mendadak karena kaget. Pemuda itu sampai di atap dan sejauh matanya memandang, menelusuri setiap sudut, pergi ke tepi gedung, menatap ke bawah yang terlihat mengerikan dari atas tetap saja ia tak menemukan Bulan. Ia bernapas lega. Tapi teringat dan berpikiran buruk kembali. Bagaimana jika Bulan sudah terjun ke bawah dan mati? pikirnya. Ah tidak, jika demikian benar rumah sakit akan heboh, pikirnya lagi. Kali ini ia cukup memakai logika dan tak mendahulukan perasaannya. Tak seperti biasanya. Bian berlari turun dan berniat menanyakan keberadaan Bulan kepada siapapun yang merawatnya. Pemuda itu tergopoh-gopoh dan napasnya tak teratur saat sampai di meja resepsionis. Perawat cantik dengan tahi lalat di sudut bibir tipisnya mendengarkan kalimat racau Bian. Perawat itu bahkan berulang kali menaikkan alisnya, mencoba mencerna kalimat Bian di otaknya sebelum mengangguk lemah tanda mengerti. "Oh, mbak Bulan..." katanya dan Bian mengangguk. "Itu..." perawat itu menunjuk lurus di belakang Bian. Bian menoleh, mengikuti telunjuk perawat itu. Di sana, dekat pintu masuk rumah sakit, Bulan sedang berajalan masuk dengan Rendy. Ada ruang lega tersendiri di hati Bian mengetahui bahwa Bulan baik-baik saja, tapi di sisi lain ia bertanya-tanya kenapa Bulan bisa bersama Rendy? Dari mana mereka berdua? Sedang apa mereka di luar rumah sakit? Kenapa Rendy membawanya keluar? Bukankah Bulan butuh perawatan? Apa Rendy mengetahui Bulan dekat denganku lalu ingin melukainya? Apa Rendy dendam padaku karena adiknya meninggal? pertanyaan-pertanyaan itu berkelibat di benak Bian terus menerus hingga Rendy dan Bulan berlalu masuk rumah sakit terus tanpa menyadari Bian tengah memerhatikan dari meja resepsionis. "Terima kasih." kata Bian terhadap perawat yang duduk di kursi resepsionisnya. Gadis itu memberikan senyuman terbaiknya seraya mengucapkan "sama-sama" sebelum Bian melangkah pergi menyusul Bulan dan Rendy. Pemuda itu kalah cepat, Rendy sudah memasuki lift dan pintunya telah tertutup. Dalam lift tangan Rendy masih erat memegang tubuh Bulan. Tak ada yang berbicara di antara mereka sejak Rendy mengatakan siap bertunangan dengannya. Semua sibuk dengan pemikiran masing-masing. "Kapan aku boleh keluar dari rumah sakit?" "Kau sudah menentukan akan tinggal di mana?" "Belum..." "Kalau begitu tinggal saja sampai aku menemukan apartemen di Malang untukmu" "Rumah saja, rumah yang disewakan, berlantai 1" "Aku tak bisa bebas ke rumah seperti itu, kau tahu sendiri bagaimana reaksi tetangga di Indonesia..." "Aku akan minta pengacara Papa buat mencarikan, kau tak perlu repot-repot..." Pintu lift terbuka. Rendy masih belum menjawab pernyataan terakhir Bulan kepadanya. Yang ia pikirkan saat ini hanya bagaimana caranya menemukan guru untuk mengajari Bulan brailer... Mereka berjalan ke kamar Bulan. Rendy sengaja tak memasang infus lagi di tangan Bulan, gadis itu sudah tak memerlukannya. Mungkin besok ia akan membawa Bulan dulu ke rumahnya sebelum menemukan rumah yang pas untuknya. Cahaya matahari masih bisa Bulan rasakan meski hanya menerpa kulitnya sedikit. Ia suka berbaring menghadap jendela seperti ini selain matahari menghangatkannya, ia juga senang mendengarkan nyanyian burung di luar. Mengingatkannya pada burung-burung yang berkicau sore hari saat ia berlatih main basket. Saat-saat seperti itu sungguh sangat menyenangkan. "Tidak terasa menyengat?" Bulan menggelengkan kepalanya saat Rendy khawatir ia akan merasa gerah oleh sinar matahari sore yang terik. "Aku suka suara burung-burung itu. Suara angin ketika burung-burung mengepakkan sayapnya. Seolah mereka memang ditakdirkan bersanding dengan udara. Berapa ya kekuatan burung itu hingga ia bisa terbang bebas dan jauh ke langit?" "Mari bertanya pada mereka..." Bulan tertawa kecil. Untuk pertama kalinya Rendy tersihir melihat tawa Bulan yang cantik. Untuk pertama kalinya ia menyadari gadis itu sudah bisa tersenyum lagi, meski bukan tawa yang besar. Rendy tiba-tiba saja rindu pada kekasihnya, Tamara. "Caranya?" tanya Bulan membuyarkan lamunan Rendy. "Mungkin kita harus mempelajari bahasa burung..." kata Rendy yang disambut senyuman Bulan lagi, apalagi ketika lelaki itu bersiul bebas seperti suara burung di jendela kamar Bulan. Saat dia bersiul beberapa burung menyahutinya. Bulan dan Rendy takjub tak menyangka. Rendy bahkan mengulangnya lagi dan dibalas oleh burung-burung itu. Ia tertawa begitupun Bulan. Bian yang menapaki tangga karena tak sabar menunggu lift akhirnya sampai di kamar Bulan dengan napas ngos-ngosan dan pintu kamar yang ia buka kasar. Sepanjang perjalanan menuju kamar Bulan hatinya terasa galau dan risau memikirkan Rendy yang akan memanfaatkan Bulan karena gadis itu buta. Bian memeriksa Bulan, mengamati tangan dan wajahnya. "Lo gak papa?" tanya Bian cemas. Bulan tak mengerti maksudnya dan buru-buru menepis tangan Bian. Gadis itu masih menyimpan marah padanya. Bian cukup tercengang dengan sikap Bulan yang berubah akhir-akhir ini, apalagi setelah gadis itu bertemu Rendy. Ia berpikiran buruk pada Rendy, amarahnya tak tertahan lagi. Bian menoleh cepat ke arah Rendy yang menatapnya dari jendela dengan sangat santai. Biadab! umpat Bian dalam hati. Pemuda itu berdiri tegap dan mendekati Rendy dan dengan sekali tinjuannya saja Rendy terjatuh di lantai. "Bian!" teriak Bulan. Ia tahu meski sedang buta Bian sedang memukul Rendy. Rendy tersenyum sinis seraya menghapus darah yang keluar dari hidungnya dengan tangan kirinya. Tak terima dengan senyuman Rendy, Bian kembali mendaratkan pukulannya. Bulan berteriak dan memintanya berhenti tapi Bian tak menghiraukannya. "Bian! Hentikan!" teriak Bulan, kali ini dengan menarik-narik bahu Bian. Rendy diam saja dipukuli oleh Bian. Ia sengaja menguji kesabaran Bian dan cukup senang mengetahui bahwa pemuda itu masih cemburu, dengan begitu kelak ia akan menghancurkannya sehancur-hancurnya. Bulan menarik-narik tubuh Bian, berusaha menghentikan pukulan Bian terhadap Rendy. Terus begitu berulang-ulang hingga tanpa sadar Bian yang masih marah menepis kasar tangan Bulan, membuat gadis itu terjungkal ke belakang dan kepalanya membentur tiang tempat tidur. Rendy kaget dan Bian tampak tak peduli. Pemuda gila ini sungguh b******n! pikir Rendy. Rendy yang marah karena Bulan terjatuh, bangkit dan meninju wajah Bian. Entah mengapa ia sangat marah ketika melihat orang lain menyakiti Bulan. Tak puas hanya memukul Bian sekali, pemuda itu memukulnya lagi. Mereka bertengkar untuk beberapa saat sebelum akhirnya beberapa perawat datang melerai. Rendy melepaskan dua tangan perawat lelaki yang menahan tubuhnya agar tak memukuli Bian lagi. Napas pemuda itu kembali berangsur baik. Ia buru-buru memeriksa Bulan yang masih di lantai dengan perawat yang mencoba membantunya berdiri. Menyadari hal ceroboh yang telah dilakukannya kepada Bulan, Bian pun mendekat. Rendy berbalik dan menghadang Bian mendekat dengan menatap tajam Bian. Empat orang perawat lelaki bersiaga kalau-kalau mereka berkelahi kembali. "Awas lo jika berani menyakiti tunangan gue lagi! Kupatahkan seluruh tulang-tulangmu!" kata Rendy tegas, tajam dan penuh amarah. Bian tercengang dengan apa yang baru saja ia dengarkan. Tunangan? Siapa maksudnya tunangan? Bulan? Tak mungkin! Iya, tak mungkin!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN