Vlora membimbing Leon ke dalam kamar tamu yang hangat dan penuh dengan cahaya lembut dari lampu-lampu gantung di tengah ruangan. Warna-warna netral mendominasi dekorasi kamar, menciptakan suasana yang menenangkan.
Vlora menuntun Leon untuk duduk di sofa cokelat berbentuk L, "Duduk di sini, kak." ucapnya dengan khawatir.
Vlora membuka kotak p3k di atas meja samping sofa, mengambil sebotol antiseptik, dan kain bersih. Dengan lembut, dia mendekati Leon yang masih terlihat lemah setelah dipukuli oleh Bima.
"Cobalah untuk duduk rileks, ya?" ucap Vlora, sambil membuka botol antiseptik.
Leon mengikuti perkataan Vlora dengan duduk tenang di sofa berbentuk L itu. Dia menatap Vlora yang terlihat gelisah saat sedikit kesulitan membuka botol antiseptik.
"Kamu khawatir sama saya, Vlora?" tanya Leon mengulangi pertanyaan yang sedari tadi tidak mendapatkan jawabannya.
Vlora tidak menjawab. Dia sibuk dengan tugasnya, mencelupkan kain bersih ke dalam antiseptik dan memulai membersihkan luka di wajah Leon dengan lembut.
"Vlora.." panggil Leon dengan lembut.
"Bisa diem ga? Berisik." ucap Vlora ketus.
"Saya cuma mau jawabannya."
"Udah saya bilang, pergi dari hidup saya, kak." ucap Vlora dengan datar, berusaha mengalihkan percakapan.
"Jawab pertanyaan saya." Leon tersenyum lemah. "Kamu khawatir lihat saya dipukul kaya gitu?"
Vlora menghentikan gerakannya sejenak dan menatap tajam ke arah Leon. Ekspresinya sedikit memudar, seolah mencoba menyembunyikan perasaannya yang kacau. Namun, tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.
Leon menangkap keheningan itu dan merasakan keraguan dalam mata Vlora. Meskipun tubuhnya terasa sakit, senyum lemah masih terukir di wajahnya.
"Vlora, jawab. Apa kamu khawatir sama saya?" tanya Leon dengan lembut, mencoba meraih perhatiannya.
Vlora melepaskan pandangan dan kembali fokus pada membersihkan luka Leon. "Bukan urusan kakak," ucapnya dingin.
Leon meraih tangan Vlora yang memegang kain bersih. "Kamu tahu jawabannya, Vlora. Kamu khawatir."
Vlora mencoba menarik tangannya perlahan, tetapi Leon tetap memegang erat. Dia bisa merasakan getaran gugup dari tangan Vlora.
"Saya tahu kamu masih peduli sama saya. Kamu ga pandai menyembunyikan sesuatu, Vlora." ujar Leon, matanya mencoba meresapi setiap ekspresi di wajah Vlora.
Vlora akhirnya menoleh padanya, "Nggak." ucapnya dingin.
Leon mengusap jari jemari Vlora yang bergetar, "Terus kenapa tangan kamu gemeteran?"
Vlora terkesiap karena perlakuan Leon. Dia mengalihkan pandangannya.
Leon tersenyum lembut melihat reaksi Vlora. "Jadi kamu memang khawatir, huh?" ucapnya sambil tetap memegang tangan Vlora.
Vlora menelan salivanya. "I-Ini cuma efek samping minum terlalu banyak kopi, tidak lebih."
Leon tertawa kecil. "Kopi, ya? Saya rasa itu lebih dari sekadar kopi, Vlora."
Vlora mencoba menarik kembali tangannya, namun Leon tetap kukuh memegangnya. "Lepasin kak."
"Saya cuma ingin tahu, Vlora. Apa kamu khawatir sama saya?"
"Menyebalkan." lirih Vlora pelan.
Leon tertawa, "Mungkin iya, tapi kamu tetap belum menjawab pertanyaan saya, Vlora."
Vlora melirik tajam ke arah Leon. "Apa sih. Ga jelas. Mau diobatin atau nggak?" tanyanya ketus.
Leon terkekeh. "Mau. Tapi jawab dulu pertanyaan saya."
Vlora mendengus lalu berdiri dari sofa. "Obatin aja sendiri."
Leon menahan lengan Vlora. "Tapi saya butuh perawatan khusus dari dokter yang handal seperti kamu, Vlora," ujar Leon dengan mata penuh memohon.
Vlora memutar matanya. "Yaudah diem makannya."
Leon terkekeh. "Kamu ga suka saya tanyain hal kaya gitu?"
Vlora menghela napas kasar sembari duduk kembali, "Pake nanya lagi."
Leon memandang Vlora dengan senyum kemenangan. "Jadi kamu memang khawatir."
Vlora mendengus, "Itu cuma karena saya punya kode etik sebagai dokter, bukan berarti saya khawatir, bodoh."
Leon terkekeh, "Terima kasih, Vlora. Saya tahu kamu peduli."
Vlora menggeleng-gelengkan kepala, "Jangan berharap terlalu banyak."
Leon tersenyum, "Siapa tahu, hatimu akan meleleh suatu hari nanti."
Vlora hanya mengernyitkan dahi, "Nggak akan. Jangan mimpi."
"Saya emang sering mimpiin kamu sih. Tapi mimpinya bukan tentang itu." ucap Leon seperti mengingat sesuatu.
Vlora membulatkan matanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja Leon katakan. Apa maksud dari mimpi itu?
Leon mengangkat bahunya. "Apa?" tanyanya polos.
"Nggak." ucap Vlora dingin.
Leon terkekeh. "Tapi ngomong-ngomong, kamu banyak berubah ya sekarang."
Vlora hanya bergeming, menunggu maksud dari 'apa yang berubah dari Vlora'.
"Dulu kamu manja banget sama saya. Tiap ketemu saya, meluk mulu. Sekarang udah ga pernah gitu lagi." ucap Leon dengan nada lesu yang dibuat-buat.
Vlora membelalak matanya, bagaimana bisa Leon mengatakan sebuah kebohongan di depan Vlora.
"Jelas-jelas yang suka meluk tiap ketemu tuh kakak." ucap Vlora ketus.
Leon tersenyum lebar. "Eh, bener juga sih. Mungkin saya yang kebanyakan rindu dipeluk kamu."
Vlora mendengus. "Lama-lama saya mual."
Leon memasang ekspresi polos. "Saya belum apa-apain kamu, Vlora. Kok kamu udah mual?"
Vlora membulatkan matanya, dia sontak menekan luka di bibir Leon, membuatnya meringis kesakitan.
"Ahh!!"
"Itu balasan karena mikir mesum." ucap Vlora ketus.
Leon terkekeh. "Tapi saya ngomong jujur. Saya belum apa-apain kamu. Nanti ya kalo kita nikah." ucapnya sedikit menggoda.
Vlora menekan luka di bibir Leon lagi, membuatnya sedikit berteriak kali ini.
"Ahhh!! Astaga!!"
"Bisa diem ga sih?!" ucap Vlora kesal.
Leon merengut kesakitan. "Oke, oke, saya diem. Tapi kalau kita nikah, kamu harus siap-siap dengan tingkah absurd saya, ya."
Vlora mendengus, "Hah? Jangan bikin omong kosong konyol. Saya ga tertarik."
Leon tertawa. "Siapa tahu suatu hari nanti kamu berubah pikiran."
Vlora menggelengkan kepala. "Jangan harap."
Leon menyeringai. "Kamu ini keras kepala banget, Vlora. Tapi itu salah satu hal yang saya suka dari kamu sekarang."
Vlora memutar bola matanya. "Terserah."
Vlora menyelesaikan pengobatan terakhir pada wajah Leon dengan memberikan plester berwarna cokelat.
"Selesai. Ganti plesternya dua hari sekali." ucapnya sembari menutup kotak p3k.
"Ga mau."
Vlora melirik tajam ke arah Leon. "Kenapa ga mau?"
"Saya pengennya digantiin sama kamu." ucap Leon polos.
"Apa susahnya sih ganti plester sendiri. Saya bukan dokter pribadi kakak." ucap Vlora ketus.
"Makannya, nikah sama saya. Jadi, kamu bisa jadi istri sekaligus dokter pribadi saya." ucap Leon tersenyum lebar.
"Saya lebih tertarik ambil pendidikan dokter spesialis dari pada menikah."
Leon mengangguk. "Saya bisa nunggu sampe kamu selesai dapetin gelar itu kok."
Vlora menghela napas kasar lalu bangkit dari tempat duduknya. Percuma saja berbicara dengan Leon, dia hanya membuang-buang waktunya.
"Tunggu." Leon menahan tangan Vlora perlahan.
"Apa lagi kak?"
"Punggung saya. Kayanya punggung saya juga luka." ucapnya pelan.
"Hah?" Vlora sontak terlihat khawatir, dan melirik ke arah punggung Leon. "Balik badan."
"Ga keliatan kalo kemejanya ga dibuka." ucap Leon dengan sedikit penekanan pada setiap katanya.
Astaga! Vlora melupakan hal itu. Dia tidak bisa melihat luka di punggung Leon jika Leon masih memakai kemeja. Tapi Vlora tidak ingin melihat Leon shirtless.
"Ugh. Yaudah buka." ucap Vlora dengan dingin.
Sesaat, Leon tersenyum miring saat memikirkan sesuatu di benaknya. Dia ingin menggoda Vlora lebih jauh dengan memperlihatkan sixpack di tubuhnya.
Leon membuka kancing kemejanya satu per satu.
Vlora langsung memalingkan wajahnya, tidak ingin melihat. "Cepat, kak. Jangan buang-buang waktu."
Leon tertawa kecil. "Kamu ga mau liat abs saya?"
Vlora hanya mendengus, "Saya ga tertarik sama abs-abs itu. Sekarang cepat buka kemejanya."
Leon tertawa dalam hati saat Vlora tetap memalingkan wajahnya. Ini sangat menyenangkan bagi Leon. Dia senang melihat gadisnya yang tersipu malu.
Vlora tetap tidak melihat. "Selesai, kak?"
Leon tidak menjawab.
"Kak?"
"Hmm.. sebentar lagi."
"Kalo udah selesai langsung balik badan." ucap Vlora dengan tegas.
Leon tidak menjawab lagi. Dia sebetulnya sudah selesai sejak tadi. Tapi dia masih ingin berlama-lama melihat gadis kecilnya yang sudah berubah menjadi wanita dewasa.
"K-Kak?" panggil Vlora lagi.
Leon tetap tidak menjawab, membuat Vlora sedikit kesal.
"Kak, jangan main-main ya sama saya!" Vlora mendengus kesal.
Leon tersenyum genit. "Ini saya baru beres."
"Udah balik badan?"
"Udah." ucap Leon berbohong.
Saat Vlora mengalihkan pandangannya ke arah Leon, dia membulatkan matanya lalu dengan cepat menutup kedua matanya.
"KATANYA UDAH BALIK BADAN!"
Leon terkekeh. "Kamu ga mau liat abs saya?"
"Nggak!"
"Tapi perut saya juga memar karena dipukul, Vlora."
"Boong!"
"Beneran."
"Saya ga percaya!"
Leon tersenyum lebar, "Coba deh lihat, Vlora. Biar kamu tahu seberapa parah memarnya."
Vlora mengernyitkan dahi, "Saya ga akan terpancing sama trik murahan kakak! Balik badan ga?!"
"Serius, ini bukan trik. Saya baru sadar ada memar di perut, Vlora," ujar Leon dengan ekspresi polos.
Vlora terdiam beberapa saat. "A-Awas ya kalo boong!!"
Leon terkekeh. "Beneran, saya ga boong."
Astaga, lucu sekali melihat Vlora yang tergugup karena abs-nya. Itu pikirnya.
Tapi Vlora cukup keras kepala untuk tidak tergoda dengan trik Leon. Meskipun Leon tertawa melihat reaksinya, Vlora tetap kukuh pada pendiriannya.
"Saya ga mau lihat. Balik badan kalo mau di obatin," ucap Vlora dengan dingin.
Leon terkekeh sambil menggeleng. "Iya, iya. Ini saya balik badan." ucap Leon akhirnya mengakhiri keisengannya.
"Beneran?"
"Bener. Ini saya udah balik badan."
"Ga boong kan?"
"Nggak. Ayo, Vlora. Saya kedinginan karena AC nya terlalu dingin."
Vlora membuka matanya perlahan dan melihat punggung Leon memiliki luka yang tergores.
"Kok bisa ada luka di punggung?" tanya Vlora seraya membuka lagi kotak p3k nya.
"Hmm.." Leon terdiam beberapa detik, "Kena sprayer taman."
Vlora mengangkat alisnya, "Sprayer taman? Kok bisa?"
Leon tersenyum dan menjawab dengan nada santai, "Karena Bima dorong saya sampe jatoh, terus kena sprayer."
Vlora terdiam beberapa detik. "Saya minta maaf kalau kak Bima tiba-tiba kaya gitu tadi."
Leon menggeleng. "Gapapa, Vlora. Dia kakak kamu, pasti dia ga mau adik kesayangan dia kenapa-kenapa lagi."
"Tapi tetep aja-"
Leon terkekeh. "Bima kaya gitu karena sekalian mau kasih pukulan selamat datang buat saya. Tenang aja, Vlora."
"Maaf."
Leon terdiam beberapa saat, memikirkan sesuatu agar dia bisa terus berkomunikasi dengannya.
"Gapapa. Cuma saya bakal kesulitan ganti perbannya karena punggung saya luka juga." ucap Leon terdengar lesu.
Vlora menggigit bawah bibirnya, merasa bersalah karena kakaknya lah yang menyebabkan hal itu.
"Uhm.. kak.."
Leon tersenyum penuh arti. "Ya, Vlora?"
"Uhm.. Saya akan bantu.."
"Hm? Bantu apa?"
"I-Itu.." Vlora menggigit bawah bibirnya. "Gantiin perban kakak dua hari sekali."
Gotcha!
Leon mendapatkan apa yang dia mau. Dia tersenyum penuh kemenangan saat membelakangi Vlora.
"Beneran gapapa?"
"Gapapa, kak."