Fikar adalah dokter magang yang sangat suka bergosip, itu bukan hal baru lagi, tapi Fikar yang seperti itu malah kadang bisa menghibur rekanannya di Rumah Sakit tersebut. Bekerja di rumah sakit sangat melelahkan bagi anak magang sepertinya, tapi dengan mengobrol, dia merasa waktu berlalu tanpa terasa. Caranya itu kadang membuat orang kesal, dianggap berisik dan tukang gosip. Tapi tidak masalah, karena dia tidak mungkin bisa membuat semua orang menyukainya.
Beberapa kali dia juga hampir memacari perawat di sana. Tapi selalu gagal di tahap akhir. Bukan karena dia melakukan kesalahan pada sang wanita. Kebanyakan alasannya karena dia tidak memiliki waktu untuk berkencan di luar. Sungguh, kenyataan itu kadang menyakitkan. Di satu sisi dia ingin memiliki kekasih, di sisi lain dia juga harus merintis karir.
"Kau gagal lagi? Tadi aku melihat gadis yang kau dekati datang diantarkan seorang laki-laki. Mereka terlihat sangat dekat!" Raksa tahu gadis mana saja di Rumah sakit tersebut yang didekati oleh Fikar. Karena Fikar biasanya tidak menutupi tentang kedekatannya dengan wanita gebetannya.
Fikar pura-pura tidak mendengar. Tapi perasaannya sangat sakit mendengar hal tersebut. Pada akhirnya dia tidak bisa menutupi perasaannya lagi. "Menyedihkan, harusnya gue gak usah ngerasa sakit hati. Pacarnya juga bukan!"
Raksa tersenyum mendengar dokter itu jadi menggerutu pada dirinya sendiri. Seperti biasanya, hubungan yang belum memiliki status seperti itu malah membingungkan.
"Gak usah senyum. Kau tidak tahu rasanya, jadi tidak bisa memahami perasaanku!"
Fikar sebenarnya tidak mau lagi membicarakan tentang perasaannya, tapi karena Raksa sudah tahu dia gagal lagi, maka pasti anak itu akan meledeknya. Dan benar saja, Raksa malah memberitahunya kalau mantan gebetannya sudah dekat dengan laki-laki lain. Benar-benar sial!
"Mau kuberi saran?"
"Tidak perlu!" tolaknya tanpa berpikir. Apa yang anak itu bisa? Jangankan pacaran, dekat dengan wanita selain para perawat di sini juga tidak pernah.
"Ya udah. Padahal aku cuma tidak mau dokter terus-menerus patah hati!" Sebenarnya Raksa pikir dia sudah mempelajari pola dalam hubungan yang Fikar bangun dengan para wanita tersebut. Tidak tahu akan efektif atau tidak, tapi dua kepala lebih baik dari pada satu.
Fikar menatap Raksa meremehkan. Anak tengil itu sok sekali ingin memberinya saran. Dia benar-benar merasa dipermalukan olehnya. "Diam dan fokus saja dengan bacaanmu!"
Meninggalkan ruangan, Fikar sedang dalam mood yang buruk gara-gara informasi yang diberikan Raksa. Dia kadang berpikir, apakah dia kurang tampan? Tapi belum bukankah laki-laki dengan balutan jas putih selalu terlihat keren? Contohnya dokter Alam. Meskipun tidak bisa dibilang tampan, tapi juga tidak jelek, dan tiap kali memakai jas putih, para perawat akan selalu terkagum-kagum dengan dokter Alam.
Saat sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, Fikar hampir menabrak seseorang. Dia akan meminta maaf, tapi wanita itu sudah lebih dulu pergi tanpa mempersoalkan kejadian barusan.
"Hampir aja, tapi dia siapa ya?" Fikar agak penasaran, karena penampilan wanita itu terlihat sangat berkelas. "Pasti dari keluarga pasien VIP!"
Di lantai tersebut, semua ruangan rawat adalah yang terbaik, dan terdapat pula ruangan VIP. Jadi penampilan dari keluarga pasien biasanya memang terlihat berkelas, hanya saja aura wanita itu berbeda, hingga membuat Fikar memperhatikannya. Barang-barang yang digunakannya tidak berlebihan, tapi jelas bernilai jutaan.
"Ah benar, ruangan VIP!" Fikar melihat wanita itu berbelok ke lorong menuju ruangan VIP.
Ada dokter khusus yang biasanya berwenang menangani pasien dari ruangan VIP. Mereka biasanya cukup berpengalaman. Entahlah, dia baru sebentar bekerja di rumah di sakit tersebut, statusnya juga masih magang.
—
Malam hari suasana di Rumah sakit agak sepi, tapi tidak menyeramkan seperti yang digambarkan di film-film. Masih ada banyak perawat dan juga dokter lainnya.
Raksa menyelinap keluar dari ruangannya. Dia membawa ponselnya. Niatnya hanya ingin jalan-jalan saja, atau mungkin bisa bertegur sapa dengan perawat dan mengobrol. Padahal dokter Fikar menyuruhnya untuk istirahat, tapi bagaimana lagi, dia bosan.
Beberapa perawat menanyainya akan kemana, dan dia hanya menjawab ingin jalan-jalan. Mereka memahaminya dan mengingatkannya agar tidak terlalu jauh dan segera kembali ke ruangan rawatnya.
Langkahnya membawa dirinya sampai ke lantai satu. Dia menyapa para staf, dan berhenti sebentar untuk mengobrol sedikit. Para pekerja di rumah sakit adalah temannya, juga kadang pasien di sana.
"Apakah kamu akan mulai sekolah lagi besok?" tanya seorang laki-laki muda dengan penampilan begitu bersih.
Raksa tidak tahu, melihat bagaimana tadi dokter Alam sangat marah padanya, mungkin akan tertunda. "Tidak tahu, padahal aku sudah ingin belajar. Jika guru belum diizinkan datang, aku akan belajar sendiri saja!"
"Anak baik!" puji seorang perawat wanita yang baru tiba dan mendengar ucapan pemuda tinggi berwajah pucat itu.
"Dia tadi membuat dokter Alam marah dan dokter Fikar kewalahan. Kau belum tahu, bukan!" beritahu staf laki-laki itu pada perawat yang baru memuji Raksa.
Berdecak, Raksa kesal karena tidak bermaksud membuat banyak orang repot. Dia hanya ingin melihat dunia luar. Mengabaikan mereka, dia membuka ponselnya.
"Itu keluarga pasien VIP, lihat tasnya itu adalah tas yang aku incar. Tapi sepertinya aku hanya ditakdirkan untuk menginginkannya tanpa memilikinya!" ujar perawat wanita berbisik pada staf laki-laki, dan hanya senyum manis yang di dapatkannya sebagai respon.
"Tas itu tidak cocok. Kamu lebih cocok pakai tas yang biasanya!"
"Tapi udah kusam, aku kan pengen ganti!"
Mendengar perdebatan keduanya, Raksa mengalihkan tatapannya dari ponsel menuju ke pemilik tas yang sudah berjalan menuju pintu keluar. Saat itu matanya jadi menyipit untuk memastikan yang dilihatnya tidak salah. Tadi adalah orang yang tidak asing untuknya. Meskipun ini pertama kali dia melihatnya secara nyata, tapi tentu dia tidak merasa salah mengenali orang. Wanita yang baru saja lewat itu adalah Tisa. Teman Zoya, yang dia lihat melalui mimpinya.
Terdiam, Raksa sibuk dengan pikirannya sendiri. Kemudian dia ingat tentang pembicaraan staf dan perawat, kalau wanita itu adalah keluarga pasien VIP. Artinya Tisa akan datang lagi ke rumah sakit ini.
"Memangnya siapanya wanita itu yang sakit?" Raksa bertanya pada staf.
Staf tadi mengerutkan keningnya, karena tiba-tiba Raksa jadi tertarik dengan informasi pribadi dari wanita barusan. "Aku tidak bisa memberitahukan informasi apapun terkait pasien VIP. Maaf Raksa. Memangnya kamu mengenal wanita itu?"
Raksa agak kecewa, tapi dia masih memiliki harapan. Karena Tisa pasti akan datang lagi sebagai keluarga pasien. Dia masih memiliki kesempatan bertemu dengannya lagi. Artinya dia menemukan jalan untuk bertemu dan melihat Zoya secara langsung.
"Aku hanya penasaran. Kalau wanita itu datang lagi ke sini. Bisakah kau memberitahuku?" Raksa memohon dengan ekspresi serius.
Perawat yang masih berdiri di sebelah Raksa menyenggol lengannya. "Kau tertarik pada wanita dewasa. Hei, belajarlah dengan baik, kamu akan mendapatkan wanita yang sangat hebat setelah jadi pria dewasa nanti!"
"Meskipun tidak cantik sekali, tapi wanita barusan cukup cantik dan terlihat berkelas. Kau memiliki mata yang bagus!" Staf itu jadi menggoda Raksa juga. Dia tahu kalau Raksa tidak menunjukkan ketertarikan seperti itu. Dia hanya ingin mengajaknya bergurau.
"Jika terlalu lama di sini. Aku akan jadi seperti dokter Fikar. Lebih baik aku kembali!" Raksa hanya tersenyum, dia tahu mereka tidak akan berhenti menggodanya.
Dokter Fikar yang baru saja selesai dengan jadwal tugasnya, dia hendak pulang dan bertemu dengan Raksa. Saat hendak menegurnya, dia malah mendengar namanya disebutkan. "Hei-hei, memangnya aku kenapa?"
"Tidak!" Raksa langsung melewatinya begitu saja.
"Hei anak nakal. Menyebalkan, sana kembali ke ruanganmu!" Fikar yang terbiasa dengan sikap Raksa hanya bisa memakluminya.
"Anda tidak menginap, Dok?" perawat bertanya, karena dokter Fikar biasanya tidak pulang, ada tempat tidur bagi dokter yang dalam keadaan tertentu tidak bisa pulang, atau karena jadwal mereka.
"Pulang, aku besok libur!" Dokter Fikar menunjukkan smirk dan berlalu. Dia cukup puas melihat wajah iri dari perawat dan para staf. Bisa libur adalah surga bagi mereka.