Zoya berusaha mengikat rambutnya, tapi terlalu pendek, sehingga hanya terikat separuhnya saja. Kemudian dia berlari menyusul langkah Tisa menuju ke lapangan voli.
"Lo udah denger belom, Zo? Katanya Sari sama Navo putus. Tapi tadi ada anak-anak liat Navo cium Sari di gerbang depan. Gila gak tuh?" Tisa yang baru saja mendapatkan gosip dari anak lain, langsung membagikan gosipnya pada Zoya.
"Yah, hubungan mereka itu udah gak sehat. Liat aja, nanti masih ada masalah lagi diantara mereka. Hubungan yang udah gak baik-baik aja, dipertahankan juga hanya menambah luka!" Zoya ingat kalau hubungan Navo dan Sari tidak akan berakhir dengan mudah, mereka masih akan saling menyakiti. Tapi dia tidak mengatakan lebih jelas pada Tisa, karena hal tersebut tidak seharusnya dikatakan.
Tisa mengangguk setuju. "Iya, tapi banyak yang bilang mereka bakal balikan lagi. Kita semua tahu Navo sayang banget sama Sari!"
Tersenyum tipis, Zoya tidak ingin menanggapi lagi, atau dia akan bicara terlalu banyak dan membuat Tisa merasa curiga. "Udah, yuk buruan lari!"
Keduanya berlari mengikuti yang lainnnya, mereka harus melakukan pemanasan dengan lari kecil keliling lapangan. Zoya terbiasa melakukan work out, tapi masih kesulitan mengatur napasnya, karena Tisa mengajaknya bercanda.
"Alam, Lo kok gak pakai pakaian olahraga?" Zoya melihat Alam hanya berdiri diam di pinggir lapangan, dia berhenti di depannya. Tisa memanggilnya untuk menyusul langkahnya, Zoya melambaikan tangannya agar Tisa berlari lebih dulu.
Alam juga melihat Tisa yang terus meminta Zoya untuk terus lari. Saat akhirnya dia menghadap depan, ternyata Zoya sedang menatapnya. Dia agak kaget, berusaha untuk tidak menatap matanya.
"Bajuku ilang. Kamu lanjut lari aja!" Alam tadinya datang ke lapangan untuk bilang pada guru olahraganya, kalau dia tidak memiliki seragam olahraga. Tentu dirinya akan dianggap absen, karena guru tidak mungkin mempercayai alasan apapun dari mulutnya.
Zoya menutup mulutnya. "Hah, seriusan? Ilang di rumah atau di sekolah?"
"Emh, gak tahu. Mungkin nyelip aja, entar aku cari lagi pas di rumah!" Alam tidak menyangka Zoya akan menunjukkan reaksi seperti itu.
"Pinjem aja, oh Lo mau gue pinjemin ke Raksa? Mungkin aja baju olahraganya ditinggal di loker, kan!" Zoya tahu Alam tidak memiliki banyak teman, jadi dia berinisiatif untuk menanyakannya pada Raksa.
Alam mengingat bagaimana waktu itu Raksa melihatnya dengan cara aneh. Bisa jadi Raksa tidak terlalu suka dengan ide Zoya meminjamkannya baju olahraganya. "Gak usah, udah kamu lanjut lari aja!"
"Eh, beneran? Ah, bilang aja Lo juga lagi males olahraga kan?" Zoya meledek, karena sebenarnya hanya beberapa anak saja yang menyukai pelajaran olahraga.
Alam ikut tertawa, dia terhipnotis dengan cara Zoya tertawa. Rambutnya yang diikat asal-asalan dan kacamata yang bertengger manis di hidung mancungnya, juga poni yang berantakan setelah berlarian, gadis itu sangat cantik dan manis.
Setelah dia terpaku pada suara tawa Zoya, tawanya langsung memudar menyadari ada banyak tatapan mata yang terarah padanya. Tidak, dia merasa itu bukan tatapan biasa. Begitulah reaksi orang-orang ketika ada gadis cantik mengobrol dengan laki-laki lusuh yang tidak terlalu dikenal. Sadar akan hal tersebut, Alam kembali meminta Zoya untuk kembali berlari saja.
"Ya udah, bye Alam. Semoga baju Lo nanti ketemu ya!" Zoya mengatakannya dan langsung kembali berlari, saat itu dia melihat anak-anak lain yang telah selesai berlari melihat ke arahnya. Berpikir mungkin mereka mulai kesal, karena dia malah mengobrol.
"Huh, capek!" Zoya mengeluh, setelah sudah berjongkok di sebelah Tisa.
"Duduk dulu!" Tisa mengusap pundak Zoya.
Lander di sisi lain sesekali memperhatikan Zoya. Dia sebenarnya sudah memperhatikannya sejak gadis itu mulai berlari keliling lapangan. Bahkan saat Zoya bicara dengan Alam. Tawa mereka membuatnya mengerutkan kening, karena Zoya terlihat cukup akrab dengan Alam.
"Semuanya, ayo kita peregangan dulu. Setelah ini kita bagi Tim untuk main kasti. Karena lapangannya kurang cocok, bolanya bisa kena jendela, mending kita pindah ke lapangan basket aja. Lebih luas juga areanya! Gimana?" seru anak yang diminta guru olahraga untuk memimpin permainan, karena gurunya sedang ada urusan.
"Okay!" Beberapa anak berseru menyetujui ide tersebut.
Pemanasan dilakukan dengan cepat, setelahnya mereka pindah ke lapangan basket. Anak-anak mulai membagi tim secara acak. Bahkan mereka seperti sudah tahu untuk berada di tim mana. Setelah jumlahnya sama, mereka baru memulai permainan.
"Wah, gue gak pandai menangkap bola. Semoga tim kita dapat giliran pertama untuk memukul bola!" Zoya bicara pada Tisa, sedangkan Tisa sedang mendengarkan ketua Tim menyusun strategi. Jadi dia mengabaikan ucapan Zoya.
"Tali sepatu Lo benerin dulu!" ujar seseorang yang sebenarnya mendengarkan keluhan Zoya.
"Hah?" Zoya melihat pada sepatunya, kemudian pada Lander. Dia tidak sadar laki-laki itu berdiri di sebelahnya. Dan mengajaknya bicara lebih dulu juga hal yang mengejutkan. "Oh, untung Lo ingetin!"
Zoya berjongkok untuk membenahi tali sepatunya. Tapi yang membuatnya terdiam, Lander ikut berjongkok di sebelahnya. Mereka saling menatap. "Lo mau ngapain?"
"Lo sengaja ngehindarin gue setelah jadi model terkenal?" Lander tidak tahan untuk tidak menanyakannya. Karena beberapa hari ini dia merasa diabaikan.
Mengerutkan keningnya, Zoya merasa ucapan Lander agak sarkasme. Padahal jika memang laki-laki itu ingin bertanya dengan baik, tidak perlu menyinggung tentang profesinya.
"Enggak, gue cuma mau move on. Lo pasti seneng kan, udah gak gue ikutin lagi?" Zoya tersenyum tipis, dia memperhatikan manik mata Lander. Karena Lander di ingatannya selalu berusaha menghindarinya sampai mereka lulus, dirinya sudah seperti parasit yang harus dijauhi.
Lander menepuk kepala Zoya. "Lo gak akan bisa. Bahkan laki-laki lain gak akan bisa bikin Lo move on dari gue!"
"Hah?" Zoya mendongak menatap Lander yang sudah berdiri, merasa aneh dengan kalimat yang baru saja di dengarnya.
"Zoya!" Tisa memanggil Zoya, tapi saat menoleh dia tidak menemukannya.
"Apa?" jawab Zoya yang masih mengikat tali sepatunya.
"Ngapain Lo!" Tisa membantu Zoya berdiri. "Kita pukul bola duluan yuk. Mau gue dulu atau Elo?"
"Gue deh. Emang boleh? Gue gak jago mukul!" Zoya berjalan mendekati ketua timnya, sekalian bertanya hal tersebut padanya.
"Boleh, gak masalah kalau gak bisa. Nanti Lo lari aja sekencang mungkin, kalo udah ada yang berhasil mukul!" jawabnya dengan lembut, berbeda sekali saat bicara dengan anak-anak lainnnya.
Zoya mengangguk bersemangat. Dia tidak ingat apakah timnya akan menang atau tidak. Dia bahkan lupa rasanya bermain permainan ini, maka dia akan menikmatinya.
"Ayok! Lo dulu, Zo!" Tisa menyemangati Zoya, dan diikuti oleh anggota tim lainnnya. Mereka setuju dengan ucapan ketua Tim, jika Zoya gagal memukul tidak masalah. Senyum Zoya saja sudah membuat mereka luluh, bukan hanya laki-laki, para gadis juga suka dengan senyuman Zoya.
"Wah, gila. Gue merasa keren!" Zoya berteriak saat memegang tongkat pukulannya. Mulai menggenggamnya dengan erat. Mengambil sikap siap untuk menerima bola.
"Zoya!" Tisa berteriak lagi.
Pukulan pertama gagal, kedua juga gagal, tapi yang ketiga bola mengenai tongkat pemukulnya. Zoya harus langsung berlari ke pos pertama. Sayangnya dia merasa perutnya tiba-tiba kembali sakit. Rasanya sangat sakit, dia berlari sambil memegangi perutnya. Sebentar menahannya, rasa sakit itu sudah hilang.
Zoya kembali fokus pada permainan. Bola yang dipikulnya tidak terlalu keras, terlempar sangat dekat, tapi sepertinya teman-temannya di tim lawan sengaja memberinya kesempatan mencapai pos pertama. Kini, giliran temannya yang lain untuk memukul. Zoya pikir Tisa yang akan memukul, tapi ternyata Lander yang sudah lebih duluan maju.
"Lander, awas lo kalau gak bisa mukul!" ujar anak-anak setimnya. Mereka tahu Lander jago main basket, tapi belum pernah melihat Lander main kasti.
"Zoya, langsung lari ke pos kedua kalau Lander berhasil mukul!" Tisa tidak peduli apakah Lander bisa main atau tidak, dia hanya peduli pada Zoya.
"Oke!" Zoya mengacungkan jempolnya.
Saat itu permainan berlangsung seru, Lander berhasil memukul cukup jauh pada kesempatan kedua. Dia berlari ke pos pertama dan langsung ke pos kedua, menyusul Zoya. Keduanya kemudian menunggu sampai anggota tim lainnnya kembali memukul lagi.
"Hebat, Zoya. Anak-anak gak akan lempar bola ke Lo, mereka akan fokus buat kenain gue atau anggota lainnnya. Jadi, lo hanya perlu lari sekuat mungkin. Paham?" Lander melihat jalanannya permainan, tapi dia tidak mendapatkan respon dari Zoya. Saat melihatnya lagi, ternyata Zoya sedang membungkuk.
"Kenapa?"
"Gue gak bisa main. Maaf!" Zoya mendengar arahan Lander barusan. Meskipun mendapatkan kemudahan dari teman-temannya yang lain, masalahnya perutnya kembali terasa sakit.
"Zoya!" Lander menopang tubuh Zoya. Gadis itu jatuh pingsan setelah terlihat menahan sakit. Mengabaikan teriakan anak-anak lainnya, Lander langsung berusaha membawa Zoya ke ruangan kesehatan.
Sebenarnya Zoya masih bisa mendengar suara Lander. Tapi anehnya dia tidak bisa membuka matanya. Hingga dia benar-benar tak sadarkan diri.