Zoya duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya dia lakukan. Saat ini dia sedang menunggu Lander mencari sebuah buku di perpustakaan. Tapi permasalahannya bukan pada buku yang sedang dicari laki-laki itu, tapi pada kenapa dia harus menunggunya?
"Lo nyari buku apa sih. Gue cukup hapal letak buku-buku di sini!" Zoya tidak bisa hanya diam saja menunggu, lebih baik jika membantu laki-laki itu agar dia bisa segera kembali ke kelas.
"Buku filsafat kontemporer Perancis , tapi kayaknya ada yang minjem atau mungkin dikembalikan di tempat yang salah!" Lander agak kesal, dia sudah akan meminjamnya beberapa hari lalu, tapi karena sibuk, dia menundanya. Tapi sekarang buku itu hilang.
Zoya sepertinya pernah melihatnya. Dia kembali mencari di rak deretan buku filsafat yang dimiliki di perpustakaan sekolahnya. Tapi buku itu memang tidak ada di sana. Jadi itu alasan Lander sangat lama mencari, karena mencari di rak secara acak.
"Buku itu seharusnya tetap ada di tempatnya. Karena sangat jarang yang tertarik dengan buku seperti itu. Mungkin Sari tidak sengaja memindahkan saat dia mendapatkan hukuman merapikan buku-buku di perpustakaan selama seminggu!" Zoya bicara tidak terlalu keras, bahkan lebih terdengar seperti sedang bergumam sendiri.
Lander tidak mendengar jelas apa yang dikatakan Zoya. Dia juga tidak terlalu memperhatikan, tapi dia mendengar nama Sari disebutkan diantara kata yang tidak terdengar jelas tersebut. Membuatnya teringat tentang kejadian tadi. Dimana Zoya dan Navo mengobrol berdua dan Navo yang berani menyentuh Zoya.
"Lo ngomongin apa sama Navo? Kalian bisa membuat orang salah paham!" Lander mengatakannya dengan nada ketus, seolah-olah tidak peduli.
Zoya mengerutkan keningnya. "Kenapa? Biarkan saja jika ada yang salah paham!" Dia terbiasa disalahpahami, karena dia selalu menjadi pusat perhatian, apa ya dilakukannya akan diperhatikan banyak orang.
"Dasar, cari dengan benar. Jangan jatuhkan buku-buku itu!" Lander menegur Zoya yang hampir menjatuhkan buku. Dan berjalan melewatinya dengan mendengus kesal.
Zoya menoleh dan memperhatikan Lander dengan kerutan di keningnya. "Kenapa dia mudah sekali marah. Bukunya tidak akan rusak jika terjatuh, seolah-olah gue akan membakarnya ke api saja!"
Zoya bahkan tidak mengerti kenapa dia harus repot-repot membantu laki-laki itu. Apalagi laki-laki itu menunjukkan sikap menyebalkan. Seperti dia telah melakukan kesalahan padanya. Padahal tidak.
"Kalau gue berhasil menemukan lebih dulu. Beliin gue es krim!" Zoya bertekad, dia tidak mau membantu tanpa alasan. Setidaknya lelahnya tidak sia-sia.
Lander tidak merespon, dia serius mencari buku. Sekarang dia memanjat tangga untuk mencari di rak yang tinggi. Meskipun dia hobi membaca, dia tidak membaca buku secara acak, hanya buku-buku yang menarik perhatiannya saja. Jadi sebenarnya dia jarang datang ke perpustakaan. Lebih sering dia mendapatkan buku melalui pemesanan dan menambah koleksinya di rumah.
Setelah mencari lebih dari tiga puluh menit, mereka belum menemukannya. Zoya sudah duduk bersandar pada tembok. Melihat Lander yang masih mencari di dekatnya. Laki-laki itu juga terlihat berkeringat dan tampak marah.
"Gue pesenin aja deh. Papa gue punya kenalan orang yang kerja di perpustakaan di luar negeri. Mungkin dia masih memiliknya!" Zoya mengambil ponselnya, hendak meminta papanya memesan buku tersebut. Tapi seseorang menghentikannya.
"Tidak perlu!" Lander meraih ponsel Zoya dan membatalkan panggilan. Kemudian menyerahkan kembali pada gadis itu.
"Kenapa? Lo kayaknya mau banget baca buku itu. Gue juga udah gak sanggup nyari lagi!" Zoya berterus-terang, tapi masih dengan cara yang baik.
"Kalo pesan dari luar, bahasanya bisa jadi dalam bahasa asing dong!" Lander masih kembali melanjutkan pencarian.
Zoya mengangguk, lalu apa masalahnya? "Kan Lo juga bisa bahasa Inggris. Cari yang versi bahasa Inggris!"
"Gue gak jago. Udah lah, bawel. Gue maunya yang udah bahasa Indonesia!" Lander mengakui dengan sedikit malu, karena meskipun bisa berbahasa Inggris, dia tidak sebaik Zoya dalam hal itu. Karena dia memiliki sifat kompetitif, maka dia sedikit merasa kalah.
"Ih, ma~rah. Lagian kan ada perpustakaan lain, cari aja di tempat lain!" Zoya mengambil buku di rak depannya, itu adalah buku seni rupa.
Lander menggoyangkan tangannya. "Udah ketemu! Saran Lo basi!" Dengan senangnya Lander membawanya menuju ke meja. Membacanya di sana.
Zoya menaruh buku yang baru diambilnya, dia melihat laki-laki itu bahkan langsung mengabaikannya. Padahal dia telah membantunya mencari. Menghampirinya, Zoya duduk di sebelah Lander. Dia menidurkan kepalanya di atas meja, miring menghadap ke Lander. Memperhatikan wajah tampan tapi galak tersebut kini terlihat sangat serius.
"Lander, Lo gak ngerasa hidup Lo itu terlalu serius?"
Zoya tidak tahu bagaimana hidup Lander setelah lulus. Jika temannya berkata benar, Lander akan mengurus bisnis keluarga. Tapi kenapa Lander bisa terlibat dalam perjodohan? Apa sampai di usianya itu Lander masih sama seperti saat ini, terlalu ambisius dalam belajar.
Lander seperti kutu buku dalam film, jika tidak menjadi kapten basket yang keren. Memakai kacamata pada wajahnya yang serius, tidak suka mencontek, selalu rajin mengerjakan tugas, hampir selalu mendapatkan nilai sempurna. Lander orang yang menyebalkan, menurut teman-temannya sangat freak. Tapi anehnya dia mengagumi laki-laki itu hingga lulus. Meskipun sekarang tidak lagi.
"Oh ya, ini!" Zoya baru ingat tentang surat titipan. Dia menyimpannya jadi agak kecil di sakunya, sehingga hampir terlupakan.
Lander agak terganggu dengan Zoya. Tapi dia masih menerima lipatan yang diulurkan Zoya. Agak tebal dan saat dia membuka lipatannya, baru diketahui itu adalah surat.
"Dapat dari mana? Selain buang barang-barang dari cewek-cewek yang suka sama gue, Lo juga terima titipan surat dari mereka?" Lander menyeringai. Dia meremas kertas menjadi sebuah gumpalan bola dan memberikannya pada Zoya lagi. "Buangkan ini!"
Zoya menghirup napas kasar. Dia melihat gumpalan kertas di genggamannya. "Lo harus berhenti mengolok-olok gue. Lander, gue udah gak suka sama Lo lagi. Bahkan gue rasa gue harusnya benci Lo. Jadi …,"
Zoya membulatkan matanya, melihat wajah yang begitu dekat di depannya. Mata yang menatapnya sangat dekat juga hembusan napas yang dirasakan di wajahnya.
"Gue tahu cewek cantik paling pandai berbohong. Tapi Lo yang paling buruk, mengatakan kebohongan tentang perasaan Lo sendiri. Gue jamin, Lo pasti deg-degan kan sekarang? Lo juga bahkan nahan napas!"
Zoya tersadar saat melihat senyuman Lander menjauh. Dia menggertakkan giginya kesal. "Ya jelas lah, kan gue kaget lo tiba-tiba di depan wajah gue. Aneh!"
"Lo yang bohong. Lo bilang gak suka sama gue, tapi terus aja ada di sekitar gue. Lo ajak gue naik motor Lo, padahal Lo gak suka bonceng orang. Lo ajak gue ke perpustakaan, padahal lagi sepi karena harusnya ditutup. Lo itu yang pembohong. Dasar freak!" Zoya awalnya tidak sekesal itu, tapi saat mengatakan kalimat itu dia semakin kesal saja. Berjalan cepat menuju pintu meninggalkan laki-laki itu dalam kemarahan.
"Pembohong?" Lander belum pernah dikatai pembohong, karena dia selalu sangat jujur.
_