Membantu menyiapkan bekal makan siang, sebenarnya dia agak merasa aneh. Ini pertama kalinya, Zoya meminta dibikinkan bekal makan siang untuk di makan di sekolah. Tentu alasannya bukan untuk menghemat uang jajan, karena mereka hanya memiliki satu anak saja, mereka akan selalu memastikan Zoya tidak mengalami kekurangan, lebih lagi dalam hal keuangan. Jadi, kenapa anak itu tiba-tiba ingin dibuatkan bekal?
"Sayang, kamu bikin bekal untuk siapa? Untukku?" Zian sudah sedikit bersemangat, karena perhatian seperti itu tidak pernah ditunjukkan istrinya.
"Kamu tidak perlu ini, koki handal akan menyiapkannya untukmu!" jawab istrinya dengan senyum tipis, kemudian memukul kening suaminya dengan sendok.
Mengusap keningnya, Zian sudah menebak kalau tidak mungkin istrinya mau repot-repot menyiapkan bekal untuknya. "Tapi masakanmu yang terbaik, tidak apa-apa sesekali bawa bekal 'kan?"
"Tidak! aku terlalu sibuk untuk itu!" istrinya menjawab tanpa jeda.
"Kamu sangat curang!" keluh Zian sambil menyantap sarapannya.
"Dia ingin bawa bekal, saat ku tanya alasannya, dia bilang karena merindukan masakanku. Hah, dia pikir selama ini masakan siapa yang dia makan setiap harinya. Sayang, Zoya agak aneh bukan?" tanyanya pada suaminya mengungkapkan perasaan yang mengganjal.
Zian hanya tertawa saja. "Bukankah bagus? Dia memiliki selera makan yang buruk, mungkin di kantin sekolah makanannya tidak sesuai seleranya!"
"Ck, kenapa setelah dua tahun bersekolah di sana, dia baru merasa makanannya tidak sesuai? Kurasa ada yang aneh juga dengan tatapannya. Apakah kita melewatkan sesuatu? Apakah menurutmu dia mengalami masalah dan kita tidak mengetahuinya?"
Zian memeluk pinggang istrinya, dia tahu istrinya hanya terlalu over thinking. Karena mereka hanya memiliki Zoya dalam hidup mereka, sedikitpun tidak ada yang boleh menggores kulitnya, apalagi perasaannya. Zian memahami kekhwatiran istrinya, karena dia juga sempat memikirkannya.
"Zoya belum juga turun? Apakah kamu lupa membangunkannya?" Zian melihat ke arah tangga, dan belum melihat tanda Zoya akan turun.
"Sebentar lagi," saat itu bersamaan dengan suara langkah kaki yang terdengar semakin dekat. "Ah, itu dia!"
"Zoe Pyralis, ada apa dengan rambutmu?"
Zoya sudah menebak respon mamanya saat pertama melihat penampilan barunya. Dan respon papanya yang hanya diam mengamati, itu juga sudah dia perkirakan.
"Zoya pikir memiliki poni tidak lah buruk, dan bosan untuk selalu memakai lensa kontak, aku akan memakai kaca mata mulai hari ini!" Zoya menjentikkan jarinya, hingga mengenai bagian poninya yang kemudian bergoyang.
Zoya sudah memutuskan untuk menjalani masa remajanya yang kedua dengan cara yang berbeda. Tidak bermaksud mengubah kisah yang sebelumnya, hanya saja dia ingin sedikit berbeda saja.
Memiliki poni tidak mengurangi kecantikannya, tapi menggunakan kaca mata sedikit merubah dari penampilan yang sebelumnya. Dia tidak tampil terlalu berbeda, hanya saja sedikit perbedaan yang agak menonjol.
"Wah, cantiknya!" Zian mengungkapkan pujian dengan begitu bangga, karena merasa dengan kaca mata itu, Zoya semakin mirip dengan dirinya.
"Terimakasih. Papa, hari ini Zoya berangkat sekolah bareng papa ya?" Zoya tidak akan menyia-nyiakan waktu bersama dengan papanya, karena hanya sedikit waktu yang bisa dia habiskan bersama papanya juga mamanya.
"Okay, ayo makan dulu!" Zian menarik kursi untuk putrinya duduk.
Zoya adalah anak yang ceria. Tapi karena sikap manjanya, kadang orangtuanya merasa Zoya sedikit angkuh. Tidak bisa menyalahkannya, karena mereka lah yang membentuk karakter Zoya seperti itu. Tapi sejak kemarin, mereka melihat Zoya lebih tenang dan agak aneh. Perbedaan itu terlalu jelas.
Zian akan menoleh ke sisinya sesekali. Dia meminta sopir untuk melajukan mobilnya dengan sedikit cepat, karena tidak mau kalau putrinya terlambat.
"Pa, apakah papa kecewa karena Zoya tidak mau sekolah di luar negeri?" pertanyaan itu dulu sering menghantui Zoya, ketika dia mengingat tentang keinginan papanya tersebut. Setelah akhirnya dia memiliki kesempatan untuk menanyakannya, dia berharap mendapatkan jawaban.
Zian mengerutkan keningnya, dia sangat berhati-hati sebelum menjawab pertanyaan Zoya. Meskipun dia dan istrinya sangat berharap Zoya mendapatkan pendidikan terbaik di sekolah terbaik, tapi mereka tidak memaksakan kehendak. Karena mereka juga sedikit berat untuk berpisah dengan satu-satunya anak yang mereka miliki.
"Papa sangat ingin kamu bersekolah di luar negeri, bukan berarti sekolah di dalam negeri buruk. Hanya saja, kami memberikan kebebasan. Beberapa teman SD-mu banyak yang memilih bersekolah di luar negeri. Papa dan mama tahu kamu mungkin memikirkan kami yang akan kesepian, itulah kenapa kami pada akhirnya menawarkan hal tersebut!" Zian mencoba untuk menjelaskannya, dia tidak mau putrinya berpikir mereka tidak menyayanginya.
Zoya hampir meneteskan air mata, tapi dia menahannya. Jika yang mendengarnya adalah Zoya di masa lalu, jelas akan biasa saja mendengarkan penjelasan seperti itu. Tapi karena yang mendebarkan adalah Zoya yang pernah begitu merindukan mama dan papanya, tentu penjelasan tersebut menyentuh perasaannya.
Memeluk papanya dengan erat, Zoya sangat berterimakasih, setidaknya dalam hidupnya dia diberikan papa sebaik papanya. "Papa seharusnya mengatakan apa keinginan papa, agar Zoya bisa memenuhi keinginan papa! Bukankah papa dan mama hanya memiliki Zoya untuk memenuhi impian kalian? Tolong jangan menahannya!"
Tertawa, Zian mencoba untuk tidak terbawa emosinya. Tapi suara tawanya malah jadi terdengar canggung. "Papa tidak memiliki impian apapun untukmu, karena impian kamu akan menjadi impian kami juga. Katakan, apakah mimpimu tidak berubah? Masih ingin menjadi model?"
"Emh, Zoya akan menjadi model yang sukses!" Zoya memejamkan matanya menahan cairan liquid yang mulai memenuhi matanya dan akan jatuh. Dalam hatinya dia melanjutkan ucapannya. "Zoya sudah meraih impian Zoya untuk menjadi model sukses. Tapi Zoya tetap merasa gagal. Karena tidak ada kalian yang menyaksikan kesuksesan Zoya pada akhirnya!"
"Kalau begitu wujudkan impianmu, karena artinya kamu akan mewujudkan mimpi papa. Suatu hari nanti, papa akan menyaksikan putri papa berjalan di catwalk! Papa akan duduk di kursi paling depan dengan membawa bunga. Dan mamamu akan menangis di pelukan papa, karena melihat putri kami sangat cantik berjalan dengan anggun di depan kami!" Zian memiliki senyum sangat lebar, mengatakan impian tersebut sudah membuatnya merasa bahagia.
Zoya semakin sulit menahan air matanya. Karena papanya tidak akan pernah melihatnya berjalan di catwalk. Dia baru memulai karirnya semasa kuliah dan papanya sudah meninggal saat itu. Hanya mamanya yang akan duduk menyaksikannya dengan memegang bunga di tangannya dan senyum bahagia di wajahnya. Sendirian, tanpa papanya.
"Zoya sangat sayang papa, Zoya mencintai mama dan papa!" Ungkapan itu akhirnya terucapkan langsung dari mulutnya. Kata yang dulu tidak pernah terucap, tapi sering terucap setelah kepergian papanya, selamanya.
"Uh, sayangku! Terimakasih untuk cinta itu, kami juga mencintaimu putri kecilku!" Zian merasa sangat lega, entah apa yang terjadi hari ini, karena sangat mengejutkan mendengar Zoya mengatakan cintanya.
-
Setelah turun dari mobil, Zoya masih memandangi mobil papanya yang sudah melaju jauh. Dia memeluk dirinya sendiri, merasakan lagi kekosongan yang selama ini dirasakannya. Bahkan setelah kembali bisa memeluk papanya, dia masih merasa kosong. Karena merasa itu tidak benar-benar nyata.
"Lo … sedikit berbeda. Gue pikir ada murid baru!" Navo baru saja memarkirkan motornya, dia melihat Zoya berjalan dengan wajah tertunduk.
"Hem, yang jelas gue tetap lebih cantik dari pada pacar lo!" Zoya mengatakan lelucon yang tidak lucu dengan ekspresi datarnya. Sehingga menciptakan suasana yang agak aneh.
Navo melirik ke arah gelang yang dikenakan Zoya. Dia melihat gelang itu mudah sekali cocok dengan pemakainya. Tapi terlihat lebih cocok saat dikenakan oleh pemilik sebenarnya.
"Gelang itu, sangat bagus!" Navo mengatakannya, dia ingat bagaimana kekasihnya begitu senang dengan gelang itu.
"Lo mau? Gue bakal memberikannya, kalau Lo mau!" Zoya tidak mengerti bagaimana cara gelang itu kembali ke pergelangan tangannya, karena saat terbangun kemarin, gelang itu sudah kembali terpasang di pergelangan tangannya.
Tertawa sarkasme, Navo pikir Zoya juga akan memperlihatkan betapa gadis itu menyukai gelangnya. Tapi diluar ekspektasi, karena Zoya terlihat muak melihat gelangnya sendiri.
"Gue gak suka milik orang lain. Hanya saja, lo benar-benar membuat para gadis jadi iri. Sebaiknya jangan memamerkannya, kalau lo gak terlalu menyukainya!" Navo memperingatkan dengan senyuman, kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan Zoya di belakang.
Gue selalu bikin para wanita iri. Bukan hal aneh lagi!" Zoya mengatakan dengan percaya diri.
Dia biasa mendapatkan tatapan iri dari wanita lain, yang cemburu dengan kecantikannya. Tanpa mereka tahu, dia akan berakhir menjadi wanita paling kesepian yang hidup dalam kehampaan nantinya.