Zoya benar-benar tahu

1665 Kata
Zoya sudah duduk di kursinya, dia memakan popcorn, matanya menatap pada layar besar di depannya yang sedang menayangkan film komedi. Tapi nyatanya, apa yang dilihatnya tidak bisa membuatnya tertawa. Hanya ada raut wajah datar, dan tatapan kosong. Raksa berlarian hingga mencapai tempat pembelian tiket, dia memesan semua tiket yang tersisa untuk penayangan di waktu itu. Dia sudah agak terlambat, karena filmnya sudah diputar sejak sepuluh menit yang lalu. Berlari menuju ruangan pertama, Raksa langsung disambut kegelapan. Dia mencoba menemukan keberadaan Zoya di kursi penonton. Sangat sulit, ketika ruangan itu memiliki sedikit penerangan pada layarnya saja. Dengan senter di ponselnya, dia akhirnya menemukannya. Satu-satunya penonton yang tidak tertawa, saat yang lain sudah tertawa karena kelucuan dalam film. Duduk tanpa mengatakan apapun, Raksa ikut menyaksikan film tersebut. Seperti Zoya, dia juga tidak bisa tertawa. Dia mengerti, film komedi tidak bisa merubah suasana hati. Raksa merasakan tangannya digenggam, dia menoleh, tapi Zoya masih menghadap ke depan. Seolah-olah hanyut dalam film, padahal nyatanya sama sekali tidak. Mereka seperti terjebak dalam dunia mereka sendiri. Kesunyian yang membungkus keduanya dari suara tawa orang-orang di sekitar. Raksa sedang memilih kata pertama yang akan dia katakan, sebelum dia juga merasakan kepala seseorang bersandar di pundaknya. Zoya terlihat sangat rapuh, membuat hatinya juga ikut remuk. Tidak ada yang berbicara, bahkan hingga akhirnya film itu selesai. Lampu dalam ruangan bioskop itu kembali menyala. Saat itulah Raksa baru bisa melihat cairan bening telah cukup banyak membahasi pipi gadis cantik di sebelahnya. Tangan kirinya reflek terulur untuk mengusap jejak basah tersebut. Suara tangis Zoya pecah, saat itu Raksa seperti membeku. Dia belum pernah melihat Zoya menangis, dan ini adalah pertama kalinya. Dan bukan tangis biasa, tapi tangis yang terasa sesak dengan suara serak. Raksa tercekat, dia mencoba memberanikan diri untuk memeluknya dari samping. Sungguh, dia tidak bisa memikirkan apapun. Tidak ada yang Raksa lakukan, selain membiarkan gadis itu menangis. Dia seperti bisu, tidak bisa mengatakan apapun. Menunggu, dia menunggu Zoya merasa cukup tenang. Bodoh, itu mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkan dirinya saat ini. Dia belum pernah menghibur orang, karena biasanya dia yang dihibur. Juga, dia ikut merasakan sakit, hatinya seperti memiliki luka menganga mendengar tangis Zoya. Raksa tahu Zoya tertidur. Dia sudah menunggu beberapa menit untuk Zoya menangis, dan beberapa menit agar Zoya tetap tertidur nyaman dalam pelukannya. Tapi kini tangannya mulai terasa kebas. Sebenarnya Raksa khawatir jika Zoya pingsan, tapi beberapa kali dia mengecek suara napas Zoya, dia pikir seharusnya Zoya hanya kelelahan dan kemudian tidur. Mengambil tas Zoya, Raksa juga meletakkan tasnya di kursi kosong sebelahnya. Dia akan meminta pegawai bioskop untuk menolongnya menjaganya sebentar, dia akan kembali lagi untuk mengambilnya. Setelah itu perlahan, dia memposisikan Zoya agar bisa naik ke punggungnya. Sangat perlahan, agar Zoya tidak terbangun. "Kakak, maaf!" Raksa mengatakannya sebelum dia mulai melangkahkan kakinya, dengan menggendong Zoya di punggungnya. Beberapa orang kesulitan melupakan kenangan buruk, bahkan ada yang berpura-pura lupa agar tidak lagi mengingat. Bukankah kejam saat harus mengingat dan mengalami lagi bagaimana cara seseorang terluka? Raksa tidak tahu apa yang Zoya pikirkan sekarang. Tapi dia tahu Zoya terluka. Dia tidak tahu obat apa yang bisa menyembuhkannya. Dia hanya mencoba untuk berada di sisinya. Setelah Raksa mengantarkan Zoya pulang, sampai ke kamarnya. Dia tidak beranjak sedikitpun. Bahkan saat Shana memintanya untuk makan malam, dia masih menunggu di sisi Zoya. Menunggui putri tidurnya. Setelah menjelang pagi, Zoya terbangun dengan mata bengkak. Dia bahkan merasa aneh pada wajahnya. Melihat sekelilingnya, dia tidak terlalu terkejut telah berada di kamarnya sendiri. Karena dia melihat Raksa tertidur di sofa single di dekat balkon. Laki-laki itu pasti khawatir padanya. Tak lama, Raksa juga bangun. Dia mengusap matanya, dan menguap lebar. Tapi saat membuka matanya, dia melihat Zoya sudah tidak ada lagi di atas tempat tidurnya. Dia hanya terdiam sambil melihat sekeliling, baru dia mendengar suara kran air. Artinya Zoya ada di kamar mandi. "Apa yang akan kukatakan?" Raksa diam seperti orang bodoh, tapi otaknya bekerja keras mengatur kata yang akan dia ucapkan pertama kali setelah kejadian kemarin. Karena tidak menemukan kata yang tepat, Raksa memilih berjalan keluar dari kamar Zoya. Mungkin lebih baik jika dia pulang dan mandi, agar otaknya ikut segar. — Kata pertama yang Raksa katakan, saat dia datang ke rumah Pyralis lagi untuk mengajak Zoya berangkat bersama ke sekolah, adalah kalimat yang pada akhirnya dia sesali. Bukan kata yang bagus, dia bahkan sangat terkejut kata itu keluar dari mulutnya. "Aku bercanda, haha!" Raksa tertawa, dia berbalik dan terus tertawa sampai masuk ke mobilnya. Dan setelahnya dia langsung diam dengan wajah bodoh. Bagaimana mungkin dia mengatakan, "Wajahmu aneh!" Pada gadis yang memiliki mata bengkak setelah menangis. Bukankah itu terlalu kejam? Zoya bahkan langsung melihat melalui kamera ponselnya. Terlihat mengecek keadaan wajahnya. Dia menyadari wajahnya dalam keadaan yang buruk. Tapi tidak menyangka, akan terlihat seburuk itu. "Jangan lihat gue!" tegur Zoya yang telah duduk di kursi penumpang sebelah kursi pengemudi. "Aku salah!" Raksa menunjukkan ekspresi penuh rasa bersalah, tapi tidak berani melihat pada Zoya. Zoya tidak bisa marah lagi, dia tahu Raksa tidak bermaksud. Tapi meskipun begitu, komentar itu mematahkan semangatnya. Raksa seharusnya tahu, jangan beri komentar buruk pada wanita, karena penampilan. Itu hal paling sensitif. Mengabaikan hal tersebut, Zoya kembali mengingat tentang kemarin. Dia terlalu emosional. Raksa pasti sangat kesulitan menghadapinya. "Gue kemarin ketemu seorang anak bernama, Jo!" Zoya ingin menceritakan secara singkat, alasan dia menangis. Tapi mungkin hanya yang perlu Raksa ketahui. Raksa langsung menegang. Dia bahkan hampir kehilangan kendali pada kemudinya. Jantungnya berdegup kencang, apa yang akan dikatakan oleh Zoya? "Namanya sama persis sama Lo. Tapi keadaannya sangat buruk. Dan asal Lo tahu, dia juga pandai menggambar kayak Lo!" Zoya tersenyum pedih, mengingat tentang anak laki-laki yang sedang berjuang dan hampir putus asa. "Gambarannya pasti jelek!" Raksa berkomentar sambil menahan air mata. Dia menutupi dengan senyum tipis, tapi masih tidak mau menoleh ke arah Zoya. Berusaha keras untuk fokus pada jalanan, atau bahkan ke arah lain, asalkan tidak melihat wajah Zoya. "Entahlah, tapi tentu gambaran lo jauh lebih bagus dari pada anak itu. Karena tangannya sangat lemah, gambarannya jadi kurang baik!" Raksa menelan ludahnya, dia tersenyum lagi. Senyum itu adalah kesetujuan. Karena gambaran Jo memang tidak bagus, tangannya kadang gemetaran, tidak mampu memegang pensilnya dengan benar. "Dia ingin hidup, melihat dunia luar yang belum pernah dia lihat. Dia ingin bermain dengan teman-teman, juga bersekolah. Tapi penyakit itu merengut keinginannya, harapannya dan juga mungkin hidupnya!" Zoya mengatakan dengan ekspresi datar, karena dia sedang cukup marah. "Kamu kasihan padanya?" Raksa sangat menunggu jawaban Zoya. Mendengar bagaimana Zoya menceritakan keadaan Jo, Raksa jadi penasaran dengan pendapat Zoya. "Aku marah padanya, dia ingin hidup, tapi dengan mengambil kehidupan orang lain!" Zoya menoleh pada Raksa. Dia jadi tidak bisa mengontrol emosinya. Raksa juga sedang melihat ke arah Zoya, dia langsung buru-buru kembali melihat ke depan saat melihat mata berkaca-kaca Zoya. Jadi ternyata Zoya memang membencinya. Bukankah seharusnya dia tidak lagi terkejut? Karena apa yang dikatakan Zoya adalah kebenarannya. Jonial Raksa ingin hidup, tapi syaratnya adalah dengan mendapatkan donor hati baru. Artinya dia merenggut kehidupan seseorang. "Itu yang dulu gue pikirkan. Bukankah gue sangat egois? Gue berpikir sangat picik pada anak kecil itu, karena gue sangat marah, gue kehilangan cahaya, tapi anak itu memiliki cahaya baru!" Zoya mengangkat kakinya ke kursi, kemudian membungkuk dan menyembunyikan tangisannya. Raksa memukul dadanya, rasanya sangat sesak. Lagi-lagi dia tidak bisa mengatakan apapun. Tangannya mencengkram erat setir mobilnya, hingga buku-buku jari tangannya memutih. "Gue gak merelakannya, padahal mungkin momen bersamanya memang hanya sampai sana!" Zoya bicara diantara tangisnya. Dia sadar, seharusnya dia tahu waktu papanya memang hanya sampai di sana. Bukan malah meratapinya, tanpa mengingat betapa banyak momen indah yang telah dia lewati bersama papanya. "Gue kemarin nangis, karena gue seharusnya gak benci anak itu. Gue bingung, karena rasanya sangat sakit di sini!" Zoya menunjuk hatinya. Raksa sangat ingin menjawab, Zoya bisa membencinya jika itu membuatnya lebih baik. Sungguh, dia sebenarnya takut mendengar apa yang baru saja Zoya katakan. Jika Zoya tahu anak itu adalah dirinya, jika saja dia mampu mengatakannya. "Jika anak itu merebut cahayamu, kamu berhak marah!" Raksa hanya bisa mengatakan hal tersebut sebagai respon. "Tidak, Lo salah paham Raksa. Gue menyesal pernah membencinya!" Zoya kembali menangis. Dulu setelah tahu seorang anak menerima donor hati dari papanya, Zoya mengatakan pada mamanya agar mereka mengambil hati papanya lagi. Karena mungkin papanya meninggal karena hatinya diambil. Betapa naifnya dia yang saat itu tidak terima papanya pergi. Dan sekarang dia merasa sangat bodoh. "Lo gak akan mengerti!" Zoya tidak bisa menjelaskan rasa sakit dari ingatannya. "Tolong lupakan Lo liat gue nangis kemaren sama hari ini. Karena gue pengen nangis untuk terakhir kalinya!" "Gak apa-apa, Lo bisa nangis. Setelah ini, kita akan sama-sama melupakannya!" Raksa ikut meneteskan air matanya, dia memahami apa yang coba disampaikan Zoya. Raksa tidak tahu harus merasa lega atau tidak. Sekarang sudah jelas, Zoya memang tahu tentang kematian papanya dan juga hal menyangkut Jonial Raksa. Gadis itu mungkin membenci anak itu, tapi sepertinya setelah melihat keadaannya kemarin, Zoya tidak lagi membencinya. Raksa tentu tidak bisa merasa tenang, karena Zoya bahkan masih sebaik itu pada Jonial Raksa, setelah tahu apa yang akan terjadi pada Zian. Gadis itu pasti sangat tertekan, jadi wajar jika menangis. Jika ada yang bisa dia lakukan, agar Zoya tidak terluka sangat parah, dia akan melakukannya. Gadis itu sangat baik. Zian adalah malaikat baginya, tapi kini dia melihat malaikat lainnnya. Zoe Pyralis, putri tunggal Pasangan Shana dan Zian Pyralis. "Apakah anak itu akan sebaik Lo, saat besar nanti? Dia memiliki kesempatan hidup, gue harap dia akan tumbuh menjadi laki-laki sebaik Lo!" Zoya melihat pada Raksa. Tidak tahu kenapa mereka bisa memiliki nama yang sama. Tapi Zoya merasa cukup lega, Raksa mau mendengarkannya, padahal Raksa bisa saja menganggapnya meracau tidak jelas. Laki-laki itu tidak bertanya dan hanya mendengarkan. Padahal bisa saja Raksa bertanya apa hubungannya dengan anak itu, dan cahaya apa yang sedang dibicarakannya. Mereka berdua jadi seperti orang bodoh. "Jangan katakan apapun, kayaknya gue mabuk darat!" Zoya tertawa, karena dia habis menangis, tawanya jadi terdengar serak. Dengan bodohnya, Raksa juga ikutan tertawa. Dia seperti tersihir, dan ikut tertawa begitu saja. Tapi tawa itu masih meninggalkan rasa sakit di dadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN