Zoya seharusnya mengerjakan tugas sebelum pulang, tapi karena dia tidak berniat mengerjakannya, dia sama sekali belum menuliskan kata apapun.
Membawa tasnya, dia berniat untuk pulang. Tapi bukannya menuju gerbang, kakinya membawanya melangkah menuju ke lapangan. Karena dia mendengar suara bola yang dipantulkan hingga menimbulkan suara agak keras.
"Siapa yang masih bermain di jam seperti ini?" Zoya melihat siluet laki-laki berseragam, tapi karena masih cukup jauh, dia belum melihat dengan jelas wajah laki-laki itu.
Dia pikir laki-laki itu hanya sendirian, rupanya ada seorang gadis yang menunggunya. Benar-benar memalukan untuk tiba-tiba muncul dan mengganggu, akhirnya Zoya memilih berbalik untuk pergi saja dari sana.
"Lo mau aja mundur dengerin arahan Lander, padahal Lo berhak ikut dalam turnamen nanti. Lo jago!" Suara cewek itu terdengar jelas di telinga Zoya, karena kesunyian yang membuat suara kecil saja jadi terdengar.
"Diam!"
"Kenapa? Harusnya Lo protes ke pelatih, Lander itu terlalu egois. Dia selalu ingin menang sendiri! Kapten apaan yang kayak gitu!"
"Mending Lo balik deh, dari pada ngoceh gak jelas. Tambah pusing kepala gue!" Laki-laki itu terdengar sangat kesal, karena moodnya juga sedang memburuk. Dikeluarkan dari nama-nama atlet yang akan ikut turnamen, membuatnya kesal. Karena dia sudah berlatih keras, dan masih tidak bisa ikut.
Zoya melanjutkan langkahnya untuk pergi dari sana, dia benar-benar tidak peduli dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Argh!" Zoya tertarik hingga tubuhnya terhuyung menabrak dinding. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Lander.
Tanpa mengatakan apapun, Lander langsung menarik Zoya pergi dari sana. Dia bahkan berjalan cepat, tanpa mempedulikan apakah Zoya kesulitan mengikuti langkahnya atau tidak.
Zoya melihat tangan yang menggenggam pergelangan tangannya erat. Merasa aneh dengan hal tersebut. Dia kemudian beralih melihat pada punggungnya, mengingat lagi pada percakapan yang dia dengar di lapangan tadi. Artinya Lander juga tadi mendengar apa yang dia dengarkan.
"Masuklah, sopirmu sudah menunggu sejak tadi!" Lander membantu membukakan pintu mobil, sedikit mendorong Zoya agar segera masuk ke dalam mobil.
"Bagaimana lo tahu?" Zoya membuka kaca jendela mobilnya, dan menanyakannya pada Lander yang sudah berbalik memunggunginya.
"Maaf nona, tadi saya kebingungan mencari nona. Kebetulan teman nona ini mau membantu saya untuk mencari keberadaan nona di dalam kelas!" Sang sopir sudah lebih dulu menjelaskan, karena dia tadi terlalu panik.
"Lo seharusnya mengerjakan tugasmu, bukannya keluyuran ke tempat lain!" Lander langsung berlalu pergi tanpa menoleh lagi.
Berdecak kesal, Zoya tidak suka dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Lander. "Kenapa dia marah? Apa karena gue mendengar teman satu timnya membicarakan tentang dia? Tapi gue kan gak sengaja! Dasar laki-laki menyebalkan!"
"Maaf nona, ini salah saya. Saya seharusnya tetap tenang dan menunggu sebentar lagi!" Sopir itu juga melihat bagaimana laki-laki yang dia pikir teman nonanya itu terlihat sama sekali tidak ramah pada nonanya.
"Anda tidak salah. Mama yang minta buat bapak jemput saya ya? Lain kali kalau saya berangkat bareng papa, pulangnya tidak perlu dijemput, biar naik taksi aja!" Zoya terbiasa mandiri sejak mamanya meninggal, jadi saat dia kembali ke masa lalu, dia harus menunjukkan kemandiriannya, agar mama dan papanya bisa pergi dengan tenang.
Menjadi anak tunggal, membuat Zoya terbiasa mendapatkan limpahan kasih sayang dan perhatian dari mama dan papanya. Sehingga saat satu-persatu dari mereka pergi, hatinya benar-benar kosong tanpa kasih sayang. Karenanya, Zoya berpikir dia harus merubah kebiasaannya, dan menunjukkan kalau dia bisa hidup dengan baik pada Papa dan Mamanya. Agar saat mereka pergi, mereka akan pergi dengan tenang.
Sangat menyedihkan, dia tahu kapan mereka akan meninggalkannya. Mengulang rasa sakit, dia akan mengalami masa sulit dalam hidupnya lagi saat melihat kepergian papa mamanya. Bukankah takdir terlalu kejam padanya?